People We Love

Idealita Ismanto dan Pengalaman Postpartum Depression dalam Esai Foto

Karyanya berjudul ‘Short Time Memories’ bercerita tentang masa-masa kelupaan saat postpartum depression yang ia rasa.

Avatar
  • October 16, 2023
  • 9 min read
  • 565 Views
Idealita Ismanto dan Pengalaman Postpartum Depression dalam Esai Foto

Pada 8-24 September yang lalu, The Jakarta International Photo Festival (JIPFest) berlangsung di kawasan Blok M, Jakarta Selatan. Fotografer dari Indonesia maupun luar Indonesia datang untuk memamerkan karya dan berdiskusi tentang proses di baliknya. Ada juga yang berbagi pengetahuan dan pengalaman mengenai dunia fotografi melalui workshop.

Salah satunya fotografer perempuan bernama Idealita Ismanto. Saat JIPFest kemarin, Idealita mengadakan workshop fotografi untuk anak-anak berusia 8-15 tahun. Ia mengajarkan bagaimana caranya menggunakan kamera profesional dan mengamati lingkungan. Agar anak-anak bisa menciptakan cerita lewat foto-foto yang mereka abadikan.

 

 

Sumber: Idealita Ismanto

Sebelumnya di tahun 2022, Idealita yang sudah terjun selama 20 tahun di dunia fotografi ini hadir dalam JIPFest dengan menampilkan karyanya bertajuk Short Time Memories. Ia membagikan foto-foto ketika mengalami masa-masa postpartum depression setelah melahirkan sang anak.

Lewat wawancara eksklusif bersama Magdalene, Idealita menceritakan proses di balik pembuatan karya Short Time Memories ini. Baginya keluarga menjadi dukungan yang sangat berarti.

Tahun kemarin Mbak Idealita Ismanto sempat menampilkan karya Short Time Memories, yang diambil dari pengalaman postpartum depression Mbak. Boleh diceritakan sedikit enggak Mbak ketika masa-masa itu?

Ketika proyek short time memories itu sebetulnya di masa-masa saya mengalami kelupaan saat postpartum depression. Sebenarnya kan saat mengalami proses hamil itu saya sudah lupa, lalu setelah itu proses melahirkan, saya tambah lupa. Pengalaman kelupaan inilah yang dihadirkan melalui Short Time Memories.

Saya sampai sekarang masih lupa sebenarnya, kalau enggak diingatkan oleh suami. Saya terus mencoba untuk mengingat kejadian-kejadian masa lampau. Nah, dari sini saya pun merasa imperfect dan menjadi ibu itu sangat sulit. Apalagi ditambah masa-masa baby blues juga.

Lewat foto-foto yang diabadikan, keterikatan muncul antara saya dan anak saya. Saya jadi berpikir ingin foto tersebut menjadi bonding untuk kita berdua, makanya saya bikin Short Time Memories itu.

Saya lebih banyak mendokumentasikan momen-momen ini dengan kamera analog. Kenapa analog? Saya merasa saja jika analog itu kan melalui proses panjang dan imaji-imaji yang diambil akan terekam baik.

hasil foto Idealita Ismanto
Sumber: Idealita Ismanto

Baca juga: Fotografer Shindy Lestari: “Bagiku Seorang Ibu Juga Perempuan dan Seorang Manusia”

Memang postpartum depression itu enggak mudah ya, Mbak. Pengalaman ini pun jadi masa paling sulit buat para ibu dan masih sedikit yang terbuka soal itu. Tapi Mbak Dea justru mau jadi vulnerable dan bercerita lewat karya ini.

Betul, memang postpartum depression ini jadi pengaman sulit. Saya juga sadar kalau masih banyak ibu lain belum berani terbuka soal ini.

Lalu bagaimana sih, Mbak cerita proses pembuatan Short Time Memories?

Saya merasa enggak semua bisa berbagi pengalaman postpartum depression ini. Akhirnya sebagai fotografer, saya mencoba untuk menceritakan lewat karya fotografi. Supaya orang lain bisa melihat, dan siapa tahu relevan dengan perempuan-perempuan lain. Dan ketika karya saya sempat muncul secara publik di Surabaya, ada salah satu teman, seorang artis tato mengalami hal yang sama. Ia pernah melewati masa-masa kelupaan itu.

Saya lalu bilang teman tadi, mungkin jika saya berkarya dengan fotografi, ia bisa dengan cara lain untuk merasakan apa yang dirasa. Misalnya dengan menulis, menyanyi atau berekspresi lewat tato juga boleh.

Saya juga berpikir untuk melanjutkan karya ini mungkin dengan buku foto atau dengan kombinasi lain. Atau bisa menggabungkan dengan karya anak saya di dalam buku foto tersebut.

Dalam proses pembuatan karya ini, tadi Mbak Dea bilang didukung oleh suami dan anak. Menurut Mbak, seberapa penting dukungan orang-orang sekitar ketika ibu sedang mengalami postpartum depression?

Kalau menurut saya penting banget. Mau itu dari keluarga besar atau keluarga inti kita. Bagaimana pun juga ketika kita mengalami itu kan mereka enggak tahu apa yang kita rasakan. Caranya adalah kita harus cerita, kita sedang stres, depresi atau merasa tak sempurna. Mereka nggak akan pernah notice kalau tak diberi tahu.

Saya juga sering bilang atau cerita kayak butuh space sendiri atau sedang merasa sedih, atau butuh waktu tidur. Meski terlihat simple, ternyata itu yang kita butuhkan. Saya selalu memberitahu hal-hal tersebut ke suami saya.

Kadang kan ibu-ibu merasa sendiri gitu ya saat itu, dan bagaimana caranya, ya kita harus kasih tahu kalau kita butuh bantuan. Kita butuh waktunya untuk diem aja. Saya pikir sekali lagi keluarga dan orang terdekat itu sangat penting. Makanya ketika membuat short time memories ini, anak dan suami saya sangat mendukung.

Dukungan mereka ini ikut terlibat dalam mengembalikan memori saya yang hilang, menunggu untuk diingatkan kembali dan kemudian terekam dalam imaji-imaji karya saya.

Sumber: Idealita Ismanto

Baca juga: Isu Lingkungan Jadi Napas Kerja Chitra Subkyakto

Selain dukungan tadi, apa hal lain yang membuat Mbak Dea bisa bangkit dari masa-masa postpartum depression?

Kalau dibilang masih ingat, pasti ada ya. Kayak merasa sendirian, karena kita sebagai ibu itu enggak mudah. Tapi kalau dilihat-lihat kembali selain masa-masa kesedihan, ada juga masa-masa happy bersama anak saya.

Semua hal yang saya alami, kesedihan, kebahagiaan, ketidaksempurnaan dan rasa sendirian, akhirnya saya berusaha mau melalui itu bersama anak saya. Saya menjadikan masa-masa lalu yang buruk untuk jadi pembelajaran ke depannya. Pembelajaran ini membuat saya berusaha bangkit dari keterpurukan dari postpartum depression dan baby blues.

Mbak Dea terbuka soal pengalaman yang enggak mudah ini. Di Magdalene kami juga sering mengangkat isu soal postpartum depression dan banyak ibu-ibu yang berbagi ceritanya. Apakah banyak yang cerita pengalamannya lewat Mbak Dea?

Beberapa ada sahabat-sahabat saya. Kemarin teman SMA saya yang sudah punya anak empat cerita kalau di kehamilan yang terakhir ini ia mengalami depresi dan sedih. Dari keempat anaknya, yang tiga enggak masalah, tapi di anak keempat ia merasa begitu.

Ia ngerasa seperti hampa, sedih dan enggak diperhatikan. Akhirnya saya bilang enggak apa-apa, tapi kamu harus bangkit dan semangat. Merasa lemah tak apa, merasa kuat juga tak apa. Tapi kamu harus bilang dengan orang terdekat, mungkin suamimu. Suamimu enggak akan tahu apa yang kamu rasakan jika kamu enggak cerita.

Tiba-tiba kalau baby blues, kadang ibu-ibu akan jenuh dengan teriakan dan tangisan, mereka harus menghadapi ini setiap hari. Bisa dari ibu baru punya bayi atau ibu yang punya anak banyak. Maksudnya kedua ibu-ibu itu bisa merasakan hal sama.

Saya selalu bilang padanya untuk selalu semangat. Mungkin dia bisa melakukan hal-hal therapeutic seperti menulis untuk mengeluarkan keluh kesahnya. Jadi seperti menterapi diri sendiri, kalau saya lewat karya foto, ia bisa pakai cara yang lain.

Orang-orang sering menyalahkan ibu yang mengalami postpartum depression sebagai ibu enggak siap dan tak bertanggung jawab. Ini juga menjadi alasan perempuan enggan terbuka soal ini. Apa tanggapan Mbak Dea soal stigma-stigma semacam itu?

Menurut saya stigma itu harus diluruskan bagaimanapun juga ya. Ibu baru atau ibu yang sudah punya anak mungkin mengalami postpartum depression tadi, banyak orang di luar sana harus lebih aware tentang hal ini. Mereka bisa melihat, lebih menghargai dan berempati bagaimana posisi ibu-ibu tersebut.

Kalau kita enggak memberitahukan hal-hal ini keluar sana, orang-orang enggak akan tahu jika ada perempuan-perempuan seperti saya yang mengalaminya. Saya mungkin hanya salah satu yang bisa menyuarakan lewat karya. Tapi kan ada banyak perempuan yang ernggak bisa bersuara seperti saya.

Mungkin misalkan Magdalene bisa membuat artikel yang membahas kalau postpartum depression dan baby blues ini ada. Ditambah dengan teori-teori yang ada, mungkin yang sudah pernah ditulis di artikel memang ada seperti itu. Jadi kan diperkuat lagi ya, agar membuka mata banyak orang. Enggak cuma dari saya karya, tapi kalau ada teori yang bisa memperkuat itu kan orang jadi oh iya ya, ada fakta nih di balik itu.

profil Idealita Ismanto
Sumber: Idealita Ismanto

Apa yang ingin Mbak Dea sampaikan pada ibu-ibu yang mungkin sekarang sedang mengalami masa-masa berat postpartum depression?

Kalau saya bisa sharing, mungkin enggak tahu apa yang mereka rasakan ya. Saya akan mengambil dari apa yang pernah saya alami, ketika merasa sendiri, kesepian dan tak sempurna adalah momen-momen sedih. Saya hanya bisa bilang terus semangat dan bangkit. Bagaimanapun juga hidup enggak hanya di situ saja, anak akan terus bertumbuh dan merasa trauma it’s okay ngerasainnya, tapi kita harus bisa melalui itu.

Jika kamu punya budget atau biaya lebih, bisa pergi konsultasi ke psikolog. Atau kalau enggak bisa, mungkin bertemu dengan komunitas ibu-ibu yang mendukung tentang masalah psikis ataupun klinis tentang masalah ini.

Jadi menurutku kita harus saling mendukung, dan percaya dibalik kesedihan-kesedihan itu, bakalan ada kebahagiaan juga nantinya akan membentuk diri menjadi pribadi yang kuat. Pokoknya harus tetap semangat, hadapi dan jalani pelan-pelan juga enggak apa-apa.

Baca juga: Kebun Kali Code, Fitri Nasichudin, dan Penyelamatan Air dari Rakyat Biasa

Setelah karya fotografi tentang postpartum depression ini, apa bakalan ada karya lain yang akan mengangkat isu-isu perempuan lagi, Mbak?

Kalau isu perempuan, saya mungkin lebih kepada perempuan-perempuan yang berdaya ya. Misalkan petani garam yang sempat saya potret itu. Walaupun yang bekerja itu adalah laki laki, tetapi di balik semua itu, perempuan lah yang mengatur urusan domestik. Terkadang mereka juga membantu para suaminya panen.

Selain itu terakhir kemarin saya ingin mengangkat tentang perempuan berdaya, buruh panggul di Pasar Pabean, Surabaya. Itu mereka benar-benar harus mengangkat banyak beban dan barang. Tapi yang mereka dapatkan itu cuma sedikit sekali. Misalnya mereka ngangkat lima puluh kilogram barang, yang mereka dapatkan cuma sekitar lima ribu, sepuluh ribu saja, coba dibayangkan. Yang ingin saya tampilkan walaupun bukan memori, tapi keberdayaan itu juga penting karena kan bagaimanapun juga perempuan dan laki laki itu sama. Saya ingin menghadirkan potret perempuan kuat dan tangguh seperti mereka.

Sumber: Idealita Ismanto

Dunia fotografi kan sangat maskulin dan male dominated. Bagaimana cara Mbak Dea menghadapi dunia maskulin tersebut?

Pertanyaan ini sering banget ditanyakan pada saya dan teman-teman fotografi perempuan lain. Sebetulnya kalau dilihat tenaga perempuan dan laki-laki bisa sama semua, hanya kesempatan itu ada apa enggak.

Saya selalu bilang pada teman-teman fotografi perempuan lain agar bisa mensejajarkan diri. Kalau laki-laki bisa blusukan, kita harus bisa blusukan. Biar orang-orang seperti editor bisa melihat kekuatan perempuan itu sama. Atau mereka bisa bawa-bawa lampu, kita juga bisa bawa lampu.

Selama saya jadi fotografer freelance dan mengangkat tema-tema untuk jurnalistik, otomatis bertemu dengan fotografer laki-laki. Mereka apresiasi dengan dengan karya-karya fotografer perempuan dan ikut menyemangati kami. Jadi menurut saya dengan kepercayaan yang mereka berikan kepada kami ataupun saya sebagai seorang fotografer perempuan itu, saya sangat appreciate banget. 

Pengalaman saya kemarin terakhir, Ingin motret tentang iklim. Saya di-hired satu satunya fotografer perempuan di Surabaya. Sedangkan yang lainnya di beberapa daerah itu laki-laki semua. Kalau begitu kan, akhirnya bisa kelihatan, oke mereka percaya sama kita. Mereka ingin kita yang terbaik, karena mereka beranggapan bahwa karyamu dan karya mereka itu sama, karya laki-laki dan perempuan itu sama.


Avatar
About Author

Chika Ramadhea

Dulunya fobia kucing, sekarang pencinta kucing. Chika punya mimpi bisa backpacking ke Iceland.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *