Obrolan Bersama Prof Yo, Dosen Kajian Islam Asal Jepang dari Tren Jilbab dan Gerakan Dakwah di Kampus
Berawal dari ketertarikan pada kajian Islam, ia meneliti gerakan dakwah di kampus dan perubahan tren pemakaian jilbab di Indonesia.
Waktu menunjukkan pukul 1 siang, ketika saya tiba di Kineforum pada Rabu, (11/10). Siang itu, saya berkesempatan mengobrol dengan Profesor Yo Nonaka—peneliti budaya dari Universitas Keio, Jepang.
Prof Yo, panggilan akrab Profesor Yo Nonaka, telah mendalami Islam dalam bidang akademis selama 20 tahun. Risetnya bermula dari gerakan jilbab pada 2004, ketika ia banyak bertemu mahasiswa universitas negeri, yang berjilbab dan ingin mengenakannya. Kemudian, Prof Yo juga meneliti gerakan dakwah di sejumlah kampus. Kini, ia aktif mengajar mata kuliah Islam and Modern Society, Indonesian Cultural Studies, bahasa Indonesia, dan sejumlah workshop di Universitas Keio.
Baca Juga: Jilbab Bukan Kewajiban, Tapi Saya Tetap Memakainya
Kebetulan, Prof Yo akan menghadiri sebuah diskusi di Madani Film Festival 2023, tentang politik dan prasangka yang ditimbulkan. Sebelum datang ke acara tersebut, Prof Yo menyambut Magdalene dengan hangat.
“Jakarta lagi panas sekali,” ujarnya. Kami pun berbincang di ruangan ber-AC, usai Prof Yo beristirahat sejenak.
Q: Di sejumlah wawancara sebelumnya, Prof Yo bercerita kalau tertarik dengan ajaran Islam. Apa yang membuat Prof Yo menyukainya, sampai mendalami secara akademis?
A: Waktu SMA (Sekolah Menengah Atas), kira-kira 30 tahun yang lalu, saya mengikuti pertukaran pelajar di Makassar selama setahun. Di sana saya tinggal di rumah keluarga angkat—kebetulan orang muslim—dan sekolah di SMA Negeri 2 Makassar. Selain tinggal bersama keluarga muslim, teman-teman saya juga muslim. Akhirnya dapat pandangan, Islam sangat positif karena teman-teman dan keluarga ramah sekali dengan saya. Itu momen pertama kali saya pergi ke luar negeri, jadi masih awam tentang Islam.
Setelah kembali ke Jepang, melihat situasi di sana, ada berita-berita tentang Islam yang tone-nya agak negatif. Kemudian saya melihat, ini bukan Islam yang saya tahu. Sebenarnya sedikit sakit hati karena (ajaran) Islam yang di Makassar itu, berbeda sekali dengan yang diberitakan di Jepang. Dari situ saya mulai berpikir, untuk belajar tentang Islam dan meneliti tentang masyarakat muslim, yang ada di Indonesia dan sekitarnya.
Q: Jadi setelah lulus SMA, Prof Yo fokus mempelajari kajian Islam sewaktu kuliah?
A: Kalau untuk S-1 masih belajar yang umum saja. Setelah masuk S-2, saya baru terjun ke bidang sosiologi, antropologi, dan Islamic studies. Lalu memutuskan mengadakan kajian di Indonesia, jadi field work di sini. Mulai dari kajian jilbab, kemudian membahas gerakan Islam di kampus. Jadi memfokuskan gerakan di UI (Universitas Indonesia), ITB (Institut Teknologi Bandung), dan UGM (Universitas Gadjah Mada) pada waktu itu.
Q: Di sebuah wawancara tahun lalu, Prof Yo menyebutkan, semakin ke sini semakin banyak perempuan memakai jilbab. Menurut pengamatan Prof, apa yang melatarbelakangi hal tersebut?
A: Waktu SMA saya belum paham ya, kenapa teman-teman di sini enggak memakai jilbab. Setelah S-2 baru mengerti karena membahas apa yang terjadi di Orde Baru (Orba), dan sempat dilarang dalam SK (Surat Keputusan). Jadi ya, karena situasi politik dan masyarakat yang berubah dari zaman Orba.
Yang kedua, mungkin karena pemahaman masyarakat tentang Islam juga meningkat. Dari dulu memang banyak orang muslim, tapi enggak banyak kajian Islam. Sekarang ada perubahan dan kesempatan untuk belajar Islam. Termasuk untuk anak-anak.
Yang ketiga, menurut saya dari segi ekonomi. Kita bisa melihat perkembangan industri busana muslim, yang sudah berkembang. Ada banyak pilihannya, dari yang high end sampai terjangkau. Ini sangat membantu masyarakat. Berbeda dengan dulu (era Orba) yang enggak dijual.
Q: Lalu bagaimana Prof Yo memandang tentang jilbab, terutama diskursusnya di Indonesia?
A: Kalau diskursus, di sini lebih beragam ya. Ini yang enggak banyak dipahami orang Jepang yang awam. Sampai sekarang, sebagian dari mereka masih memandang, perempuan muslim itu dipaksa memakai jilbab. Tapi di Indonesia kan enggak, pemakaian jilbab itu pilihan bagi perempuan sebagai individu. Termasuk mau bagaimana pola, ukuran, dan cara memakainya yang beragam. Jadi itu suatu hal yang ingin saya jelaskan pada orang Jepang.
Q: Bagaimana cara Prof Yo menjelaskannya?
A: Sementara ini, karena saya mengajar di kampus, bisa dengan keras mengajarkan dan menjelaskan kepada mahasiswa yang dididik. Kalau sebagai peneliti, saya juga menulis beberapa artikel. Kadang-kadang diundang sebagai pembicara untuk talk show.
Baca Juga: Apakah Feminisme Bisa Selaras dengan Ajaran Islam?
Q: Lalu respons mahasiswa bagaimana?
A: Awalnya mereka belum ngerti banyak, karena di Jepang enggak banyak informasi tentang jilbab dan Islam. Lama-lama, ya karena mata kuliah yang saya ajar, mereka tertarik untuk belajar.
Q: Tapi realitasnya, belakangan ini di Indonesia juga terjadi pemaksaan pada perempuan untuk memakai jilbab. Contohnya di sekolah. Apa pendapat Prof Yo terhadap fenomena ini?
A: Saya sangat menyayangkan ya. Seharusnya penggunaan jilbab jadi pilihan individu berdasarkan keyakinannya.
Q: Tadi Prof Yo sempat cerita, pernah melakukan field work tentang kajian jilbab. Ada alasan mengapa tertarik dengan topik tersebut?
A: Soalnya di Jepang, atau di mata orang asing, jilbab itu simbol penindasan perempuan dalam ajaran Islam. Menurut saya, itu kesalahpahaman orang. Sementara yang terjadi di Indonesia sebaliknya, bukan seperti itu.
Q: Pemahaman orang Jepang sendiri terhadap Islam dan jilbab seperti apa?
A: Sebenarnya semakin ke sini udah enggak begitu heran, atau merasa asing melihat orang muslim. Misalnya mahasiswa saya, keluarga, atau orang-orang di lingkungan saya. Mereka udah sering melihat turis atau pengajar muslim. Jadi biasa saja kalau melihat perempuan muslim yang berjilbab.
Itu juga karena orang muslim yang berkunjung ke Jepang meningkat. Terutama di sekitar Tokyo, kebetulan saya tinggal di sana. Mungkin kalau di area terpencil, lansia masih belum terbiasa melihat orang muslim. Jadi bisa dibilang, itu salah satu perkembangan Islam di Jepang.
Q: Apakah itu berkaitan juga dengan meningkatnya pariwisata halal di Jepang?
A: Benar. Soalnya jumlah turis dari negara yang mayoritasnya muslim—seperti Indonesia, Pakistan, dan Timur Tengah—terus meningkat. Terlebih setelah pandemi COVID-19. Industri pariwisata sudah melihat harus merangkul turis, wisatawan muslim dari luar. Mereka ingin sekali menerimanya.
Q: Bisa dikatakan pemerintah juga aktif terlibat ya?
A: Iya. Memang bukan secara langsung, karena Jepang itu disebut sebagai negara sekuler. Pemerintahnya enggak bisa langsung campur tangan menangani isu. Tapi. mereka mendorong pemerintah lokal, atau industrinya, untuk merangkul dan menerima wisatawan muslim. Sayangnya memang mereka belum tahu banyak informasi, dan pemahamannya masih agak kurang jadi harus terus diedukasi. Masih berproses.
Baca Juga: Idealita Ismanto dan Pengalaman Postpartum Depression dalam Esai Foto
Q: Selain pariwisata halal yang meningkat dan pemahaman orang Jepang terkait pemakaian jilbab yang berkembang, apakah ada perkembangan lain tentang Islam di Jepang?
A: Dibandingkan lima sampai 10 tahun lalu, semakin banyak orang muslim tinggal di sini. Dengan itu, jumlah masjid dan musala di Jepang semakin banyak. Terutama di kota-kota besar, dan kampus-kampus. Salah satunya di Universitas Keiko. Pihak kampus memahami, ada beberapa mahasiswa muslim.
Q: Kalau kita kembali berbicara tentang profesi Prof Yo sebagai peneliti, tantangan apa yang pernah dihadapi sebagai peneliti perempuan?
A: Bagi saya, ini tantangan sekaligus kelebihan juga dalam meneliti komunitas muslim. Sebagai perempuan, saya bisa lebih banyak bercerita dengan muslimah. Lebih leluasa. Mungkin berbeda dengan laki-laki yang enggak bisa berinteraksi langsung. Di sisi lain, sebagai perempuan, sering kali terhambat untuk bercerita dengan umat muslim laki-laki.
Sebenarnya belum tentu terjadi di setiap komunitas, seperti di Indonesia enggak begitu kelihatan. Tapi di Jepang, untuk komunitas muslim Pakistan dan Arab Saudi, saya melihat adanya pemisahan antara perempuan dan laki-laki. Mungkin karena mereka memperlakukan ajaran Islam seperti di negaranya sendiri, jadi membawa kebudayaan atau ciri khasnya sendiri ke Jepang.
Q: Sebagai peneliti dan akademisi, apa yang ingin Prof Yo lakukan ke depannya?
A: Selama ini, saya lebih banyak melakukan penelitian di Jepang. Kepenginnyameneliti tentang komunitas muslim di Indonesia, dan second generation muslim di Jepang—ini untuk semua bangsa ya.
Baca Juga: Kewajiban Jilbab dan Pencabutan SKB 3 Menteri: Bukti Kegagalan MA
Q: Kenapa tertarik dengan kedua topik itu?
A: Salah satunya karena jumlah komunitas muslim meningkat. Selama pandemi COVID-19, saya enggak bisa ke Indonesia untuk penelitian. Jadi, saya mulai meneliti komunitas muslim yang ada di Jepang. Sebenarnya di sini ada kelebihan, karena saya bisa bahasa Indonesia, jadi di sini ketemu dan berinteraksi dengan orang muslim asal Indonesia. Saya melihat mereka mendirikan masjid Indonesia di Jepang. Itu menarik buat saya.
Kalau generasi kedua, karena saya ngajar di Keio. Makin ke sini, makin banyak mahasiswa yang memeluk Islam, begitu pun orang tuanya. Mereka menceritakan pengalamannya, gimana orang tuanya sering kali terikat dengan negara asalnya. Misalnya orang tuanya berasal dari Pakistan, cara ibadah mereka masih menyesuaikan (budaya) Pakistan. Begitu pun orang Turki, Bangladesh, Sri Lanka, dan Indonesia. Berbeda dengan generasi kedua, anak mudanya, yang dididik dengan kebudayaan Jepang. Otomatis pemikirannya berbeda dengan generasi orang tuanya. Mereka ingin melakukan ajaran Islam dengan agak baru, sehingga menarik untuk diteliti.