Issues

#TadabburRamadan: Rahmah El Yunusiyah, Pendiri Sekolah Khusus Perempuan Pertama di Masa Penjajahan

Ia tak pernah mengenyam bangku sekolah. Namun, bertekad menyediakan akses pendidikan seluas-luasnya untuk perempuan. Mimpinya jadi kenyataan.

Avatar
  • April 3, 2024
  • 4 min read
  • 1390 Views
#TadabburRamadan: Rahmah El Yunusiyah, Pendiri Sekolah Khusus Perempuan Pertama di Masa Penjajahan

Salah satu ekses penjajahan Belanda adalah sulitnya perempuan mengakses pendidikan. Aksebilitas itu makin mustahil ketika perempuan hidup di tengah masyarakat patriarkal yang menganggap tugas mereka seputar dapur, sumur, dan kasur. Padahal faktanya, pendidikan adalah hak semua bangsa, perempuan termasuk di dalamnya. 

Sulitnya akses pendidikan untuk perempuan inilah yang menggerakkan Rahma El Yunusiah untuk mendirikan sekolah khusus perempuan. Sekolah yang lebih dikenal dengan Diniyyah Putri itu ia dirikan di Kota Padang, Sumatera Barat. 

 

 

Mendirikan sekolah khusus perempuan tentu tak semudah membalikkan telapak tangan kala itu. Namun Rahmah tak menyerah. Ia berhasil mewujudkan mimpi agar perempuan dan lelaki setara di jalur pendidikan.  

Baca juga: #TadabburRamadan: Opu Daeng Risadju, Pahlawan Perempuan Paling Dicari Belanda Se-Sulawesi 

Sekolah Khusus Perempuan Pertama 

Rahmah El Yunusiyah lahir pada 29 Desember 1900 di Surungan, Kecamatan Padang Panjang Barat, Kota Padang Panjang, Sumatera Barat. Dari kecil hingga dewasa ia tak pernah mengenyam pendidikan formal. Sama seperti di wilayah Indonesia yang lain, pada masa penjajahan, memang enggak mudah bagi perempuan untuk mendapat akses pendidikan. Ruang gerak perempuan dibatasi sekadar ranah domestik saja. 

Namun, Rahmah cukup beruntung kala itu. Ia mendapat bimbingan dari sang ayah Muhammad Yunus, hakim agama dan cendekiawan Islam. Kakak-kakaknya pun turut memberikan pelajaran untuk Rahmah, sehingga ia mahir membaca dan menulis. Rahmah juga mendapat banyak pengetahuan dan belajar dari banyak ulama terkenal di Minangkabau. Salah satunya Haji Abdul Karim Amrullah, ayah dari Buya Hamka

Sewaktu remaja, Rahmah El Yunusiyah pernah menikah tapi kemudian bercerai. Sejak itu, ia makin fokus untuk memperjuangkan cita-cita dan melawan diskriminasi atas perempuan. Di bidang pendidikan, Rahmah ingin setiap murid mengerti hak dan kewajiban mereka melalui pendidikan yang layak. 

Berkat tekad kuat, ia pun mendirikan Diniyyah Putri pada 1 November 1923, di usia 23 tahun. Sekarang sekolah ini sudah berusia satu abad. Di awal berdiri, sekolah tersebut hanya memiliki 71 orang murid dan sebagian besar adalah ibu muda. 

Diniyyah Putri juga tercatat sebagai sekolah khusus perempuan pertama yang dibangun pada masa penjajahan Belanda. Banyak sekali tantangan yang dihadapi Rahmah ketika mendirikannya. Bukan hanya pembatasan hak-hak perempun, tapi bagi pemerintah kolonial, ada anggapan kalau perempuan sejatinya tak perlu bersekolah. 

Pada masa penjajahan Belanda, baik perempuan keturunan bangsawan hingga pribumi dianggap tak berhak untuk mendapatkan pendidikan. Penyebabnya, perempuan dinilai hanya punya satu kewajiban, yaitu mengurus rumah tangga

Baca juga: #TadabburRamadan: Kartini Ternyata Jauh Lebih ‘Islami’ dari yang Kita Duga 

Rahmah El Yunusiah juga Aktif di Bidang Politik 

Bersama Diniyyah Putri, Rahmah sedikit demi sedikit mencapai mimpi-mimpinya mewujudkan tatanan masyarakat yang tak lagi mendiskriminasi perempuan. Di saat bersamaan, ia ikut aktif dalam Persatuan Muslimin Indonesia (Permi) yang menentang praktik penindasan penjajah. 

Ia juga mendirikan perserikatan guru-guru perempuan Islam di Bukit Tinggi. Namanya tercatat sebagai ketua panitia penolakan kawin bercatat dan ketua organisasi sekolah liar. Ia pun menjadi anggota pengurus serikat kaum ibu Sumatera Barat. Bahkan Belanda sempat memberikan hukuman denda pada Rahmah lantaran ia menjadi pemimpin rapat umum kaum ibu tersebut. 

Aktivitas politik Rahmah juga tak kalah banyak. Ia merupakan salah seorang pendiri partai Masyumi di Minangkabau dan menjadi anggota parlemen mewakili Sumatera tengah periode di 1955 sampai 1958. 

Pada 26 Februari 1969, Rahma El Yunusiyah wafat di Padang Panjang dalam usia 68 tahun. Atas jasa jasanya memperjuangkan hak perempuan di bidang pendidikan pada masa penjajahan Belanda dan Jepang, ia diberi tanda kehormatan Bintang Mahaputra Adipradana.  

Pengakuan atas perjuangan rahma juga datang dari luar negeri. Pada 1957, ia memperoleh gelar Syaikhah—berkat jasa-jasanya di bidang pendidikan dari senat guru besar Universitas Al Azhar Kairo, Mesir. Sebuah gelar yang belum pernah dianugerahkan kepada perempuan manapun sebelumnya. 

Baca juga: Podcast Tadabbur Ramadan Tampilkan Kisah Pahlawan Perempuan Nasional 

Perjuangan perempuan demi mendapatkan pendidikan yang layak, sebetulnya bukan hal baru dalam Islam. Kita mengenang nama Sayyidah Aisyah, salah seorang istri Rasulullah sebagai sosok perempuan cerdas dan maju dalam pendidikan. Ia banyak menguasai ilmu hadis, fikih, dan ilmu lainnya. 

Nama Sayyidah Aisyah bahkan menjadi sebuah rujukan bagi para tabiin—orang Islam awal yang hidup setelah sahabat-sahabat nabi, walaupun beliau seorang perempuan. Ini menunjukkan betapa besar sosoknya dalam perkembangan pendidikan dan ilmu saat itu. 

Untuk itu marilah kita teladani semangat juang Sayyidah Aisyah dan Rahma El Yunusiyah. Tujuannya, agar para perempuan mampu berdaya dan berkarya meski di lingkungan terkecil.  

Tadabbur Ramadan merupakan produksi Magdalene bekerja sama dengan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) dan didukung oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo). 



#waveforequality


Avatar
About Author

Chika Ramadhea

Dulunya fobia kucing, sekarang pencinta kucing. Chika punya mimpi bisa backpacking ke Iceland.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *