Issues People We Love

Redyadivka Ariarafa: Bicara Soal Perempuan Tanpa Jadi “Ngab-ngab Paling Woke”

Tumbuh di tengah masyarakat patriarkal bikin ‘learn and relearn’ soal kesetaraan jadi susah. Bagaimana cara Divka mendukung perjuangan perempuan tanpa bikin sorotan pindah ke laki-laki?

Avatar
  • March 5, 2025
  • 8 min read
  • 3150 Views
Redyadivka Ariarafa: Bicara Soal Perempuan Tanpa Jadi “Ngab-ngab Paling Woke”

“Kenapa laki-laki bicara isu perempuan?” 

Pertanyaan itu kerap menghampiri Redyadivka Ariarafa, 23, sejak ia mulai aktif menyuarakan isu kesetaraan gender. 

 

Divka—sapaan akrabnya—adalah mahasiswa tingkat akhir di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta. Sejak kecil, ia tumbuh di lingkungan yang dekat dengan isu-isu sosial yang diperjuangkan orang tuanya. Ketertarikan pada advokasi semakin menguat pada 2020, ketika ia mulai terlibat dalam berbagai gerakan sosial yang kemudian membawanya pada perjuangan kesetaraan gender. 

Di kampus, Divka melihat betapa kuatnya cengkeraman budaya patriarki dalam kehidupan sehari-hari. Ia pun merasa perlu mengambil peran dalam perubahan. Rumah Gender—sebuah inisiatif di Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Kalijaga yang fokus pada kampanye pencegahan kekerasan seksual dan edukasi kesetaraan gender—menjadi wadahnya untuk bergerak. Sebagai bagian dari divisi kajian dan pengetahuan, ia aktif merancang program advokasi yang menyoroti ketimpangan gender dan upaya melawan kekerasan seksual. 

Peran laki-laki dalam perjuangan kesetaraan gender memang sering dipertanyakan, tetapi riset menunjukkan, partisipasi mereka justru berkontribusi signifikan dalam menciptakan perubahan sosial. Laporan State of the World’s Fathers 2020 yang diterbitkan oleh Promundo dan United Nation (UN) Women menekankan, keterlibatan laki-laki dalam advokasi kesetaraan gender tidak hanya membantu mengurangi kekerasan berbasis gender, tetapi juga mempercepat perubahan norma sosial yang lebih inklusif. 

“Ketika laki-laki secara aktif menantang patriarki dan mendukung hak-hak perempuan, mereka berperan dalam menciptakan lingkungan yang lebih aman dan setara bagi semua,” tulis laporan tersebut. 

Magdalene berbincang dengan Divka tentang pengalamannya menjadi ally di tengah masyarakat yang masih lekat dengan patriarki—dan bagaimana ia menghadapi skeptisisme terhadap peran laki-laki dalam perjuangan isu perempuan. 

Redyadivka Ariarafa
Foto: dokumentasi pribadi Redyadivka Ariarafa

Baca juga: Aeshnina Azzahra: Aktivis Lingkungan Muda yang Kritik Sampah Plastik

Bisa ceritakan bagaimana gender journey dan apa yang jadi turning point yang bikin kamu mulai melakukan advokasi? 

Sebenarnya saya belum lama fokus di isu kesetaraan gender, tapi sejak kecil sudah dekat dengan isu sosial. Latar belakang orang tua memang bergerak di isu sosial, dan bacaan di rumah juga banyak membahas isu-isu itu. 

Pada 2020, setelah lulus SMA, saya bergabung dalam gerakan sosial Dapur Umum Buruh Gendong Perempuan, yang menyediakan makan siang gratis untuk buruh gendong perempuan di berbagai pasar tradisional di Yogyakarta. Di situ, ada beberapa advokasi yang dilakukan, seperti menuntut upah minimum yang layak bagi mereka—walau sampai sekarang belum terealisasi. Upah buruh gendong perempuan sangat rendah, bahkan untuk makan saja susah. 

Gerakan ini juga melakukan advokasi untuk menuntut toilet gratis di pasar bagi buruh gendong perempuan. Selama bekerja di pasar, mereka harus membayar toilet Rp1.000, yang bisa mengambil 10-20 persen dari upah mereka per hari. Kalau mereka ke toilet lima kali, ya, upahnya habis. 

Selama terlibat di situ, saya semakin dekat dengan isu sosial, khususnya soal kesetaraan gender. Kebetulan, inisiator gerakan ini juga aktif di isu kesetaraan gender dan kekerasan seksual. 

Kalau dari keluarga atau lingkaran terdekat, ada enggak cerita menarik yang bikin kamu makin tertarik sama isu kesetaraan gender? 

Selain orang tua yang bergerak di isu sosial, di keluarga kami juga enggak membedakan pekerjaan rumah tangga. Saya dua bersaudara, laki-laki semua, dan terbiasa melakukan pekerjaan domestik. Laki-laki memasak dan mencuci itu hal yang lumrah di keluarga kami. 

Ada cerita lucu, saya mulai pakai motor saat SMA karena jarak rumah ke sekolah cukup jauh. Di rumah cuma ada dua helm—satu dipakai ayah bekerja, satu lagi helm warna pink yang nganggur. Saya pakai helm pink itu selama dua tahun. Banyak pertanyaan dari orang sekitar, “Kenapa laki-laki pakai pink?” atau “Laki-laki kok helmnya pink?” 

Menariknya, orang tua saya enggak berusaha membelikan helm baru atau menganggap itu sesuatu yang aneh. Itu jadi hal yang tertanam dalam diri saya juga akhirnya—warna itu enggak punya gender. 

Sebagai laki-laki yang lahir dan besar di lingkungan Jawa, gimana sih pengalaman kamu melihat laki-laki di sekitar? Soalnya, laki-laki Jawa kan sering dianggap patriarkis. 

Sebenarnya, bukan cuma di Jawa. Menurut saya, di mana pun kita bisa menemukan laki-laki yang patriarkis. Keluarga ibu saya dari Sunda dan ayah dari Sumatra, dan saya juga melihat ada beberapa keluarga yang masih patriarkis. Jadi, ini masalah yang cukup menyeluruh. 

Tapi kalau ngomongin budaya Jawa, ada juga beberapa hal yang mengajarkan kesetaraan gender. Misalnya, dalam bahasa Jawa, suami atau istri disebut garwa atau sigaraning nyawa, yang artinya belahan jiwa. Itu sebenarnya menunjukkan bahwa dalam rumah tangga, suami dan istri adalah mitra yang setara. 

Foto: dokumentasi Magdalene

Pernah enggak dianggap kurang “laki” karena vokal soal kesetaraan gender? Ada pengalaman tertentu yang bikin kamu benar-benar merasa diuji sebagai male ally? 

Kalau dibilang kurang “laki”, kayaknya belum pernah, tapi saya sering dapat pertanyaan seperti, “Ngapain sih ngomongin itu?” atau “Itu kan isunya perempuan, ngapain laki-laki ikut campur?” 

Ada pengalaman di 2024, waktu itu saya ada di forum pemilihan ketua, dan pesertanya mayoritas perempuan. Lalu, ada beberapa yang nyeletuk, “Udah, laki-laki aja yang jadi ketua.” Kebetulan, cuma ada dua laki-laki di forum itu—saya dan teman saya. Saya mengajukan teman saya yang perempuan, tapi ada yang nyeletuk, “Emang kamu mau dipimpin perempuan?” 

Saat itu saya sempat bingung mau jawab gimana, karena menurut saya enggak ada yang salah dengan dipimpin perempuan. Atmosfer debat waktu itu juga cukup panas. Meskipun akhirnya ketua yang terpilih tetap laki-laki (teman saya), celetukan-celetukan kayak gitu masih sering saya temui di lingkungan kampus. 

Sebagai laki-laki yang mendukung kesetaraan gender, ada enggak hal yang bikin kamu merasa, “Oh karena aku laki-laki, jadinya lebih didengerin ya”? Gimana cara kamu ngomongin isu kesetaraan tanpa overshadowing suara perempuan?

Ya, dengan saya berusaha menahan diri dan ngasih kesempatan buat teman-teman perempuan. Sebagai ally, saya berusaha mendukung dan menjadi “sekutu” buat teman-teman perempuan menyuarakan isu ini. Karena saya menyadari, isu ini berangkat dari pengalaman mereka (perempuan) dan saya belajar dari apa yang mereka suarakan.

Baca juga: Putri Nabila: Lawan Stereotip Perempuan Sunda dengan Vokal Bersuara

Kamu kuliah di universitas Islam, yang mana narasi keagamaannya masih banyak yang bias gender. Gimana kamu melihat isu kesetaraan di lingkungan kampus? 

Secara umum, masih banyak narasi seperti “laki-laki pemimpin”, “perempuan seharusnya di rumah”, atau “perempuan itu harus ngurus domestik.” Tapi saya cukup beruntung, karena dosen-dosen di program studi saya banyak yang bergerak di bidang inklusivitas dan mendorong kajian ulang tentang kesetaraan gender. 

Selain itu, ada mata kuliah Perempuan dan Gender. Materinya bagus, tapi sayangnya masih jadi mata kuliah peminatan. Waktu saya ikut kelas itu, dari 30 orang, laki-lakinya cuma tiga. Menurut saya, sayang banget kalau cuma jadi mata kuliah pilihan. Harusnya bisa jadi mata kuliah umum yang bisa diambil siapa saja. 

Kalau di tongkrongan, masih sering enggak sih denger candaan seksis atau yang menseksualisasi perempuan? Gimana cara kamu menghadapinya? 

Sampai sekarang saya masih sering bingung kalau ada di situasi itu. Saya cenderung enggak langsung konfrontatif, karena menurut saya itu bukan cara yang efektif buat ngajak mereka belajar soal isu ini. Kalau terlalu keras mendebat mereka, ujungnya malah dianggap “sok.” 

Saya lebih suka pendekatan perlahan. Kalau mereka teman dekat, saya punya lebih banyak waktu buat “mencekoki” mereka. Saya juga sadar mereka enggak punya privilese buat belajar isu ini sejak kecil, lahir dan besar di lingkungan patriarkis. Jadi, buat meruntuhkannya, perlu jalan yang panjang. 

Sebagai laki-laki yang tumbuh di budaya patriarki, tentu enggak mudah ya learn and relearn pandangan yang mungkin sudah menetap di masyarakat. Gimana sih proses kamu ketika pihak yang harusnya dikonfrontasi adalah diri sendiri?

Sebenarnya cukup sulit untuk menyadari, karena memang faktanya saya dan kelompok saya (laki-laki) banyak menimbulkan masalah. Jadi, ya, pertama perlu sadar dulu sih, ini isu yang merugikan perempuan tetapi sebenarnya merugikan laki-laki juga. Kesadaran itu juga enggak gampang dan perlu dibangun, kadang kita enggak sadar kalau sebagai laki-laki kebanyakan ngomong, cenderung ingin mendominasi. Saya berusaha untuk ngerem dan ngasih lebih banyak kesempatan buat perempuan.

Kadang ada laki-laki yang mengeklaim mendukung feminisme, tapi dalam praktiknya masih mereproduksi pola-pola patriarki, misalnya mansplaining atau performative allyship. Menurut kamu, apa yang membedakan male ally yang benar-benar berkomitmen dengan yang sekadar ingin terlihat progresif?

Sebenernya melihat niatan mereka (laki-laki), enggak hanya di isu kesetaraan gender itu sesuatu yang sulit. Sering muncul pertanyaan, “Mereka beneran ngomongin isu ini? “Beneran sepakat dan mendukung atau enggak sih?” Tetapi mungkin niatan itu bisa dilihat dari kemauan mereka buat belajar dan mendengar, sebanyak apa mereka mendengar itu menurutku memengaruhi. 

Kadang ada laki-laki terlalu banyak ngomong, saat ngomongin yang bukan pengalaman mereka, karena ngejar panggung atau exposure.

Sekarang sudah banyak ya yang peduli isu kesetaraan, terutama laki-laki. Nah, kalau mau mulai untuk peduli nih dan mau belajar soal isu-isu kesetaraan dan perempuan, mulainya dari mana dulu? Apa hal-hal kecil yang orang bisa lakuin buat belajar soal isu ini?

Saya senang ngasih rekomendasi ke teman-teman, buku dan film. Kedua media itu mungkin yang paling enak buat teman-teman mulai belajar, ada banyak buku dan film yang ngomongin isu ini dengan pengemasan yang menyenangkan. Atau, bisa juga sering posting di Instagram Story dan nulis di caption soal isu ini. Harapannya, hal-hal kecil ini bisa berdampak.Selain itu, penting buat kita mulai memahami kalau pembagian soal pekerjaan itu enggak melihat gender. 

Misalnya, sekarang banyak stereotip kalau naik gunung itu laki-laki, yang memasak perempuan. Nah, kenapa cuma di gunung aja, seharusnya saat di rumah laki-laki juga bisa memasak. Enggak perlu lagi melihat segala sesuatu itu ada gendernya.

Foto: dokumentasi pribadi Redyadivka Ariarafa

Baca juga: Ngobrol Soal Janda Bareng Politisi Luluk Nur Hamidah: Ternyata Memang Tak Seseksi Stigmanya

Setelah lulus, kamu masih bakal terlibat dalam advokasi? 

Saya pengin kegiatan Rumah Gender tetap berjalan meskipun saya sudah lulus. Semoga komunitas ini terus hidup dan menyuarakan isu kesetaraan gender dan kekerasan seksual. 

Harapannya, saya juga akan terus berkontribusi menyuarakan isu kesetaraan gender dan isu sosial lainnya. 



#waveforequality
Avatar
About Author

Sonia Kharisma Putri

Sonia suka hal-hal yang cantik dan punya mimpi hidup berkecukupan tanpa harus merantau lagi. Sekarang lebih suka minum americano daripada kopi susu keluarga.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *