Oscars 2025: Kemenangan ‘The Brutalist’ dan Kontroversi Film-film yang Pakai AI
Ternyata bukan cuma speech 5 menit 40 detiknya Adrien Brody yang ditoleransi The Academy, untuk kemenangannya sebagai Best Actor, tapi AI juga.

Ternyata bukan cuma speech 5 menit 40 detiknya Adrien Brody yang ditoleransi The Academy, tapi AI juga.
Yes, The Brutalist pakai AI Respeecher untuk ‘menyempurnakan’ aksen karakter suami-istri imigran Hungaria yang dimainkan Adrien Brody dan Felicity Jones. Ramai kena backlash, sutradara Brady Corbet mengaku pada Variety kalau AI sama sekali gak mengubah akting Brody dan Jones. Pilihan ini ia ambil untuk refining beberapa huruf dan vokal dalam dialog Hungaria.
“Sebenarnya, ini bukan hal baru. AI cuma mempercepat proses yang biasanya makan waktu & biaya,” tambah sang editor, Dávid Jancsó.
Tapi, bukannya ini alasan SAG-AFTRA bikin strike dari awal?
Meanwhile the MC himself, Conan O’Brien, bilang begini pas opening monologue, “Before we go any further, I want you to know, we did not use AI to make this show. No AI.”
Baca juga: ‘No Other Land’ Menang Oscars, Apa Artinya?
Kenapa Serikat Pekerja di Industri Hiburan AS Menentang AI?
Kita seperti kembali ke 2023, saat ratusan ribu anggota Screen Actors Guild-American Federation of Television and Radio Artists (SAG-AFTRA) dan Writers Guild of America (WGA) melakukan mogok kerja. Situasi itu mengguncang Hollywood di tengah lonjakan penggunaan AI generatif oleh studio.
Selain tuntutan seperti kenaikan upah, asuransi kesehatan, dan uang pensiun, para aktor juga menuntut regulasi yang lebih ketat terhadap replika digital dari suara atau wajah mereka. Pasalnya, teknologi ini memungkinkan studio menggunakan ulang wajah atau suara aktor tanpa persetujuan atau kompensasi yang adil. Mereka juga menolak synthetic performers, di mana AI bisa menciptakan aktor buatan sepenuhnya yang menyerupai manusia.
Meskipun pada Desember 2023 akhirnya SAG-AFTRA berhasil memperoleh perlindungan atas digital replicas, perjanjian ini tidak melarang penggunaan synthetic performers atau AI generatif dalam industri film. Dengan beberapa film nominasi Oscar sudah memanfaatkan AI, ini bisa menjadi preseden bahwa AI tetap akan menjadi bagian dari produksi film di masa depan.
Dalam sesi diskusi “Workers in Focus” World Economic Forum awal Januari 2024 lalu, Duncan Crabtree-Ireland, Direktur Eksekutif Nasional SAG-AFTRA menyayangkan bahwa untuk mencapai pelarangan total AI bagi para CEO studio dan platformstreaming tidak akan berhasil. Pada akhirnya, negosiasi yang dilakukan adalah bagaimana memberikan perlindungan yang jelas dalam kontrak aktor terkait hak atas citra dan suara mereka sendiri dan penggunaan AI.
“Orang mungkin gak sadar, tapi teknologi ini sudah digunakan seperti saat Carrie Fisher direplikasi di Star Wars atau Paul Walker di Fast & Furious,” katanya. Masalahnya, semakin canggih dan murah teknologi AI, semakin besar kemungkinan studio menggunakannya tanpa persetujuan aktor. “Bagi para aktor, ini bukan hanya soal kehilangan pekerjaan, ini soal hak atas identitas mereka,” tegasnya.
Sementara itu, para penulis di Hollywood menuntut pembatasan penggunaan AI dalam proses penulisan. Pada Union Track, Alissa Wilkinson, anggota WGA dari Vox bilang, “Studio bisa ngeluarin biaya lebih sedikit karena mereka gak lagi bayar penulis buat bikin naskah dari nol, tapi cuma untuk ‘menyesuaikan dan menyempurnakan’ ide yang dihasilkan AI.” Setelah aksi mogok hampir 5 bulan, WGA mencapai kesepakatan dengan studio Hollywood bahwa materi yang dihasilkan oleh AI tidak akan dianggap sebagai “materi sastra”, sehingga tidak dapat bersaing dengan penulis untuk mendapatkan kredit di layar.
Menurut studi berjudul “AI is Soulless: Hollywood Film Workers Strike and Emerging Perceptions of Generative Cinema” dari University of Washington, penggunaan AI dalam film bukan hanya soal efisiensi, tetapi juga perjuangan tenaga kerja menghadapi eksploitasi dan ketimpangan regulasi. Selain itu, AI sebagai teknologi juga cenderung regurgitative atau hanya mendaur ulang konten yang sudah ada serta mengurangi kompleksitas emosional dalam film.
Baca juga: ‘The Brutalist’: Dosa ‘American Dream’ yang Menernak Zionisme
The Brutalist Bukan Satu-satunya Nominee Oscars yang Pakai AI
Lewat perannya dalam film The Brutalist sebagai László Tóth, Brody menang sebagai Best Actor di Oscars. Brody, seorang keturunan imigran Hungaria, memerankan seorang arsitek imigran Hungaria sekaligus penyintas Holocaust yang berusaha membangun kembali hidupnya di Amerika.
Pas ditanya Vanity Fair soal drama AI di The Brutalist, Brody chill aja. “Aku senang Brady [sutradara The Brutalist] bisa meluruskan banyak hal dalam pernyataannya. Proses pascaproduksi hanya menyentuh beberapa dialog dalam bahasa Hungaria. Sisanya adalah hasil kerja keras kami dengan pelatih dialek Tanera Marshall,” pungkasnya. Ia justru bangga bisa menceritakan kisah imigran seperti orang tuanya.
Ternyata di perhelatan Oscars tahun ini nggak cuma The Brutalist yang pakai AI, lho. Variety mencatat:
- Di Emilia Pérez, AI dipakai buat nge-blend suara Karla Sofía Gascón sama penyanyi Camille agar bisa hit higher notes.
- Searchlight Pictures mengonfirmasi bahwa AI digunakan dalam A Complete Unknown untuk membantu tiga adegan wide shot di atas motor.
- AI juga dipakai di Dune: Part Two lewat fitur CopyCat di Nuke. Teknologi ini bantu “menyalin” warna biru khas mata Fremen secara otomatis, menghemat ratusan jam kerja tim VFX.
“Barely using AI,” huh? Tapi sebenernya adil nggak sih buat nominee lainnya?
Emang sikap The Academy tentang AI ini gimana, sih?
Academy belum melarang atau membatasi AI secara langsung.
Menurut Variety, saat ini, Academy lagi mempertimbangkan untuk mewajibkan disclosure penggunaan AI dalam aturan Oscar 2026, yang akan diumumkan pada April ini. Bukan berarti AI bakal dilarang, tapi Academy mau pastiin teknologi ini gak dipakai sembarangan atau bikin pekerja film jadi korban. Dengan kata lain, Academy ingin menjaga keseimbangan antara inovasi dan etika.
Well.. Good luck on that, then..
Dari revolusi industri sampai era digital, efisiensi selalu dijadikan alasan untuk menggeser manusia dari pusat produksi. Dalam konteks film, terutama film arus utama yang bersaing di (katanya) ajang penghargaan film tertinggi di Hollywood, “mempercepat proses” dengan AI is a shameful statement.
Fakta kalau teknologi AI sudah masuk dalam ranah akting dan desain produksi menegaskan kekhawatiran yang mendasari aksi mogok kerja para aktor dan penulis tahun lalu. Jika hari ini AI bantu poles performa aktor, seberapa lama sampai teknologi ini bisa sepenuhnya menggantikan mereka?
