Protes Atas Film ‘Pretty Boys’ Terlalu Sensitif?
Pernyataan bahwa film ‘Pretty Boys’ menertawakan dan mendiskriminasi kelompok transgender dianggap berlebihan.
Setelah menonton film Pretty Boys, saya bercuit di Twitter bahwa film tersebut sangat tidak sensitif terhadap kelompok minoritas, dalam hal ini transpuan. Sang sutradara, Tompi, membalas twit tersebut dan mengajak saya untuk membaca penjelasan di beranda akunnya, agar saya tidak nyasar terlalu jauh.
Inilah yang membawa saya akhirnya tenggelam di dalam percakapan banyak orang mengenai isu sensitivitas ini. Percakapan tersebut menyadarkan saya mengenai banyaknya orang yang merasa bahwa sensitivitas terhadap kelompok minoritas dan terpinggirkan bukanlah hal yang penting, dan tidak sedikit yang menganggapnya sebagai sikap yang berlebihan.
Komentar semacam itu bermunculan di bawah twit Tompi yang merespons artikel Tirto.id yang berjudul Cara-cara ‘Pretty Boys’ Jualan Maskulinitas Rapuh dan Beracun. Penulis artikel tersebut menjelaskan bagaimana film ini sangat tidak sensitif terhadap kelompok transpuan, yang diangkat sebagai karakter dan dijadikan bahan olok-olok serta candaan merendahkan yang seksis dan misoginis.
Film ini mengisahkan dua sahabat, Anugrah (Vincent) dan Rahmat (Desta) yang berimpi sejak kecil untuk menjadi bintang televisi. Mereka berdua kemudian memutuskan pindah dari kampung halaman ke Jakarta untuk mewujudkan impian mereka tersebut.
Anugrah dan Rahmat digambarkan sebagai laki-laki cis-heteroseksual yang gigih berusaha untuk masuk ke industri pertelevisian, namun kemudian dihadapkan pada kenyataan di lapangan yang cukup mengejutkan mereka. Mereka diharuskan mengubah karakter maskulin menjadi lebih feminin, tak jarang sampai harus menggunakan riasan serta pakaian perempuan demi memenuhi selera pasar.
Di sini berhamburan respons hingga kelakar dari kedua tokoh utama ini yang berisi stigma negatif dan merendahkan. Pada sebuah adegan mereka akan didandani oleh seorang penata rias yang digambarkan sebagai laki-laki kemayu, Rahmat bertanya, “Ini enggak nular, ini?” Si penata rias menjawab, “Ya, enggak lah, emang cacar, nular.”
Baca juga: Studi: Transgender Korban Terbanyak Persekusi Terhadap LGBT 2017
Scene di atas hanya satu di antara banyaknya pernyataan, candaan hingga kelakar serupa yang dilontarkan oleh tokoh-tokoh di dalam film ini kepada karakter laki-laki kemayu. Tak hanya itu, penokohan karakter lelaki kemayu di dalam film ini hampir semua digambarkan negatif, seperti Roni (Onado Leonardo) yang suka menipu, Ferry Maryadi yang mata duitan, hingga Bayu (Imam Darto) yang egois.
Saya tidak heran namun sedih dengan komentar banyak orang yang justru memilih untuk abai dengan masalah ini, menganggap enteng penggambaran negatif kelompok transpuan di dalam sebuah film. Padahal ini justru adalah salah satu wujud diskriminasi kepada kelompok minoritas ini, alih-alih membantu mereka untuk keluar dari stigma buruk dan mendapatkan hidup nyaman selayaknya kelompok mayoritas yang beruntung.
Dalam laporan yang dikeluarkan oleh Human Rights Watch (HRW) yang berjudul Permainan Politik Ini Menghancurkan Hidup Kami, digambarkan jelas bagaimana beratnya hidup yang dilalui oleh kelompok minoritas ini. Berbagai tindakan diskriminasi mulai dari pengusiran hingga penganiayaan fisik yang mereka alami, dirangkum di dalam laporan yang dirilis pada 2016 lalu tersebut.
Tindakan diskriminasi yang dialami oleh kelompok minoritas ini tidak hanya diterima dari individu ataupun kelompok kecil masyarakat saja, namun juga oleh pemerintah tingkat daerah. Jangankan untuk mendapatkan perlindungan, beberapa peraturan sering kali malah mendiskriminasi kelompok ini.
Pemerintah Kabupaten Bireuen di Aceh, misalnya, mengeluarkan surat perintah berisikan larangan memperkerjakan transpuan atau waria di salon kecantikan. Surat tersebut dikeluarkan pada 7 Maret 2016. Hingga akhir 2018 lalu, media masih merekam banyak razia yang dilakukan sebagai bentuk penerapan peraturan itu.
Baca juga: KTP Bak Harta Karun Bagi Komunitas Transpuan
Peraturan tersebut merupakan salah satu contoh diskriminasi dalam bidang ekonomi terhadap kelompok minoritas. Mereka ditekan dengan dalih “pembinaan”. “Jangan, jenis kelaminnya tidak jelas”, “Salon diperbolehkan memperkerjakan mereka kembali jika sudah tidak lagi menjadi waria.” Itu adalah dua kutipan perkataan Kepala Dinas Syariat Islam Bireuen yang dilansir di detik.com, 19 Maret 2016.
Ini baru satu contoh diskriminasi yang dialami kelompok transgender. Di dalam laporan HRW tersebut masih ada puluhan cerita diskriminasi yang dialami kelompok minoritas lainnya. Membacanya sangat membuat hati nyeri.
Kenyataan-kenyataan ini sangat kelewatan jika kita abaikan. Kasus-kasus tersebut muncul karena stigma negatif yang sudah terbangun di masyarakat. Anggapan-anggapan negatif membuat banyak pihak kemudian bereaksi dan membuahkan kerugian pada kelompok ini.
Banyak sekali tugas rumah yang perlu dilakukan untuk meluruskan stigma-stigma yang sudah terbangun ini. Media hiburan, termasuk film, adalah alat penyampai pesan yang efektif. Karena itulah sensitivitas sangat dibutuhkan di dalamnya agar tak ada lagi stigma yang salah dan merendahkan tersebar luas.
Tokoh masyarakat, tokoh publik, dan berbagai pihak yang memiliki potensi menggiring opini perlu memahami hal ini. Sensitivitas terhadap kaum minoritas yang lemah akan menambah stigma negatif yang berujung pada tindak diskriminatif yang mereka terima.
Menjadi sensitif memang tidak mudah. Selain membutuhkan pandangan yang luas dan pikiran yang terbuka, ia juga kadang menguras emosi. Namun menjadi sensitif terhadap apa yang dialami oleh kelompok-kelompok ini akan menghindari kita menjadi bagian dari orang-orang yang mendiskriminasi dan melanggar hak-hak hidupnya. Satu langkah untuk memanusiakan manusia.