Puan Maharani Ada dalam Penjara Representasi Tanpa Subtansi
Puan harus bekerja sangat, sangat, sangat keras dan gigih untuk menjawab tantangan dari sesama perempuan yang tak pernah merasa terwakili.
Saat Puan Maharani dilantik sebagai Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang baru, media massa kita yang gemar puja-puji kosong menyebut peristiwa tersebut secara hiperbolis sebagai “Ketua DPR perempuan pertama dalam sejarah Indonesia”.
Bila dilihat secara sekilas, tentu saja ini kabar baik bagi perpolitikan Indonesia yang sejak lama sungguh berwatak patriarkal dan diskriminatif. Satu lagi perempuan berhasil merebut ruangnya. Tapi tunggu dulu! Kita perlu mempertimbangkan lagi, seberapa substansialkah representasi ini dalam perjuangan kaum perempuan merebut haknya?
Indonesia pernah memiliki presiden perempuan pertama dalam sejarah, Megawati Soekarno Putri—yang tak lain adalah ibu dari Puan Maharani. Masih belum hilang dari rekaman sejarah bagaimana Megawati menyongsong istana dengan berbekal nama ayahnya dan berbusa-busa mengucapkan cinta pada negeri ini di tahun 1999 melalui naskah pidatonya. Sayangnya, ia mungkin lupa, atau mungkin pula tidak peduli bahwa manusia yang berakal adalah manusia yang kritis terhadap perubahan. Tiga puluh tahun ditindas oleh Orde Baru tidak membuat Megawati mampu menjadi figur pelaksana dari amanat penderitaan rakyat Indonesia.
Sejarah mencatat, selama Megawati memimpin negara ini, berbagai kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) terjadi tanpa penuntasan memuaskan. Pada Mei 2003, Megawati kembali menggelar operasi militer di Aceh dengan sebutan Operasi Terpadu. Sekitar 30.000 tentara dan 12.000 polisi dikirim untuk melawan sekitar 5.000 anggota Gerakan Aceh Merdeka. Akibatnya, ribuan warga Aceh menjadi korban operasi militer. Kaum perempuan di wilayah yang dikenal sebagai serambi Mekkah ini menjadi korban kekerasan seksual.
Catatan hitam Megawati tidak hanya di Aceh. Theys Hiyo Eluay, Ketua Dewan Presidium Papua, diculik dan dibunuh prajurit Komando Pasukan Khusus (Kopassus). Pada Desember 2002, Else Bonay Rumbiak dan Mariana Bonay— istri dan anak aktivis HAM Johanis Bonay ditembak orang tak dikenal. Kasus Wamena Berdarah juga mencuat pada April 2003 dan menyebabkan setidaknya sembilan orang tewas dan 42 lainnya meninggal karena lapar. Terakhir, juga pada masa pemerintahan Megawati, aktivis HAM Munir Said Thalib tewas akibat diracun di pesawat udara pada September 2004.
Baca juga: Bola untuk Keterwakilan Perempuan Ada di Partai Politik
Masa kepemimpinan presiden perempuan pertama di Indonesia tak berhasil membuktikan bahwa politik representasi dapat memberikan perbaikan signifikan terhadap kualitas politik dan kebijakan di Indonesia. Apakah Megawati yang notabene juga mencatat sejarah perempuan lantas memberikan sumbangsih kemajuan terhadap perempuan dan kemanusiaan? Dari ukuran capaian historis secara permukaan iya. Tapi ingat hanya di permukaan saja. Dari ukuran-ukuran substantif, jawaban tegasnya adalah “Tidak”!
Tragedi politik representasi inilah yang kini dihadapi Puan Maharani. Dibesarkan dalam garis keluarga yang berkutat dalam politik seharusnya tak menjadi pemakluman bagi Puan untuk tidak mengkritisi dan mengukur seberapa kompeten dirinya dalam memimpin sekelompok elite yang mengaku sebagai wakil rakyat di DPR. Fakta bahwa kakek dan ibunya pernah menduduki kursi kepresidenan, serta ayah yang juga pernah ada di posisi ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), seharusnya membuat kita bertanya: Apa yang sedang ada di benaknya selain retorika kesetaraan yang nihil implementasi itu? Kekuasaan yang begitu memabukkan? Klaim keniscayaan sejarah sebagai pewaris oligarki politik? Ataukah membawa idealisme sendiri tentang perjuangan kaum perempuan dalam menegakkan harkat dan martabatnya?
Saya pesimis Puan akan bisa mewujudkan cita-cita perjuangan perempuan Indonesia. Saya sangsi Puan akan menyuarakan apa yang kakeknya sebut “amanat penderitaan rakyat (perempuan)” dan menciptakan “Sarinah-Sarinah” yang tangguh di Indonesia. Saya tidak yakin Puan bisa keluar dari telikungan elite militer yang hari-hari ini merangsek makin dalam ke ranah sipil.
Baca juga: Suara Perempuan dalam Panggung Politik Harus Hadir
Ia berada dalam penjara representasi tanpa substansi. Dalam situasi politik seperti sekarang, penjara representasi telah merontokkan tokoh-tokoh besar dalam kerja-kerja politik mereka yang terbukti di kemudian hari begitu memalukan. Apabila Puan gagal mendobrak penjara politik representasi, sejarah akan mencatat untuk kesekian kalinya kegagalan substantif perjuangan kaum perempuan Indonesia di ranah politik.
Puan, sebagai perempuan yang mengaku mewakili kaumnya, apa tindakanmu merespons masifnya kekerasan seksual? Selama ini isu soal (politik) ketubuhan selalu dijadikan pemanis di pinggiran; di arena demonstrasi jalanan hingga Senayan. Sementara elite-elite politik sepertimu terus sibuk menyapu fakta-fakta kasus kekerasan dengan berbagai dalih moralitas tanpa pernah menyentuh akar persoalan.
Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) hanya ramai diperdebatkan, dan kalian sibuk bersitegang tentang ajaran “Tuhan” atau bukan. Padahal, dalam riuhnya argumentasi, korban kekerasan tidak pernah benar-benar berkurang. Sebagian bersembunyi mengamankan diri, sebagian lagi berteriak tanpa peduli caci maki. Sebagian beratribut keagamaan, sebagian membebaskan tubuhnya. Catat, bukan itu yang seharusnya menjadi urgensi, bukan itu pula yang perlu dijadikan alasan membenci karena semua manusia selalu berpotensi menjadi korban kebiadaban tanpa nurani. Harus berapa banyak jumlah korban menambah deret angka, berapa banyak nama memenuhi catatan pilu manusia Indonesia dan kaum perempuannya?
Sebagai pengingat, representasi akan selalu gagal selama ia bekerja tanpa rasa cinta akan kemanusiaan. Begitu juga Puan yang tak benar-benar peduli kaum perempuan. Representasi tidak akan terwujud tanpa bukti nyata penabalan seorang figur sebagai bagian tak terpisahkan dari jalan panjang kaumnya dalam merebut hak-hak politik.
Ringkasnya, representasi akan gagal selama ia tidak menyuarakan jeritan kaumnya di berbagai penjuru negeri. Puan harus bekerja sangat, sangat, sangat keras dan gigih untuk menjawab tantangan dari sesama perempuan yang tak pernah merasa terwakili. Bila kerja-kerja politiknya terbukti memalukan, bersiaplah kaum perempuan membentuk dan memperkuat barisannya sendiri, mengamuk ketika diminta mundur dengan alasan perlindungan, dan berhenti menyerah pada narasi rentan dan hanya bisa jadi korban.