Kekerasan Seksual di Aceh Marak, ‘Qanun Jinayat’ Saja Tak Cukup
UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) tak bertentangan dengan penerapan syariat Islam dalam ‘Qanun Jinayat’. Karena itulah, UU ini perlu ditegakkan di Aceh segera.
*Peringatan pemicu: Kekerasan seksual.
BBC Indonesia mengangkat kisah “Anne”, perempuan yang diperkosa tujuh lelaki dan disekap di sebuah gudang pada 2022. Imbasnya serius, Anne mengalami trauma hingga setahun berselang. Ia harus mengikuti konseling intensif di tengah hujatan yang diterimanya. Mimpi tetap sekolah pun kandas, sehingga ia disarankan ikut program Kejar Paket C demi mengejar cita-cita sebagai bidan.
Masalahnya, pelaku yang jadi otak kekerasan seksual, seorang Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH) cuma diganjar pidana kurungan lima tahun. Sementara, pemerkosa lelaki dewasa dihukum lima belas tahun. Mereka dijerat dengan pasal berlapis Qanun Jinayat tentang pemerkosaan anak, pelecehan seksual, dan larangan ikhtilat (bercumbu dengan anak).
Kisah Anne cuma sebagian kecil kasus perempuan dan anak yang mengalami kekerasan seksual di Aceh. Awal 2023 lalu, masih menurut BBC Indonesia, terbongkar dugaan kekerasan perempuan di Meriah Bener, Aceh yang melibatkan transaksi jual beli manusia.
Baca juga: Timpang Sebelah Beri Hukuman, Qanun Jinayat Tidak Berperspektif Gender
Kasus-kasus tersebut menjadi bukti, kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak di Aceh relatif mengkhawatirkan. Sejak 2019 hingga 2024, terdapat kenaikan angka kekerasan mencapai 323 kasus. Data ini dipaparkan oleh Suraiya Kamaruzzaman, Presidium Balai Syura Aceh, dalam “Peluncuran Hasil Pemantauan Pelaksanaan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual di Aceh”, (7/10).
Dalam diskusi yang digelar Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) itu, Suraiya menuturkan, perlu tindakan serius untuk menangani kasus kekerasan seksual di Aceh. Sayang, upaya tersebut terhambat karena keberadaan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) belum bisa memberi dampak nyata.
Manfaat UU TPKS yang belum terasa merupakan imbas penutupan akses penggunaan aturan, sebagaimana tertulis dalam Pasal 72 Qanun Jinayat. Intinya, semua kasus kekerasan seksual hanya bisa diatur dengan Qanun Jinayat. Hal ini praktis membuat proses pemulihan sampai penanganan kasus yang tertera pada UU TPKS tidak bisa diimplementasikan di Aceh.
Qanun Jinayat sendiri adalah aturan hukum pidana Islam yang diberlakukan bagi setiap masyarakat Aceh, baik yang beragama Islam atau tidak. Itu disusun berdasarkan landasan nilai dan norma syariat Islam. Dalam artikel Magdalene yang menyoal pentingnya merevisi Qanun Jinayat disebutkan, ketidaksesuaian Qanun Jinayat dalam mengatur pidana kekerasan seksual lantaran aturan ini sudah kurang relevan. Itu masih mengacu pada Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang mengatur kekerasan seksual dalam lingkup terbatas. Hanya ada dua jenis perbuatan kekerasan seksual yang terbagi dalam dua jarimah (pelanggaran terhadap larangan agama), yaitu pemerkosaan dan pelecehan seksual.
Selain cakupan yang sempit, Qanun Jinayat juga tidak bisa menjamin hak korban kekerasan seksual. Masih dari artikel yang sama, tidak ada norma yang dapat digunakan dalam Qanun Jinayat apabila korban membutuhkan pemulihan, restitusi, perlindungan, dan pemenuhan hal lainnya.
Sebaliknya, korban justru terancam dengan besarnya kemungkinan kembalinya pelaku ke masyarakat, sebagai akibat dari hukum cambuk yang singkat. Yang terparah, dalam kasus kekerasan seksual terhadap anak, potensi munculnya kekerasan seksual baru dalam bentuk pemaksaan perkawinan justru semakin rentan terjadi.
Baca juga: Pentingnya Merevisi Qanun Jinayat, Terutama Pasal tentang Kekerasan Seksual
UU TPKS Tidak Ingkari Syariat Islam
Sebagai wilayah yang memiliki otonomi penuh untuk mengatur urusan daerahnya, Aceh memang punya kewenangan khusus untuk mengimplementasikan syariat Islam dalam aturan hukumnya. Namun, menurut Imam Nahe’i, Komisioner Komnas Perempuan, UU TPKS sebagai payung aturan kekerasan seksual di Indonesia, tentu tidak menyalahi syariat Islam dan hukum adat.
Itu terkonfirmasi lewat riset yang ia lakukan bersama dua belas organisasi pemantau hak perempuan Aceh dan Komnas Perempuan, sepanjang 2023 lalu.
“Komnas Perempuan meyakini UU TPKS di Aceh tidak sama sekali bertentangan dengan penerapan syariat Islam. Sebaliknya, aturan ini justru sejalan dengan tujuan syariat Islam, yaitu memberikan perlindungan, dan mewujudkan keadilan bagi seluruh masyarakat Aceh, termasuk perempuan,” jelasnya.
UU TPKS sendiri adalah rumusan yang dihasilkan dari perjuangan berbagai lapisan masyarakat di Indonesia, termasuk para ulama dan juga pengelola organisasi Islam besar lainnya. Karena itu, imbuh Imam, UU TPKS enggak ditujukan untuk melemahkan hukum Islam/ adat di Aceh. “UU TPKS diharapkan bisa mendatangkan keadilan dan jaminan perlindungan, serta pemulihan yang terbuka terhadap perempuan. Untuk itu, UU TPKS yang diharapkan berlaku secara nasional ini bisa menjamin keadilan bagi perempuan di manapun,” ucapnya.
Baca juga: Aliansi Nasional: RKUHP Masih Berpotensi Kriminalisasi Kelompok Rentan
Pemerintah Aceh Perlu Segera Berbenah
Masih dalam acara yang sama, Suraiya Kamaruzzaman memberi masukan soal intervensi apa yang perlu dilakukan pemerintah Aceh. Apalagi mengingat masih banyak penyelenggaraan hukum Qanun Jinayat yang merugikan korban. Itu masih ditambah pula dengan kapasitas aparat penegak hukum yang belum mumpuni.
Saran pertama, penting bagi pemerintah Aceh untuk menerapkan pluralisme hukum dalam penanganan kasus kekerasan seksual di Aceh. Sebagai bagian dari wilayah Indonesia, sudah semestinya mereka patuh dan melaksanakan hukum nasional untuk perlindungan saksi dan korban kekerasan seksual.
Kedua, peningkatan kapasitas aparat penegak hukum jadi agenda penting yang perlu segera dilakukan. Peningkatan pemahaman materi hukum terkait UU TPKS perlu dilakukan, baik kepada pihak kepolisian, kejaksaan, maupun Mahkamah Agung. Hal ini penting untuk mengembangkan kapasitas, evaluasi perbaikan layanan, sampai implementasi hukum terhadap kasus kekerasan seksual yang lebih baik di wilayah Aceh.
Ketiga, Suraiya bilang, penting bagi pemerintah Aceh untuk melakukan perbaikan mekanisme layanan, dengan memprioritaskan aspek perlindungan dan pemulihan pada korban kekerasan seksual. Sebab, sudah semestinya pemerintah mendukung langkah-langkah inisiatif masyarakat sipil dalam melakukan pendampingan hukum pada korban dan keluarganya. Kita sama-sama berharap tak ada lagi Anne-anne yang lain di Aceh.
Ilustrasi oleh: Karina Tungari