“Aira” sempat diliputi keraguan jelang pernikahannya. Kala itu, ia dan “Azam”—calon suami yang kini menjadi suami—tengah mempersiapkan pernikahan yang akan berlangsung dalam dua bulan. Penyebabnya adalah kondisi finansial. Aira melihat perbedaan kondisi Azam yang baru merintis karier, dengan ayahnya yang memiliki jabatan di Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).
“Penghasilan ayah lebih dari cukup untuk menghidupi saya. Dia bisa memberikan kenyamanan. Apakah nanti kehidupan dengan Mas Azam bisa senyaman itu?” cerita Aira pada Magdalene, (17/4).
Keinginan Aira menikahi Azam berawal dari kesamaan visi antara keduanya. Mereka mengutamakan ibadah, termasuk dalam tujuan berumah tangga. Aira mencari sosok pendamping yang wawasan agamanya lebih baik—yang ditemukan dalam diri Azam. Sebab, Azam pernah mengenyam pendidikan di Universitas Islam Negeri (UIN), dan memiliki pekerjaan sampingan di Kementerian Agama (Kemenag).
Hal itu membuat Aira dan Azam banyak berdiskusi tentang agama. Ditambah Azam yang cukup ahli di Fikih, ilmu tentang syariat Islam.
“Saya yakin, dia orang yang saya cari dari segi agama, dan (punya) visi menikah untuk ibadah,” jelas perempuan 23 tahun itu.
Aira bertemu dengan Azam di perusahaan media tempatnya bekerja. Keduanya bekerja sebagai jurnalis, dengan posisi Azam yang merupakan senior Aira. Ketika yakin untuk menikah, Aira dan Azam memang baru saling mengenal selama dua bulan.
Aira yang awalnya yakin menikahi Azam, mendadak mempertanyakan keinginannya. Keraguan muncul, setelah Aira melihat temannya yang belum menikah, bekerja sebagai apoteker. Temannya hidup berkecukupan, diikuti kesuksesan karier, dan punya barang-barang bermerek. Meskipun sebagian dari kecukupan itu diberikan orang tuanya.
“Saya mikir, dia aja bisa dapetin itu. Saya juga mau hidup enak, persis sebelum menikah,” harap Aira.
Keraguan sebelum menikah mungkin tak hanya dialami Aira. Sebagian orang menyebutnya ujian pranikah. Namun, apa yang menyebabkan situasi ini kerap terjadi?
Baca Juga: Menikah Tak Cuma Soal Sayang dan Pesta, Butuh Persiapan Mental
Di Balik Keraguan Sebelum Menikah
Perkara hidup berkecukupan, bukanlah satu-satunya keraguan yang muncul di benak Aira. Memutuskan menikah di usia 22 tahun adalah pertimbangan lain. Saat itu, ia baru bekerja selama sembilan bulan. Ada pemikiran belum menikmati karier, dan ingin menunda pernikahan setahun.
“Mungkin karier suami lebih settle, dan finansialku lebih stabil,” kata Aira.
Terkait keraguan tersebut, psikolog klinis asal New York Jocelyn Charnas memberikan penjelasan. Dalam wawancara bersama Brides, ia menyebutkan, ragu dan cemas sebelum menikah wajar terjadi. Perasaan ini merupakan reaksi atas ketakutan dan kekhawatiran, ketika seseorang akan melalui transisi kehidupan—dalam hal ini pernikahan. Sederhananya, pernikahan adalah sesuatu yang besar, sehingga keputusan perlu diambil dengan serius.
Menurut Charnas, penggambaran media tentang pernikahan justru memperburuk kondisi ini, baik dalam film maupun kehidupan selebritas. Misalnya pernyataan Nick Jonas di SiriusXM pada 2019. Jonas mengaku, ketika baru berpacaran dengan Priyanka Chopra, ia tahu Chopra adalah pasangan hidupnya. Bahkan, yakin untuk segera melamar.
Begitu pula dengan Gisele Bündchen. Ketika diwawancara untuk sampul British Vogue edisi 2015, Bündchen mengatakan, ia tahu Tom Brady adalah jodohnya saat pertama kali bertemu.
“Saya bisa melihat dari matanya, Tom adalah pria berintegritas yang percaya pada hal yang sama dengan saya,” ujar Bündchen.
Ungkapan seperti diucapkan kedua public figure tersebut, membuat keraguan menjelang pernikahan seolah bukan sesuatu yang lumrah. Terutama di sejumlah agama yang menekankan pernikahan sekali seumur hidup, dan orang-orang yang memilih hubungan monogami. Membuat pemilihan pasangan hidup menjadi pertimbangan besar.
Baca Juga: Benarkah Menikah dengan Feminis itu Ribet?
Terlebih setiap orang memiliki perbedaan latar belakang, seperti Aira dan Azam. Orang tua Aira lulusan Sekolah Menengah Atas (SMA), dan ayahnya merupakan staf BUMD. Sementara orang tua Azam lulusan Sekolah Dasar (SD), dan bekerja sebagai petani.
Bagi sebagian orang, salah satunya Aira, perbedaan tersebut bukan sesuatu signifikan. Namun, belum tentu berlaku bagi pasangan lain sehingga tetap perlu dibicarakan lantaran menyangkut keberlangsungan hubungan.
Tak dimungkiri, keyakinan bahwa pasangan adalah satu-satunya dipengaruhi oleh gagasan soulmate atau the one, yang kerap jadi tolok ukur dalam relasi romantis. Bahkan mendambakan hubungan yang sempurna dan berakhir bahagia, membuat keraguan dipandang sesuatu yang tak seharusnya terjadi.
Padahal, keadaan ini dapat diatasi sekaligus dievaluasi sebelum menikah.
Mengatasi Keraguan Menjelang Pernikahan
Dalam Uncoupling: Turning points in intimate relationships (1986), sosiolog Diane Vaughan menyebutkan, keraguan menjelang pernikahan harus ditanggapi dengan serius. Artinya, perlu divalidasi, dan digunakan sebagai kesempatan untuk mencari tahu penyebabnya. Atau mengungkapkannya pada pasangan, meskipun sulit dilakukan.
Hal itu terjadi pada Aira. Menurutnya, tidak etis menyampaikan keraguannya pada Azam. Apalagi baru saling kenal selama dua bulan, dan kebanyakan mendiskusikan hal-hal prinsipiel. Kendati demikian, Aira menceritakan perasaannya pada sang ibu.
“Mama ngingetin, dulu (pekerjaan) ayah juga bukan apa-apa,” tutur Aira. “Mungkin sekarang gaji suamiku segitu, tapi enggak tahu ke depannya. Kata mama, pernikahan dan anak bawa rezeki masing-masing.”
Baca Juga: Ruang (Ny)Aman: Dilema Pernikahan Beda Agama
Nasihat ibunya berhasil meyakinkan Aira untuk melanjutkan pernikahan. Pada September 2022, ia menikah dengan Azam. Hingga kini, rumah tangganya berjalan baik, diikuti kestabilan ekonomi.
Kendati demikian, Charnas menyarankan untuk mengomunikasikan keraguan pada pasangan. Percakapan ini dapat menjadi kesempatan untuk meyakinkan diri, bahwa pasangan adalah sosok yang tepat.
“Kalau pasanganmu bisa menanggapi dengan empati dan pengertian, bukan bersikap defensif, itu mencirikan pernikahan yang sehat,” terang Charnas.
Di sisi lain, keraguan juga bisa dilihat sebagai tanda untuk membatalkan pernikahan. Salah satunya ketika salah satu pihak enggan mengungkapkan kekhawatiran, maupun mendengarkannya. Hal ini mencerminkan kurangnya komunikasi, yang bisa berarti relasi belum siap dilanjutkan ke jenjang berikutnya.
Sementara apabila keraguan sampai menyebabkan kecemasan dan mengganggu aktivitas sehari-hari, Charnas menganjurkan untuk waspada. Bisa jadi ada masalah lain di balik kondisi tersebut.
Berbeda dengan Aira. Ia melihat keraguan menjadi dua pertanda, yakni berserah pada Tuhan, atau peringatan bahwa pasangan bukanlah sosok yang dibutuhkan. Menurut Aira, keraguan bisa diatasi apabila datangnya bukan dari hal-hal prinsipiel. Sebaliknya, jika sudah menyangkut prinsip sebagai individu dan tidak dapat ditoleransi—seperti melakukan kekerasan verbal dan fisik, kemungkinannya pertanda pasangannya bukan yang terbaik.
“Kalau hal-hal prinsipiel dilanggar sama pasangan, bisa jadi peringatan dari Tuhan bukan yang terbaik,” ucap Aira. Tapi di luar itu, seperti fisik, ekonomi, atau hal-hal sepele yang bikin ragu, bisa jadi karena kurang bersyukur, merasa cukup, dan berserah diri.”