Lifestyle

Ramai-ramai ‘Bully’ Orang Jelek: Pengalamanku 4 Hari JadiNgab-Ngabdi Akun Receh

Empat hari berkamuflase jadi ngab-ngab dan follow beberapa akun receh, buat aku sadar. The sequel of Mean Girls should be called Mean Boys.

Avatar
  • January 20, 2023
  • 8 min read
  • 923 Views
Ramai-ramai ‘Bully’ Orang Jelek: Pengalamanku 4 Hari JadiNgab-Ngabdi Akun Receh

Ide ini terlontar pada (20/12). Waktu itu, kami di redaksi kehabisan topik untuk artikel eksperimen. Tiba-tiba kawan kami, Paul mengusulkan, kenapa enggak coba menulis tentang kebiasaan kita merundung orang yang dinilai “jelek” atau “norak” di akun-akun receh. Kata pria yang aktif di media sosial itu, kini mulai banyak akun receh yang gemar shit posting, termasuk posting “keburukan” orang untuk dikeroyok.

Metode keroyokannya pun enggak tanggung-tanggung. Warganet biasa meninggalkan komentar-komentar pedas. Kadang isi komentarnya terlampau enggak manusiawi, seperti, “Setan saja malu lihat kelakuannya,” “Gimana perasaan orang tua melihat beban keluarga ini,” “Mending mati aja, Mbak.”

 

 

Karena ingin tahu langsung keganasan warganet, aku lalu bereksperimen dengan mengikuti semua akun-akun tersebut. Pertama, aku membuat akun kedua yang aku biarkan bisa dilihat orang (tidak private). Selanjutnya aku mengganti profile picture (aku ganti dengan karakter Todd dari BoJak Horseman), username, hingga nama secara bertahap. Terakhir, aku secara membabi buta mengikuti akun-akun receh di Instagram. Dari dr.herp, Jakarta.keras, Dagelan, awreceh.id, memecomic.id, kegobloganunfaedah, katababa_, dan clabsosial.

Belum sampai satu jam membuka akun, aku langsung di-follow oleh akun-akun receh kecil. “Wah, aku sukses berkamuflase sepertinya,” pikirku. Dengan ini, eksperimenku resmi dimulai.

Sumber: Dokumentasi Pribadi
Sumber: Dokumentasi Pribadi

Baca Juga: Pengalamanku Tes Papsmear Sebagai Odhiv: Diskriminasi pada Perempuan Lajang

Orang Indonesia Hidup di Dunia Digital

Dua hari pertama aku menjadi pengamat akun-akun receh, lebih banyak jadi silent reader. Hari-hariku di tengah waktu istirahat atau selesai kerja, habis untuk doom scrolling akun-akun receh ini sampai screen limit harianku bablas lebih dari lima jam sehari.

Selama doom scrolling ini, setiap 15 menit atau setengah jam sekali aku berganti akun receh. Selama itu aku coba melihat secara saksama apa saja postingan dan komentar yang dilontarkan para warganet. Ini semua aku lakukan untuk mempelajari situasi dan pola perilaku warganet di setiap akun. Tujuannya agar di hari ketiga, ketika aku memutuskan untuk nimbrung atau berkomentar, tidak merasa out of place, alias salah tempat.

Satu hal yang menarik tapi juga bikin geleng-geleng kepala saat jadi pengamat adalah aku baru menyadari orang Indonesia sepertinya terlalu gabut. Serius, se-gabut itu. Bayangkan jika akun-akun ini mengunggah konten, belum sampai satu jam, kolom komentar sudah bisa mencapai angka ratusan dengan dua komentar teratas pasti sudah mendapatkan setidaknya 2 balasan dari warganet lain. Bahkan untuk akun seperti Dagelan, dalam waktu kurang dari 20 jam jumlah komentar bisa melebihi angka 6.700.

Saking herannya, aku coba pasang notifikasi untuk beberapa akun receh. Hasilnya, ketika aku telat membuka notifikasi barang 15 menit saja, di akun-akun seperti dr.herp, Jakarta.keras, Dagelan, awreceh.id, dan memecomic.id sudah ada puluhan orang yang menghiasi kolom komentar dengan celetukan mereka.

Ternyata kebiasaan warganet ini dibenarkan oleh riset ilmiah. Rata-rata penggunaan media sosial orang Indonesia menurut laporan Hootsuite (We are Social) dalam Indonesian Digital Report 2022, menghabiskan waktu di internet sebanyak 8 jam 52 menit per hari, lebih dari rata-rata global rata-rata, yaitu 6 jam 58 menit.

Bahkan dalam perhitungan khusus platform media sosial, yang artinya individu tersebut memakai media sosial lewat aplikasi bukan lewat website, masyarakat Indonesia menghabiskan waktu rata-rata 3 jam 17 menit. Sementara, rata-rata penggunaan global hanya 2 jam 27 menit.

Melihat angka ini, pantas saja akun-akun receh selalu ramai bahkan di menit pertama konten diunggah. Orang Indonesia memang lebih suka hidup di dunia maya.

Baca Juga: Kumpulan ‘Orang Sakti’ Jabodetabek, Mereka Bisa Tidur Sambil Berdiri

Orang Jelek Wajib Dihina

Selama rapat editorial, kami mendapat gambaran, orang Indonesia punya semacam alergi dengan orang “jelek”. Di dunia nyata, orang yang dianggap tak menarik menurut standar kecantikan sudah mengalami diskriminasi sistemik. Dalam beberapa studi yang dipublikasikan American Psychological Association disebutkan, orang “jelek” memiliki kesempatan yang lebih kecil mendapatkan pekerjaan atau mendapatkan promosi.

Mereka juga lebih mungkin dinyatakan bersalah dan menerima hukuman yang lebih berat oleh juri, dan kecil kemungkinan untuk terpilih sebagai kandidat politik. Melihat diskriminasi sistemik ini di dunia nyata ini, aku mulanya berpikir, “Maybe in the digital world it’s not that bad.” Ternyata anggapanku ini salah besar.

Selama empat hari melakukan eksperimen aku menemukan, baik di dunia nyata maupun maya, orang jelek adalah kelompok rentan yang sering jadi sasaran diskriminasi. Dalam berbagai akun receh, mayoritas orang yang berkomentar sangat “berdedikasi” dalam merundung orang jelek di media sosial. Tak hanya menghabiskan waktunya menulis kalimat-kalimat jahat, mereka juga kerap kali saling berbalas komentar dengan warganet lain seraya menertawakan orang dalam postingan tersebut.

Sumber: Dokumentasi Pribadi

Mereka bahkan sampai membuat inside jokes sendiri. Misalnya, “300 sama kandang, pakan cari sendiri.” Inside jokes tersebut menekankan orang yang mereka bully layaknya binatang yang tak layak dipelihara saking jelek dan tak berguna, sehingga dijual murah.

Selama empat hari ini pula aku jadi semakin percaya beauty privilege is real. Hal ini terlihat sekali dari beberapa unggahan yang menampilkan perempuan cantik, warganet cenderung lebih ramah. Aku jarang sekali menemukan komentar jahat yang menyasar langsung kepada perempuan-perempuan itu.

Bahkan dalam video yang viral menampilkan perempuan cantik menurut standar mayoritas–putih, langsing, rambut lurus–warganet sibuk memuji. Di saat yang sama, warganet mencela habis-habisan pacar si perempuan yang dinilai jelek.

Temuanku ini kemudian membuatku cari tahu lebih lanjut. Kenapa kita bisa sejahat itu kepada orang yang dianggap jelek atau tak menarik? Dalam jurnal yang diterbitkan Social Psychological and Personality Science (2020) ditemukan, ini terkait dengan respons bawaan manusia. Respons bawaan ini dirancang untuk mengingatkan kita akan objek yang mungkin mengandung penyakit dan berpotensi berbahaya.

Dengan mengaktifkan sistem imun perilaku, secara tidak sadar kita memperlakukan orang yang kita anggap tidak menarik, seolah-olah sedang mengidap penyakit menular. Sayang, respons ini selama kita tumbuh dewasa dibentuk kembali oleh budaya dan media, termasuk standar kecantikan. Inilah yang membuat respons bawaan kita jadi semacam prasangka yang bisa mengarah pada diskriminasi, kalau kita tidak buru-buru mengontrolnya.

Baca Juga: Seminggu Nonton Film Horor Asia: Makin Yakin Hantu Barat Enggak Mutu

Mean Girls? Now I only know Mean Boys!

Jujur saja, komentar-komentar jahat yang aku temui di akun-akun receh ini sempat membuatku conflicted. Aku tidak ingin ikut berkomentar jahat. Sudah cukuplah dosaku di dunia nyata, tidak perlu ditambahkan lagi. Terlebih, aku pernah dirundung hingga trauma panjang. Karena itulah berkomentar jahat sama sekali tak pernah terbersit dalam kepala. Namun, demi melakukan eksperimen, aku memutuskan untuk melakukannya.

Keputusanku ini membuahkan empat komentar. Ya, hanya empat komentar tapi perjuangannya luar biasa berat. Sebelum berkomentar, aku bisanya harus berdiam diri dulu setengah jam. Deg-degan tidak karuan seraya berdoa semoga Tuhan tahu kalau apa yang aku lakukan ini semata-mata untuk eksperimen.

Selesai berkomentar, aku memperlihatkan salah satu komentarku kepada Aurel, temanku yang juga reporter dari Magdalene. Dia berkata salah satu komentarku jahat. Jujur, setelah Aurel bilang begitu, sampai rumah aku sempat bengong. Merenungi tindakanku dan memutuskan akan menghapusnya setelah eksperimen itu selesai.

Sumber: Dokumentasi Pribadi

Walau dikatakan jahat, ternyata komentarku ini belum ada apa-apanya dibandingkan komentar ngab-ngab lain. Kita sama-sama tau di dalam masyarakat, perempuan selalu diasosiasikan sebagai biang gosip dan tukang nyinyir. Itulah kenapa, katanya, neraka banyak dihuni oleh perempuan (aku, sih enggak percaya). Stereotip ini sudah mendarah daging sampai diabadikan di berbagai produk budaya populer. Lihat saja film Mean Girls atau serial Gossip Girls yang digadang-gadang jadi ikon pop 2000-an.

Jika kamu menghabiskan waktu berjam-jam berkamuflase jadi ngab-ngab di akun receh, aku yakin stereotip mean girls ini tak akan lagi kamu amini. On the contrary, boys are actually meaner than girls.

Ini adalah penemuanku paling menarik. Dari semua akun receh yang aku ikuti, mayoritas komentar jahat berasal dari akun milik laki-laki. Perempuan memang ada yang berkomentar tapi level kekejamannya tidak bisa menyamai level para ngab-ngab ini. Komentar-komentar ini juga tak pernah lepas dari pesan implisit bahwa orang yang mereka hina itu seperti binatang dan saking jeleknya wajib disiksa.

Parahnya lagi setiap aku melihat setiap balasan dari komentar-komentar ini, ngab-ngab lain semakin asyik menghina dan menertawakan orang yang dalam postingan tersebut. Mungkin kalau ada yang mengingatkan akan disangka party popper kali ya.

Sumber: Dokumentasi pribadi

Ternyata, fakta yang kutemukan ini juga pernah diteliti oleh tiga peneliti dari Universitas Georgia (UGA) yang diterbitkan dalam jurnal Aggressive Behavior (2016). Dengan meneliti anak sekolah dari jenjang Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Atas, para peneliti menemukan, di setiap tingkat kelas, tak hanya anak laki-laki lebih agresif secara fisik, mereka juga lebih sering terlibat dalam apa yang disebut perilaku agresif relasional (desas-desus dan komentar jahat, pengucilan, dan penolakan sosial) daripada anak perempuan.

Secara detail, peneliti menuliskan anak laki-laki memang berpotensi jadi pelaku kekerasan, yaitu pelaku kekerasan level moderat (anak laki-laki 55 persen, anak perempuan 45 persen) dan pelaku kekerasan level tinggi (anak laki-laki 66,7 persen, anak perempuan 33,3 persen) dari perilaku agresif relasional.

Melihat temuan eksperimen dan penelitian ini, aku cuma bilang, sepertinya untuk sekuel Mean Girls diganti saja jadi Mean Boys. Aku juga jadi ingin tanya ke Pak Ustaz, kalau kenyataannya seperti ini, apakah neraka tetap didominasi oleh perempuan ya?



#waveforequality


Avatar
About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *