December 5, 2025
Issues Politics & Society

Rangkap Jabatan Wamen, Janji Surga 19 Juta Lapangan Kerja 

Alih-alih memperluas akses kerja bagi rakyat, rangkap jabatan wamen justru mempertebal privilese elite.

  • August 1, 2025
  • 5 min read
  • 1445 Views
Rangkap Jabatan Wamen, Janji Surga 19 Juta Lapangan Kerja 

“Gara-gara wamen-wamen pada jadi komisaris, kita ngiler juga kan,” kelakar Menteri Koordinator Bidang Pemberdayaan Masyarakat Muhaimin Iskandar atau Cak Imin. Pernyataan itu terlontar dalam acara kongres Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII).  

Belakangan jabatan wakil menteri (wamen) merangkap jadi komisaris memang ramai dibicarakan masyarakat sipil. Mereka di satu sisi dipercaya mengelola kementerian, di sisi lain menjabat komisaris di perusahaan negara. Tentu saja lengkap dengan penghasilan ganda dan ruang konflik kepentingan. Hal ini menjadi ironi di tengah tingginya angka pengangguran dan janji penciptaan 19 juta lapangan kerja dari rezim baru Prabowo-Gibran. 

Data dari Transparency International Indonesia (TII) menunjukkan, 33 dari 56 wamen serta satu pejabat dari Badan PCO merangkap sebagai komisaris. Sebagian besar ditugaskan di perusahaan induk atau anak usaha BUMN. Situasi ini semakin kompleks setelah peluncuran Badan Pengelola Investasi Anagata Nusantara (BPI Danantara) yang memperbesar kewenangan Kementerian BUMN dalam penunjukan komisaris. 

Sekretaris Jenderal TII Danang Widoyoko melihat tren ini tidak lepas dari intervensi politik. “BUMN sejak dulu memang sulit dilepas dari intervensi politik. Tren ke depan sepertinya intervensi semacam ini akan sampai pada level direksi. Termasuk dalam pembentukan Danantara pengurusnya juga bagian dari elit politik,” ujarnya dalam rilis TI yang diterima Magdalene, (29/7). 

Danang mencatat kabinet Prabowo merupakan yang terbesar sepanjang sejarah Indonesia. Komposisi besar ini mencerminkan koalisi pendukung yang luas, yang kemudian dibayar dengan distribusi jabatan. 

“Alih-alih mau memperkuat, penempatan wamen justru memperlihatkan lemahnya tata kelola perusahaan negara. Menempatkan pejabat publik di posisi strategis BUMN memperbesar risiko konflik kepentingan dan korupsi,” ucap Danang. 

Baca Juga : Carut Marut Pemerintahan Prabowo: Tanggung Jawab Siapa? 

Rangkap Jabatan dan Gagalnya Good Governance 

Seira Tamara, peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), menilai rangkap jabatan wamen melanggar prinsip good governance. Ia menyebut mengelola satu entitas negara saja sudah kompleks, apalagi dua sekaligus. 

“Menjalankan dan mengendalikan operasional suatu Kementerian kan tidaklah sederhana, tidaklah sedikit juga tanggung jawabnya, maka ini akan sangat punya potensi memengaruhi performance-nya,” ujarnya kepada Magdalene

Seira menegaskan masyarakat menjadi pihak yang paling dirugikan. Lembaga negara berurusan dengan layanan publik, maka efektivitas kerja para pejabat berpengaruh langsung terhadap kualitas layanan. 

“Roda pelayanan yang baik harus dijamin oleh Menteri dan Wakil Menteri agar masyarakat mendapat manfaatnya.” 

Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai penunjukan komisaris merupakan bagian dari politik balas budi setelah Pilpres. “Kita tidak menampik adanya realitas itu,” kata Seira. 

Ia juga menolak jabatan penting seperti komisaris, direksi, atau posisi strategis di BUMN diisi oleh menteri, wakil menteri, atau kader partai. Seharusnya posisi strategis diisi orang dengan pengalaman, rekam jejak kredibel, dan kemampuan terbukti. 

“Maka tentu yang ideal adalah orang-orang yang punya pengalaman, dan punya rekam jejak yang sesuai dengan bidang tersebut, dipilih yang sudah terbukti, teruji untuk di taruh di posisi tersebut.” 

Lebih lanjut, penelitian ICW berjudul “Rangkap Jabatan Komisaris dan Dewan Pengawas Badan Usaha Milik Negara” (2023) mencatat ada 119 perkara korupsi di BUMN sepanjang 2016–2021. Kerugian negara mencapai Rp49,7 triliun, dengan 210 tersangka dari lingkungan perusahaan negara. Pemerintah dinilai mengabaikan konflik kepentingan sebagai ancaman serius. Padahal BUMN membutuhkan pengelolaan yang profesional dan bersih. 

Baca Juga : Toleransi Tinggi pada Korupsi, Penyebab Duit Rakyat Dicuri Melulu? 

Etika dan Hukum Diabaikan 

Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengeluarkan putusan Nomor 21/PUU-XXIII/2025 yang mempertegas larangan rangkap jabatan untuk pejabat negara, termasuk menteri dan wakil menteri. Putusan ini mengacu pada putusan MK sebelumnya Nomor 80/PUU-XVII/2019. 

Namun, Ketua MPR Ahmad Muzani justru merespons putusan MK dengan enteng. “Tidak ada kewajiban untuk dilaksanakan karena itu pertimbangan untuk sebuah keputusan, tapi keputusannya tidak begitu. Itu kan bukan keputusan tapi itu pertimbangan,” ujarnya seperti dikutip dari Kompas

Pernyataan itu memperlihatkan sikap mengabaikan etika publik dan memberi ruang legal bagi 33 Wamen untuk tetap bercokol di dua posisi sekaligus. Sindiran dari elite politik, seperti yang dilontarkan Cak Imin, mencerminkan kegelisahan sekaligus pengakuan bahwa jabatan ganda ini menjadi sumber perebutan kepentingan. Seira menyebut masyarakat justru merasa terganggu dengan candaan-candaan seperti itu. 

“Bagi mereka secara personal, orang bersangkutan mungkin tidak akan memikirkan konflik kepentingan saat menekan kontrak jabatan kedua. Karena mikirnya kaya saya akan punya dua jabatan, berarti saya akan dapat gaji dua dari dua tempat yang berbeda. Jadi lebih memikirkan keuntungan pribadi semata,” ujarnya. 

Baca Juga : Liga Korupsi Indonesia: Mana Korupsi dengan Jumlah Paling Bombastis? 

Rangkap jabatan memang tidak dikategorikan sebagai tindak pidana. Namun Pasal 23 dalam UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara menyebut, presiden memiliki kewenangan untuk memberhentikan pejabat negara yang merangkap jabatan. Meski demikian, belum terlihat adanya sinyal dari Presiden Prabowo untuk menindak. Seira justru menyebut Presiden cenderung ingin memperluas “kue kekuasaan” untuk loyalisnya. 

“Rasanya sulit mengandalkan kebijakan dari presiden tersebut, untuk memberhentikan atau memberikan sanksi berupa pemberhentian pada orang rangkap jabatan,” ucap Seira. 

Sementara itu, penelitian Ipan Nurhidayat dari Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Tasikmalaya tahun 2023, Prinsip-Prinsip Good Governance di Indonesia, menekankan pentingnya kolaborasi antara pemerintah, masyarakat sipil, dan sektor swasta untuk menciptakan tata kelola yang bersih, transparan, dan bebas dari penyimpangan. 

Namun, kenyataan hari ini justru menunjukkan sebaliknya. Presiden Prabowo sering menyuarakan komitmen antikorupsi, tapi pembiaran terhadap praktik rangkap jabatan justru memperkuat kesan bahwa kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN) semakin dekat dengan pusat kekuasaan. Masyarakat sipil melihat janji pemberantasan korupsi tak lebih dari slogan kosong tanpa langkah konkret. 

About Author

Ahmad Khudori

Ahmad Khudori adalah seorang anak muda penyuka kelucuan orang lain, biar terpapar lucu.