Liga Korupsi Indonesia: Mana Korupsi dengan Jumlah Paling Bombastis?
Netizen kembali berkreasi dengan menyusun "Liga Korupsi Indonesia," mengurutkan kasus korupsi terbesar di tanah air, serta nominalnya yang bikin geleng kepala.

Setelah Kejaksaan Agung (Kejagung) mengungkap kasus dugaan korupsi dalam tata kelola minyak mentah dan produk kilang di Pertamina, warganet mulai ramai membandingkan jumlah korupsi yang menyebabkan kerugian negara
Di media sosial, istilah “Klasemen Liga Korupsi Indonesia” pun muncul. Konsep ini dibuat layaknya liga sepak bola, di mana kasus-kasus korupsi diurutkan berdasarkan jumlah kerugian yang ditimbulkan. Dalam beberapa hari terakhir, klasemen ini viral dan menjadi bahan diskusi panas di berbagai platform.
Dilansir dari Kompas, istilah ini pertama kali diperkenalkan akun X/Twitter @Kanlir pada 27 Desember 2024. Tak lama setelah itu, akun Instagram @halodesners ikut mengadopsi istilah tersebut, bertepatan dengan mencuatnya kasus dugaan korupsi Pertamina pada 24 Februari 2025.
Terinspirasi dari sistem peringkat dalam dunia sepak bola, “Liga Korupsi Indonesia” menyusun daftar kasus-kasus korupsi yang paling merugikan negara, memberikan gambaran seberapa besar dampak yang ditimbulkan dari setiap skandal korupsi yang terungkap.
Baca Juga: 6 Film yang Mengungkap Wajah Korupsi Institusi Kepolisian
Deretan Kasus Korupsi Terbesar di Indonesia, Kerugiannya Bikin Geleng-Geleng
Indonesia punya sederet skandal megakorupsi dengan nilai kerugian negara yang mencapai ratusan triliun rupiah. Berdasarkan berbagai sumber, ada setidaknya lima kasus besar yang masuk dalam “Liga Korupsi Indonesia” dan merugikan negara dalam jumlah yang fantastis. Yuk, simak daftar lengkapnya!
- Skandal Minyak Mentah Pertamina – Kerugian Rp 193,7 Triliun
Kasus megakorupsi di lingkungan Pertamina subholding ini terungkap setelah penyidik Kejaksaan Agung menemukan adanya permainan kotor antara pejabat dan broker dalam tata kelola minyak mentah dan produk kilang periode 2018-2023. Akibatnya, negara dirugikan Rp 193,7 triliun, angka yang sudah bikin pusing, tapi ternyata masih bisa lebih besar.
Dikutip dari Tempo, menurut Harli Siregar, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, jumlah kerugian yang terungkap sejauh ini hanya untuk tahun 2023. Kalau dihitung sejak awal kasus di 2018, angkanya bisa melonjak drastis. Secara logika, kata Harli, kalau pola korupsinya sama tiap tahun, total kerugian bisa mencapai hampir Rp 968,5 triliun.
Meski begitu, Kejaksaan Agung belum memastikan angka finalnya karena masih menunggu perhitungan dari ahli keuangan. Yang jelas, kasus ini jadi salah satu skandal terbesar dalam sejarah Indonesia.
Baca Juga: Sinyal Bahaya Pengelolaan Danantara: Lembaga Negara Rasa Perusahaan Pribadi
- Kasus Korupsi PT Timah – Kerugian Rp 300 Triliun
Kasus ini menyeret Mochtar Riza Pahlevi Tabrani (eks Dirut PT Timah Tbk) dan Emil Ermindra (eks Direktur Keuangan PT Timah Tbk) yang terbukti melakukan korupsi dalam tata niaga timah. Negara pun mengalami kerugian fantastis sebesar Rp 300 triliun.
Dikutip dari Kompas, pada persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, kedua terdakwa dijatuhi hukuman 8 tahun penjara. Selain itu, mereka harus membayar denda Rp 750 juta, dengan konsekuensi tambahan 6 bulan kurungan jika tidak dibayar.
Jaksa sebenarnya menuntut hukuman lebih berat, yakni 12 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar, plus kewajiban mengganti uang negara sebesar Rp 493 miliar. Namun, majelis hakim akhirnya memutuskan hukuman yang lebih ringan. Tetap saja, ini menjadi salah satu kasus megakorupsi terbesar yang mengguncang sektor pertambangan Indonesia
- Skandal BLBI – Rp 138,4 Triliun yang Masih Jadi PR Besar
Dikutip dari Metro News, saat krisis moneter 1997, pemerintah menggelontorkan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) senilai Rp 147,7 triliun untuk menyelamatkan sektor perbankan. Sayangnya, dana itu malah diselewengkan dan bikin negara rugi sekitar Rp 138,4 triliun. Skandal ini jadi salah satu kejahatan ekonomi terbesar dalam sejarah Indonesia, dan penyelesaiannya masih penuh tanda tanya meskipun sudah lebih dari dua dekade berlalu.
Di era Presiden Joko Widodo, pemerintah mencoba menagih kembali dana BLBI lewat Satgas BLBI, yang dibentuk berdasarkan Keppres No. 6 Tahun 2021. Hingga pertengahan 2024, Satgas berhasil mengumpulkan aset eks BLBI seluas 44,7 juta meter persegi dan mengembalikan Rp 38,2 triliun ke kas negara. Tapi, angka itu baru sekitar 34,59% dari total kewajiban Rp 110,45 triliun.
Dampak jangka panjang dari BLBI masih terasa, mulai dari utang negara yang makin membengkak hingga berbagai masalah sosial yang muncul akibat krisis ekonomi saat itu.
Baca Juga: Benarkah Politisi Perempuan Lebih Sedikit Terlibat dalam Korupsi?
- Skandal Duta Palma Group – Korupsi Perkebunan Senilai Rp 104,1 Triliun
Surya Darmadi, pemilik PT Darmex Group (Duta Palma Group), terbukti melakukan penyalahgunaan izin lokasi dan usaha perkebunan di Indragiri Hulu, Riau, yang bikin negara rugi sekitar Rp 104,1 triliun.
Dikutip dari Kompas, kasus ini akhirnya menyeret Surya Darmadi ke pengadilan, dan dia dijatuhi hukuman 15 tahun penjara, denda Rp 1 miliar, serta diwajibkan mengganti Rp 2,2 triliun untuk keuangan negara dan Rp 39 triliun untuk kerugian perekonomian nasional.
Awalnya, Kejaksaan Agung memperkirakan kerugian negara akibat kasus ini sekitar Rp 78 triliun, tapi setelah audit dari BPKP dan para ahli, totalnya melonjak hingga Rp 99,2 triliun. Perhitungannya melibatkan BPKP, ahli lingkungan hidup, dan pakar ekonomi dari Universitas Gadjah Mada (UGM).
Kasus ini menunjukkan bagaimana korupsi di sektor perkebunan bukan hanya merugikan negara secara finansial, tapi juga berdampak besar pada lingkungan dan perekonomian nasional.
- Korupsi PT Trans Pacific Petrochemical Indonesia (TPPI) – Rp 37 Triliun
Kasus korupsi di PT Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI) melibatkan Honggo Wendratno, mantan Dirut TPPI, yang akhirnya dituntut 18 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar.
Dikutip dari CNN Indonesia, kasus ini bermula dari dugaan penyimpangan dalam penunjukan kondensat bagian negara, di mana Honggo bekerja sama dengan eks Kepala BP Migas Raden Priyono dan Deputi Finansial Ekonomi & Pemasaran BP Migas Djoko Harsono untuk mengatur penjualan kondensat secara ilegal.
Akibat ulah mereka, negara mengalami kerugian hingga US$ 2,58 miliar atau setara dengan Rp 37,8 triliun. Kasus ini jadi pengingat bahwa korupsi di sektor energi dan migas bukan main-main, dan dampaknya bisa luar biasa besar bagi perekonomian Indonesia.
