December 5, 2025
Issues Opini

Dari Reformasi ke Resistensi Digital: Dua Generasi, Satu Perjuangan

Dari pengalaman kerusuhan 1998 hingga demonstrasi 2025, penulis merefleksikan bagaimana media sosial kini menjadi senjata rakyat melawan represi negara.

  • September 10, 2025
  • 4 min read
  • 2108 Views
Dari Reformasi ke Resistensi Digital: Dua Generasi, Satu Perjuangan

Sabtu pagi, 30 September 2025. Dua hari setelah Affan Kurniawan tewas dilindas kendaraan taktis Barakuda milik kepolisian, saya melintasi Tol Dalam Kota Jakarta. Di bilangan Senayan, beberapa pintu tol terbakar habis. Dinding-dinding pembatas jalan dipenuhi coretan yang menyuarakan kemarahan rakyat terhadap anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Di kejauhan, gedung parlemen terlihat dijaga tentara.

Dari Jembatan Semanggi, saya melihat halaman parkir Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya (Polda Metro Jaya) porak-poranda. Pembatas oranye berserakan. Gapura besar Polda yang menghadap Jalan Jenderal Sudirman, kini dilumuri tulisan semprot. Angka “1312” mencolok, mewakili slogan protes global terhadap institusi kepolisian: All Cops Are Bastards.

Baca juga: Isu Perusuh dalam Penjarahan Pejabat: Aparat yang Tertangkap, Temuan Warga, dan Isu Makar yang Bahaya

Belasan pengendara motor berhenti, mengabadikan momen. Beberapa berpose, seolah sedang menandai bahwa institusi yang mereka anggap represif, kini berhasil “dihadapi”. Di sisi jalan, warga sipil dan petugas keamanan dari gedung-gedung perkantoran menawarkan air mineral untuk membilas mata—sisa gas air mata malam sebelumnya masih terasa perih.

Saya menyaksikan semua ini dari balik kaca mobil. Tempat-tempat yang saya lewati setiap hari—jalan tol yang biasa saya gunakan bersama ayah, jembatan tempat saya memandangi langit kota—mendadak berubah menjadi lanskap trauma sosial. Saya mengatur napas dalam-dalam. Kecemasan datang bergulung, tapi tidak ada waktu untuk berhenti.

Pemotor membasuh mata di depan Menara Mandiri usai gas air mata dalam kerusuhan Jakarta 2025
Pemotor membasuh mata di depan Menara Mandiri 30/08 (Foto: Dok.Retno Daru Dewi G. S. Putri)

Baca juga: Dari 1998 ke 2025: Warga Keturunan Tionghoa di Antara Harapan dan Trauma Kolektif

Ingatan 1998, ketegangan 2025

Bukan kali pertama saya menjadi saksi gejolak sosial. Tahun 1998, saat berusia sepuluh tahun, saya menyaksikan Jakarta dalam kepanikan, meski pemahaman saya kala itu masih terbatas. Keluarga kami tinggal di perumahan warga keturunan Tionghoa. Ketegangan memuncak saat ayah mengungsikan saya dan adik ke rumah tetangga yang lebih aman.

Saya ingat ibu dan tante membicarakan bagaimana kakek saya nyaris menjadi korban kekerasan massa. Ia bersembunyi di balik pilar rumah, selamat dari amukan yang tak mengenal wajah. Saya ingat rasa takut itu, walau belum mengerti sepenuhnya kenapa semua itu terjadi.

Empat tahun sebelum itu, keluarga kami juga merasakan kerasnya Orde Baru. Ibu saya bekerja di majalah Tempo, yang dibredel oleh pemerintah tahun 1994 karena ilustrasi sampulnya dianggap menghina Presiden Soeharto. Saya tidak paham politik saat itu, hanya tahu bahwa “Presiden tidak suka Tempo.” Tapi saya tahu Ibu, yang sedang mengandung adik saya, kehilangan tunjangan melahirkan. Ketegangan antara orang tua saya meningkat. Ekonomi kami goyah. Kekuasaan yang jauh di atas sana tiba-tiba terasa sangat dekat dan menyesakkan.

Kini, dua puluh tujuh tahun sejak reformasi, saya tidak lagi menjadi anak yang bingung. Saya memahami kemarahan rakyat Indonesia dan mendukungnya.

Aksi massa pada 25 Agustus 2025 lalu tidak hanya diisi mahasiswa, tapi juga buruh, pengemudi ojek online, pekerja kreatif, dan warga biasa. Kali ini, bahkan saat transportasi terganggu, saya tidak mendengar keluhan seperti biasanya di media sosial. Banyak warga rela dioper polisi demi memberi ruang bagi yang turun ke jalan. Ada kebanggaan kolektif yang tumbuh.

Apa yang membedakan 1998 dan 2025 adalah keberadaan media sosial. Jika dulu informasi dimonopoli oleh pers arus utama, kini siapa pun bisa mengakses, membagikan, bahkan memimpin percakapan publik. Warga tahu apa yang sedang terjadi, apa yang harus dilakukan, ke mana harus melapor, dan bagaimana membantu korban kekerasan negara.

Halte TransJakarta Senayan rusak setelah demonstrasi dan kerusuhan Jakarta 2025
Halte TransJakarta Senayan 30/08 (Foto: Dok.Retno Daru Dewi G. S. Putri)

Kanal-kanal donasi terbuka. Thread edukatif berseliweran. Warga menyebarkan informasi soal bantuan hukum, pertolongan pertama gas air mata, dan pelanggaran hak asasi manusia. Bahkan mereka yang tidak turun ke jalan tetap ikut terlibat secara digital.

Bukan hanya aktivis yang bicara. Figur publik, influencer, komedian, hingga alumni reformasi ikut menyuarakan “17+8 Tuntutan Rakyat”. Dari akun-akun pribadi hingga media besar, solidaritas digital menjalar cepat. Dan yang paling penting, rakyat tahu bahwa mereka tidak sendiri dalam kesengsaraan ini.

Sebagai seseorang yang pernah hidup dalam bayang Orde Baru dan kini menyaksikan generasi baru bergerak dengan cara mereka sendiri, saya merasa optimistis. Sejarah mungkin berulang, tapi daya juang rakyat berkembang. Jika dulu mahasiswa membawa mimbar bebas ke kampus-kampus, kini kita membawanya ke dunia maya, dan dampaknya tidak bisa lagi dianggap remeh.

Baca juga: Mengenal Munir dari POV Generasi yang Lahir Usai Kematiannya

Sepuluh martir yang gugur dalam demonstrasi beberapa bulan terakhir tidak akan dilupakan. Nama-nama mereka disebut di jalan dan di linimasa. Perjuangan mereka dilanjutkan oleh ribuan lainnya.

Dan meskipun ada duka, masih ada humor, kreativitas, dan keriangan yang menyelip di tengah perjuangan. Meme, sindiran, dan komentar cerdas jadi bagian dari perlawanan. Ini bukan pengalihan. Ini cara rakyat menjaga semangat di tengah tekanan.

Saya tidak tahu apa yang akan terjadi satu minggu atau satu tahun dari sekarang. Tapi saya percaya, kekuatan kolektif rakyat yang sadar, terhubung, dan saling menjaga, akan jadi benteng paling kokoh menghadapi tirani.

Retno Daru Dewi G. S. Putri adalah pengajar bahasa Inggris di Lembaga Bahasa Internasional, Universitas Indonesia. Ia tertarik pada isu-isu gender, kesehatan mental, bahasa, filsafat, dan sastra.

Ilustrasi oleh Karina Tungari

About Author

Retno Daru Dewi G. S. Putri