Pemilu 2024: Semua Capres ‘Berlumur Darah’
Sayangnya, semua kandidat presiden punya rekam jejak buruk dalam perlindungan HAM. Ketiganya juga tak punya komitmen pada kebebasan berekspresi.
Pada (12/12), kandidat RI-1 mengikuti acara debat yang digelar oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Apa yang mereka perbincangan, sekilas mengingatkan kita pada episode Mata Najwa di mana mereka semua masih jadi bakal calon presiden. Dalam acara tersebut, Najwa Shihab bertanya kepada ketiga calon presiden yang maju dalam Pemilihan Umum (Pemilu) 2024–Anies Baswedan, Ganjar Pranowo dan Prabowo Subianto–tentang berapa skor kebebasan berpendapat di Indonesia dalam skala 1 sampai dengan 10. Saat acara tersebut berlangsung, ketiganya masih berstatus bakal calon presiden.
Anies memberikan skor 5 atau 6, Ganjar memberikan skor 7,5, dan Prabowo memberikan skor 8. Tentu saja pemberian skor dari masing-masing capres adalah hak mereka. Namun, berdasarkan hasil penelitian disertasi saya, yang sebagian isinya akan diterbitkan Routledge dalam buku berjudul “Free Speech in Indonesia: Legal Issues and Public Interest Litigation”, skor kebebasan berpendapat kita mungkin masih di bawah ketiga skor yang mereka berikan.
Perbedaan skor yang diberikan masing-masing kandidat tersebut mencerminkan bagaimana mereka memandang aspek perlindungan HAM di Indonesia dan bagaimana kira-kira sikap mereka terhadap penegakan HAM kedepannya ketika terpilih nanti.
Sudah sepatutnya kita mengkaji lebih dalam visi misi seperti apa yang ditawarkan oleh masing-masing capres terkait kebebasan berekspresi, dan terhadap perlindungan HAM secara umum. Pembahasan atas sikap para capres terhadap isu kebebasan berekspresi ini penting, karena akan berdampak pada praktik perlindungan atas kebebasan beragama, kebebasan berkumpul, dan kebebasan berserikat, yang merupakan elemen utama dalam negara demokratis seperti Indonesia.
Keseriusan para capres atas isu tersebut perlu diuji secara kritis.
Tulisan ini akan menggunakan terminologi “kebebasan berekspresi”, ketimbang “kebebasan berpendapat” yang umum digunakan. Merujuk pada Komentar Umum Nomor 34 atas Pasal 19 Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik, kedua terminologi ini memang tidak bisa dipisahkan untuk mengidentifikasi manusia dan hak-haknya yang utuh, serta batu pijakan masyarakat demokratis. Namun juga akan terkait dengan bentuk hak dan kebebasan lainnya, seperti hak voting dalam pemilu serta kebebasan berkumpul dan kebebasan berserikat.
Baca juga: Putusan MK Soal Batas Umur Capres-Cawapres dan Potensi Dinasti Politik Jokowi
Visi-misi Capres terkait Kebebasan Berekspresi
Faktanya, dan sayangnya, ketiga capres memiliki rekam jejak yang buruk dalam isu HAM.
Anies banyak dikaitkan dengan politik identitas saat maju pada Pemilihan Gubernur (Pilgub) Jakarta 2017, yang berdampak pada diskriminasi berdasarkan SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan). Ganjar lekat dengan citra isu penggusuran paksa di Desa Wadas di Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, yang berdampak pada terampasnya hak sosial, ekonomi dan lingkungan warga setempat. Sementara Prabowo, seperti yang sudah diketahui secara luas, selalu erat dengan dugaan penculikan dan penghilangan paksa sejumlah aktivis pada kerusuhan Mei 1998.
Jika melihat rekam jejak tersebut, tampaknya masyarakat tidak punya pilihan sosok yang benar-benar bersih dari masalah HAM. Lebih jauh lagi, jika melihat apa saja isu prioritas, program dan visi-misi mereka terkait isu kebebasan berekspresi, belum ada hal konkret dan spesifik yang mereka tawarkan.
Anies-Muhaimin
Anies dan cawapresnya, Muhaimin Iskandar, menegaskan bahwa kebebasan pers dan media, sebagai salah satu dimensi kebebasan berekspresi, adalah tulang punggung demokrasi dalam visi misi mereka.
Anies-Muhaimin memang termasuk paslon yang cukup detail mencantumkan bahwa mereka berencana merevisi aturan-aturan yang menghambat kebebasan pers dan kebebasan sipil. Namun rekam jejak koalisi partai pendukung mereka–Partai Nasdem, PKB, dan PKS–tampaknya kurang sejalan dengan misi tersebut.
Nasdem dan PKB, beserta seluruh fraksi di DPR RI, ikut menyetujui pengesahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru yang mengancam kebebasan pers. PKS juga mendukung meskipun dengan beberapa catatan terkait pasal penghinaan presiden.
Baca juga: Perempuan sebagai ‘Vote-Getters’: Kompetensi, Popularitas, atau Politik Dinasti?
Ganjar-Mahfud
Ganjar dan pasangannya, Mahfud MD, dalam “8 Gerak Cepat Ganjar Pranowo dan Mahfud MD”, mencantumkan penegakan hukum dan HAM, yang di dalamnya termasuk jaminan kebebasan berekspresi, sebagian bagian dari Demokrasi Substantif yang memprioritaskan demokrasi berdasarkan tujuan substantif dari masyarakat seperti kesejahteraan sosial, keadilan, keamanan dan kedamaian. Mereka mencantumkan visi kebebasan sipil yang “menjamin kebebasan berpendapat, berekspresi, berserikat, dan menyebarkan informasi untuk dapat mewujudkan kehidupan sipil yang bebas dan bertanggung jawab”, namun tanpa spesifik menyebutkan misi macam apa yang akan digunakan untuk mencapainya.
Untuk masyarakat, mungkin masih ingat bahwa PDI-P merupakan salah satu inisiator revisi UU KPK yang keseluruhan poin revisinya justru melemahkan dan menjadi titik mundur pemberantasan korupsi. Belum lagi PDI-P juga yang berada di garda terdepan dalam pengesahan UU KUHP baru.
Selain itu sikap Ganjar Pranowo dalam kasus pembangunan pabrik semen di Pegunungan Kendeng, Kabupaten Rembang dan Wadas justru menunjukkan keberpihakannya kepada korporasi, ketimbang memastikan jaminan hak atas lingkungan warganya. Khusus untuk Kendeng, Ganjar bahkan mengeluarkan izin baru yang bertentangan dengan putusan Mahkamah Agung yang membatalkan izin pembangunan pabrik semen dan mendahului proses Kajian Lingkungan Hidup Strategis oleh Kantor Staf Presiden dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Baca juga: Agar Permintaan Maaf atas Pelanggaran HAM Berat Tak Jadi Gula-gula Politik
Prabowo-Gibran
Sementara, Prabowo dan Gibran, mencantumkan pengokohan Pancasila, Demokrasi dan HAM dalam Program Asta Cita mereka. Tetap saja, lagi-lagi, partai-partai pendukungnya tidak menunjukkan ketegasan atas isu kebebasan sipil dan pers dengan mendukung pengesahan UU KUHP. Memang, mayoritas partai pengusung Prabowo-Gibran merupakan partai koalisi pemerintah, kecuali Partai Demokrat. Ini bisa menjelaskan bagaimana keberpihakan mereka dalam kebijakan pemerintah yang ini.
Selain itu, isu HAM yang paling jelas melekat di pasangan ini adalah sosok Prabowo sendiri dan keterlibatannya dalam penculikan aktivis pro-demokrasi tahun 1998. Ditambah lagi, sejumlah eks anggota Tim Mawar kini ikut bergabung dalam tim pemenangan Prabowo-Gibran. Tim Mawar merupakan tim elit dari Kopassus TNI yang kuat diduga menjadi dalang dari operasi penculikan tersebut.
Pasangan Prabowo-Gibran diyakini mendapat dukungan dari Presiden Joko “Jokowi” Widodo. Selama dua periode–10 tahun–kekuasaan Jokowi, kekerasan pada jurnalis terus mengalami peningkatan. Data dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) sejak 2008 menunjukkan bahwa dari 1.030 kasus kekerasan terhadap jurnalis, tahun 2020 dan tahun 2016 memiliki angka kekerasan jurnalis paling tinggi dengan 84 dan 81 kasus.
Pasangan ini juga tengah disorot atas dugaan pembentukan dinasti politik dengan dipilihnya Gibran, anak sulung Jokowi, sebagai cawapres Prabowo dengan cara mengintervensi putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Dan jangan lupa bahwa selama dua periode pemerintahan Jokowi, belum ada upaya penyelesaian yang konkret dan efektif terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Ini bertolak belakang dengan janji Jokowi yang ia lontarkan saat kampanyenya pada Pemilu 2014.
Pada dasarnya, bisa dikatakan bahwa sikap ketiga pasangan capres-cawapres serta para pengusungnya ini belum sepenuhnya tegas terhadap isu kebebasan sipil dan kebebasan pers.
Pada akhirnya, publik membutuhkan janji dalam bentuk visi-misi yang lebih realistis, karena kebanyakan yang dituangkan adalah ide dalam visi-misi mereka adalah ide, belum berbentuk rencana langkah konkrit.
Eka Nugraha Putra, Assistant Professor of Law, O.P. Jindal Global University.