December 5, 2025
Culture Opini Screen Raves

Suka One Piece? Coba Tonton 5 Anime yang Kritik Sosialnya Enggak Kalah Pedas 

Enggak kalah kritis dari One Piece, deretan anime ini mengupas tuntas wajah asli kekuasaan.

  • August 9, 2025
  • 5 min read
  • 1416 Views
Suka One Piece? Coba Tonton 5 Anime yang Kritik Sosialnya Enggak Kalah Pedas 

Belakangan ini, One Piece bukan cuma jadi tontonan, tapi juga simbol perlawanan. Di Indonesia, bendera hitam dengan tengkorak Jolly Roger bertopi jerami—ikon kru bajak laut Topi Jerami—berkibar di jalanan sebagai bentuk protes terhadap kebijakan pemerintah yang dinilai tak berpihak pada rakyat. 

Fenomena ini membuktikan karya fiksi bisa melampaui fungsi hiburan. Ia bisa menjadi bahasa politik, sarana menyuarakan keresahan, bahkan inspirasi untuk bersolidaritas. Dan One Piece memang punya bahan bakar untuk itu: cerita yang sarat kritik sosial. 

Sejak tayang perdana pada 1999, anime karya Eiichiro Oda ini konsisten menggambarkan dunia penuh ketidakadilan: Pemerintah Dunia yang korup, para Tenryuubito (Naga Langit) yang memperbudak rakyat, hingga Angkatan Laut yang lebih melindungi penguasa ketimbang masyarakat. Setiap pulau yang disinggahi Luffy dan kawan-kawan menjadi miniatur problem dunia nyata—penindasan kelas, monopoli informasi, eksploitasi lingkungan, sampai genosida terhadap ras tertentu seperti suku manusia ikan. 

Dengan kekuatan narasi seperti itu, tak heran One Piece memantik diskusi tentang perlawanan terhadap sistem yang menindas. Tapi ia bukan satu-satunya. Berikut lima anime lain yang juga mengusung kritik sosial kuat, dan sama serunya untuk ditonton di waktu luang. 

Baca juga: From Manga to Movement: What ‘One Piece’ Teaches Us About Solidarity

1. Tokyo Ghoul 

Anime ini membawa penonton ke dunia gelap di mana manusia dan ghoul hidup berdampingan, tapi tidak pernah benar-benar berdamai. Ghoul adalah makhluk yang harus memakan daging manusia untuk bertahan hidup, dan karena itu mereka diburu tanpa ampun. Tokoh utamanya, Kaneki Ken, awalnya adalah mahasiswa biasa, tapi hidupnya berubah drastis setelah sebuah insiden membuatnya menjadi setengah ghoul. 

Sumber: Netflix

Dari sudut pandang Kaneki, penonton diajak melihat bagaimana media, aparat, dan institusi negara membentuk citra ghoul sebagai ancaman mutlak. Organisasi seperti Commission of Counter Ghoul (CCG) berperan layaknya mesin negara yang “membersihkan” ancaman ini, padahal mereka seringkali melakukan kekerasan brutal, bahkan terhadap ghoul yang tidak membahayakan. 

Yang membuat Tokyo Ghoul menarik adalah kritiknya terhadap logika “kami vs mereka”. Anime ini memperlihatkan bahwa kebencian tidak muncul begitu saja, melainkan dipelihara oleh sistem yang membutuhkan musuh imajiner untuk mempertahankan kekuasaan. Bahkan, beberapa anggota CCG mulai mempertanyakan misi mereka dan menyadari bahwa kekerasan yang mereka lakukan adalah bagian dari siklus kebrutalan yang diciptakan sistem. 

2. My Hero Academia 

Dari luar, My Hero Academia terlihat seperti kisah klasik tentang anak-anak yang bercita-cita menjadi pahlawan super. Izuku Midoriya, sang protagonis, lahir tanpa kekuatan di dunia yang hampir semua orang memiliki “Quirk” (kemampuan khusus). Meski demikian, ia bermimpi menjadi pahlawan dan akhirnya masuk ke sekolah bergengsi U.A. High School. 

Sumber: Netflix

Tapi semakin cerita berkembang, semakin jelas bahwa dunia ini bukan sekadar soal pahlawan dan penjahat. Sistem mulai menunjukkan celahnya: “penjahat” seringkali adalah orang-orang yang dikucilkan, ditolak, atau dipinggirkan oleh masyarakat. Pahlawan, di sisi lain, menjadi komoditas yang popularitasnya bisa dipasarkan. Nilai kepahlawanan diukur dari citra publik dan jumlah sponsor, bukan semata dari keberanian atau moralitas. 

Anime ini menantang mitos pahlawan sempurna dan menunjukkan bahwa sistem bisa menciptakan “pahlawan palsu” untuk menjaga status quo. Dengan menyelipkan drama remaja, persahabatan, dan pergulatan moral, My Hero Academia berhasil membungkus kritik sosial dalam kemasan yang ringan namun tajam. 

Baca juga: Bagaimana Jika Anime Bisa Buktikan Semua Cinta Punya Logika? 

3. Assassination Classroom 

Bayangkan jika guru SMP-mu adalah makhluk setengah gurita super cepat yang mengancam akan menghancurkan bumi, tapi di sisi lain justru menjadi guru terbaik yang pernah ada. Itulah Koro-sensei, tokoh utama Assassination Classroom

Ia mengajar di kelas 3-E, kelas “buangan” yang diasingkan secara fisik dan sosial. Sistem pendidikan di sekolah ini secara sengaja membentuk hierarki: siswa unggulan berada di gedung utama dengan segala fasilitas, sementara kelas buangan dibiarkan terisolasi. Tujuannya jelas — membuat kelas 3-E jadi contoh buruk agar siswa lain tidak malas. 

Sumber: Netflix

Koro-sensei menolak logika ini. Alih-alih menekankan hukuman dan kompetisi sempit, ia membantu murid-muridnya menemukan kepercayaan diri, mengasah kemampuan unik mereka, dan memahami nilai diri di luar angka rapor. Hasilnya, kelas 3-E berkembang menjadi kelompok yang solid, bahkan mampu menandingi prestasi kelas unggulan. 

Lewat humor, aksi, dan drama emosional, anime ini memberi pesan bahwa pendidikan yang memanusiakan siswa bisa meruntuhkan sistem yang dibangun di atas diskriminasi. 

4. Moriarty the Patriot 

Dalam adaptasi ini, William James Moriarty bukan sekadar kriminal jenius, melainkan seorang idealis radikal. Bersama dua saudaranya, ia melihat bahwa Inggris era Victoria terbelah oleh sistem kelas yang kejam: bangsawan hidup mewah tanpa konsekuensi, sementara rakyat jelata terjebak dalam kemiskinan dan hukum yang berat sebelah. 

Sumber: IMDB

Moriarty menggunakan kecerdasannya untuk merencanakan “keadilan” di luar hukum. Ia menargetkan bangsawan yang melakukan kejahatan tapi kebal hukum, menciptakan skenario yang membuat mereka terjatuh oleh dosa mereka sendiri. Tindakannya memang kriminal, tapi dalam narasinya, kekacauan adalah katalis revolusi. 

Anime ini memadukan nuansa detektif dengan kritik tajam terhadap legalitas dan moralitas. Ia mempertanyakan apakah perubahan sistem bisa dicapai secara damai, atau justru membutuhkan guncangan besar yang penuh risiko. 

5. Death Note 

Light Yagami adalah siswa SMA jenius yang muak dengan tingginya angka kejahatan dan lambannya hukum. Saat menemukan Death Note—buku yang bisa membunuh siapa saja hanya dengan menuliskan namanya—ia melihat peluang menciptakan dunia tanpa kriminalitas. 

Awalnya, Light menargetkan pelaku kejahatan yang jelas bersalah. Seiring waktu, ia mulai membunuh siapa pun yang menghalangi jalannya, termasuk orang yang tak sepakat dengannya. Ia berubah dari “pahlawan” menjadi diktator yang mengendalikan hidup dan mati. 

Sumber: Netflix

Pertarungan intelektual antara Light dan detektif misterius L menjadi inti cerita. Keduanya sama-sama jenius, sama-sama mengklaim membela kebenaran, tapi dengan definisi yang saling bertolak belakang. Anime ini mengajak penonton mempertanyakan: siapa yang berhak menentukan arti keadilan? Dan apa jadinya jika kekuasaan absolut berada di tangan satu orang? 

Dari Tokyo Ghoul hingga Death Note, semua anime ini punya satu benang merah: Keberanian untuk mempertanyakan sistem yang kita anggap wajar. Seperti One Piece yang kini jadi simbol protes di dunia nyata, karya-karya ini membuktikan bahwa fiksi bisa menjadi alat refleksi—bahkan perlawanan. 

About Author

Zahra Pramuningtyas

Ara adalah calon guru biologi yang milih jadi wartawan. Suka kucing, kulineran dan nonton anime. Cita-citanya masuk ke dunia isekai, jadi penyihir bahagia dengan outfit lucu tiap hari, sembari membuat ramuan untuk dijual ke warga desa.