United Nations on HIV/AIDS (UNAIDS) memprediksi ada 540.000 kasus HIV di Indonesia hingga 2023. Di tahun yang sama, jumlah kasus HIV baru yang terdeteksi mencetak rekor tertinggi, yakni 57.299 kasus, sebanyak 5,5 persen atau 3.151 di antaranya dialami remaja berusia 15-19 tahun.
Remaja dengan HIV sangat rentan mengalami berbagai gangguan kesehatan mental, mulai dari depresi, kecemasan, hingga gangguan stres pascatrauma (PTSD). Gangguan mental tersebut dipicu oleh rasa kecewa, sedih, dan marah lantaran mereka menolak status HIV positif.
Kondisi ini tidak boleh dianggap remeh karena dapat memengaruhi pikiran, perilaku, dan interaksi remaja dengan HIV ke orang lain, termasuk keluarga, teman-teman di sekolah, maupun masyarakat. Mereka bisa mengisolasi diri, enggan berinteraksi dengan siapa pun, lebih selektif dalam berteman, bahkan–dalam kondisi terburuk–memiliki dorongan untuk mengakhiri hidup.
Baca juga: Baca juga: Bagaimana Menjadi Positif HIV Membuka Mata Saya
Faktor yang Memengaruhi
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengungkapkan bahwa status HIV bukanlah satu-satunya faktor yang memperburuk masalah kesehatan mental remaja dengan HIV.
Beban masalah kesehatan mental remaja dengan HIV bisa bertambah karena pengaruh faktor lain, seperti keluarga dan lingkungan sosial, yang memantik munculnya stigma dan kecemasan personal.
1. Stigma dan diskriminasi
Penelitian kami menemukan bahwa stigma dan diskriminasi masyarakat di Indonesia terhadap ODHIV bisa memperburuk kesehatan mental remaja yang hidup dengan penyakit tersebut.
Stigma dan diskriminasi memang dialami ODHIV umumnya. Diperkirakan sekitar 50 persen ODHIV mengalami diskriminasi di masyarakat yang bisa terjadi di komunitas, sekolah, maupun fasilitas kesehatan. Sekitar 68 persen ODHIV juga bisa mengalami diskriminasi dari keluarga dan orang-orang terdekat.
2. Kondisi keluarga
Faktor keluarga sangat berpengaruh terhadap kesehatan mental remaja dengan HIV di Indonesia. Contohnya, memiliki keluarga yang tidak utuh (broken home) dan sarat konflik membuat mereka kesulitan mengatur kehidupan pribadi. Pun, minimnya dukungan dari orang tua dan anggota keluarga–yang tidak hadir secara fisik maupun emosional–bisa membuat mereka merasa terasing dan kesepian.
Keadaan tersebut dapat memperburuk masalah kesehatan mental remaja dengan HIV.
3. Kecemasan personal
Remaja yang hidup dengan HIV juga memiliki kekhawatiran dan ketakutan mengenai dampak status penyakit yang mereka idap, seperti terganggunya relasi dengan pacar, mengurangi peluang menikah, tidak dapat melanjutkan pendidikan, maupun sulit mendapatkan pekerjaan. Sederet kekhawatiran ini justru makin mengganggu kesehatan mental mereka.
Baca juga: Kasus HIV Naik dalam Satu Dekade, Bagaimana Mengatasinya?
Perlu Libatkan Banyak Pihak
Untuk mengurangi risiko gangguan kesehatan mental pada remaja dengan HIV, diperlukan upaya terkoordinasi yang libatkan pemerintah, organisasi non-pemerintah (LSM), keluarga, dan masyarakat, berikut penjelasannya:
1. Edukasi HIV di lingkungan terkecil
Anggota keluarga, khususnya orang tua berperan penting dalam memenuhi kebutuhan emosional remaja dengan HIV. Karena itu, pemerintah dan LSM wajib mensosialisasikan pendidikan tentang HIV kepada para orang tua.
Aktivitas ini bisa dilakukan di sekolah maupun kegiatan RT/RW agar edukasinya menyeluruh dan bisa mencakup anggota keluarga lainnya. Diharapkan, aktivitas ini dapat mencegah penolakan di dalam keluarga terhadap remaja dengan HIV dan menciptakan lingkungan yang kondusif bagi mereka.
Selain itu, para orang tua perlu mendapatkan dukungan, baik dari sesama orang tua remaja dengan HIV, pemerintah, maupun LSM, guna menghadapi tantangan dalam membesarkan anaknya.
2. Inisiatif masyarakat
Inisiatif dari masyarakat sangat krusial untuk mencegah dan mengurangi stigma terhadap remaja dengan HIV. Masyarakat bisa bahu-membahu mengubah persepsi negatif terhadap ODHIV, dengan mendukung normalisasi diskusi mengenai HIV dan menggencarkan promosi kesehatan untuk mencegah penyebarannya.
Baca juga: Bagaimana Perempuan Indonesia dengan HIV/AIDS Berjuang dengan Stigma
3. Perluas layanan konseling
Jaringan LSM perlu memperluas layanan konseling dan kelompok dukungan sebaya untuk para remaja dengan HIV. Salah satu caranya adalah melalui kemitraan dengan sekolah yang bertujuan memastikan siswa yang hidup dengan HIV bebas dari stigma dan diskriminasi dan dapat berpartisipasi dalam proses belajar.
4. Perkuat kebijakan
Pemerintah Indonesia perlu memperkuat kebijakan untuk melindungi remaja dengan HIV dari stigma dan diskriminasi, terutama di lingkungan sekolah maupun berbagai fasilitas kesehatan. Pendanaan untuk program HIV pun perlu ditingkatkan guna menumbuhkan kesadaran masyarakat mengenai HIV.
Gangguan kesehatan mental yang mengancam remaja dengan HIV tidak boleh diabaikan. Pemerintah, LSM, keluarga, maupun masyarakat perlu bersama-sama menghapus stigma dan diskriminasi terhadap ODHIV agar mereka bisa berkembang, serta memiliki kesempatan yang sama dalam membangun masa depan, seperti halnya orang yang tidak memiliki HIV.
Nelsensius Klau Fauk, Researcher, public health, Torrens University Australia; Aasha Rose, PhD Candidate, University of Southern Queensland, Australia, dan Paul Ward, Professor of Public Health, Torrens University Australia.
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.