December 6, 2025
Issues Politics & Society

‘Rest in Power’ Affan: Polisi Bunuh Tulang Punggung Keluarga 

Satu nyawa hilang berarti satu keluarga kehilangan masa depan. Kematian Affan jadi bukti negara gagal melindungi warganya yang berjuang untuk hidup.

  • August 29, 2025
  • 3 min read
  • 2836 Views
‘Rest in Power’ Affan: Polisi Bunuh Tulang Punggung Keluarga 

Kerumunan masih berdatangan menuju kediaman Affan Kurniawan, 21, korban kebrutalan polisi yang meregang nyawa pada (28/8). Sehari setelahnya, Affan dimakamkan pukul 10:30 WIB di Tempat Pemakaman Umum Karet Bivak, Jakarta. Warga, tetangga, hingga jurnalis masih lalu-lalang, seolah ingin memastikan cerita hidup anak muda ini tak berhenti hanya di batu nisan. 

Di antara kerumunan itu, Fajrian, 24, teman kecil Affan, mengingatnya sebagai pekerja keras. Ia menekankan Affan terbunuh bukan saat ikut aksi, tapi ketika sedang mencari nafkah. 
“Affan tuh meninggalnya pas lagi anter order makanan,” ujarnya pada Magdalene

Baca juga: When Parliament Dances, the People Mourn

Fajrian tahu betul, Affan adalah tulang punggung keluarga. Anak kedua dari tiga bersaudara ini terbiasa memikul tanggung jawab lebih besar dari usianya. 

“Affan itu yang paling ulet untuk cari uang di antara saudara-saudaranya,” katanya lagi. 

Kesaksian lain datang dari Fadila, 25, teman mainnya. Ia menyebut Affan begitu berdedikasi untuk keluarganya, bahkan baru saja membeli sebidang tanah di kampung halamannya, Lampung. 

“Dia tuh baru banget beli tanah di Lampung buat investasi,” ucapnya. 

Namun tanah itu kini tinggal simbol pahit. Affan tak akan pernah sempat menikmatinya bersama keluarga yang ia cintai. 

Oji, 26, teman lainnya, menambahkan kisah getir. Sejak SMP, Affan putus sekolah. Bukan karena malas, melainkan karena ingin cepat membantu ekonomi keluarga. 

“Dia juga enggak lanjut sekolah SMP. Langsung jadi satpam gitu. Penjagaan-penjagaan lingkungan sekitar,” katanya. 

Kakek Affan, Fahrudin, 73, menegaskan lagi gambaran cucunya. Kata dia Affan adalah pekerja keras, penuh mimpi sederhana. Salah satu mimpinya adalah mengumrohkan kedua orang tua. 
“Kalau punya uang, dia mau umrohkan kedua ortunya, lagi nabung untuk itu. Apa yg harus dikerjakan, langsung dikerjakan,” tutur Fahrudin. 

Lebih jauh, Affan dan keluarganya adalah perantau dari Lampung yang menyewa kediaman di Menteng, Jakarta Pusat. Ketua RT setempat, Aka, 43, menyebut ibu Affan bekerja sebagai pekerja rumah tangga, sementara ayahnya juga pengemudi ojek daring. Hidup mereka sederhana: bergantung pada tenaga, waktu, dan penghasilan harian yang tak menentu. 

“Dia itu tulang punggung, mba,” kata Aka. 

Baca juga: ‘The Power of Ibu-ibu’: Dari Kutukan hingga Mengusir Aparat

Kehancuran Dirasakan Keluarga 

Kematian Affan tak sekadar memutus nyawa, tetapi juga menghapus tumpuan ekonomi keluarga. Ibu yang bekerja sebagai PRT masih harus bekerja di tengah duka. Ayah, pengemudi ojek daring pun dituntut tetap mencari nafkah. 

Menurut laporan United Nation (UN) Women (Oktober 2024), lebih dari dua miliar perempuan dan anak perempuan di dunia tidak memiliki akses ke perlindungan sosial formal seperti asuransi atau tunjangan dasar. Hal ini menempatkan mereka dalam risiko tinggi ketika pencari nafkah utama hilang. 

Tak heran jika perempuan sering kali dipaksa menanggung beban ganda: Tetap mengurus rumah tangga sekaligus menggantikan peran tulang punggung ekonomi yang hilang. Tanpa jaring pengaman sosial, banyak di antara mereka yang harus bekerja lebih panjang dengan upah rendah, atau bahkan menarik anak perempuan mereka keluar dari sekolah untuk ikut membantu. 

Baca juga: Panduan Lengkap Cara Marah kepada Negara yang Baik dan Benar

Laporan UN Women menekankan, ketiadaan perlindungan sosial memperparah siklus kemiskinan lintas generasi. Anak-anak, terutama perempuan, lebih rentan kehilangan kesempatan pendidikan dan kesehatan. Dalam kasus seperti keluarga Affan, kehilangan satu orang berarti seluruh rumah tangga terjerumus ke dalam krisis ekonomi dan sosial yang panjang. 

Reportase dibantu Aurelia Gracia. 

About Author

Syifa Maulida

Syifa adalah lulusan Psikologi dan Kajian Gender UI yang punya ketertarikan pada isu gender dan kesehatan mental. Suka ngopi terutama iced coffee latte (tanpa gula).