December 5, 2025
#WaveForEquality Culture Screen Raves

‘Andai Ibu Tidak Menikah dengan Ayah’: Menonton Pernikahan Sebagai Tokoh Antagonis

Ketika ayah tak hadir, ibu menggantikan peran kepala keluarga. Ia juga mencontohkan bahwa pernikahan bukan jalan keluar dari masalah ekonomi.

  • September 26, 2025
  • 8 min read
  • 5222 Views
‘Andai Ibu Tidak Menikah dengan Ayah’: Menonton Pernikahan Sebagai Tokoh Antagonis

Wulan (Sha Ine Febriyanti) berusaha membuat keluarganya berfungsi. Setiap hari, ia menyiapkan kebutuhan rumah tangga: memasak, beres-beres rumah, dan menyiapkan keperluan anak-anak. Kemudian menjemput dan mencuci pakaian pelanggan, ke usaha cucian rumahan miliknya.

Sebenarnya Wulan tak perlu menanggung semua pekerjaan itu sendirian, jika Tio (Bucek Depp), suaminya, menjalankan peran sebagai suami dan ayah. Namun, ia tak hadir dalam hidup keluarganya, sehingga Wulan harus banting tulang demi menghidupi keluarga.

Sejak awal cerita, Tio dipotret sebagai ayah yang jarang di rumah, tak punya pekerjaan stabil, serta menghabiskan waktu untuk merokok dan main judi online (judol). Ia juga ingin dihormati dan dilayani oleh istri dan anak-anak, karena berstatus “kepala keluarga”—hal yang bikin anak-anak Tio geram karena perilaku ayahnya tak mencerminkan titel tersebut.

Dinamika keluarga itulah yang disorot Andai Ibu Tidak Menikah dengan Ayah (2025). Semua berawal dari usaha Tio yang bangkrut, membuatnya tak bisa bangkit, hingga tanggung jawab untuk mencari nafkah “dilimpahkan” pada Wulan.

Baca Juga: ‘Panggil Aku Ayah’: Saat Perempuan Dijepit Beban Ekonomi dan Dua Laki-laki Bekerja Sama Mengasuh Anak

Ibu yang Menanggung Semua Beban

Ada dua latar waktu dalam Andai Ibu Tidak Menikah dengan Ayah: masa sekarang dan 1990-an—mengisahkan pertemuan Wulan dan Tio. Mereka bertemu karena dijodohkan, setelah orang tua Wulan menentang hubungan anaknya dengan Biru, mantan pacar Wulan.

Saat itu, Wulan adalah mahasiswa kedokteran. Sayang, cita-citanya kandas, ketika Tio melarang Wulan menyelesaikan pendidikan dan bekerja. Alasannya, Tio mampu membiayai rumah tangga mereka, sehingga Wulan bertugas merawat anak dan melakukan pekerjaan domestik.

Adegan tersebut berlatar pada 1990-an, ditandai oleh tahun Wulan menuliskan jurnal. Ini menjelaskan keputusan Tio sebagai calon suami karena di era Orba, tanggung jawab perempuan dan laki-laki dipisahkan oleh peran gender tradisional: laki-laki bekerja di ruang publik, perempuan di ranah privat.

Peran Tio dan Wulan sebagai suami istri, merupakan contoh indoktrinasi ibuisme oleh negara. Dengan dalil pembangunan nasional, pemerintah Orba mengontrol ruang gerak dan menyederhanakan peran perempuan lewat domestikasi: sebagai istri dan ibu yang melakukan pekerjaan domestik tak berbayar, untuk mendukung stabilitas politik.

Domestikasi perempuan bahkan tertulis dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Misalnya Pasal 31 Ayat 3, menyebutkan bahwa suami berperan sebagai kepala keluarga, dan istri sebagai ibu rumah tangga. Kemudian Pasal 34 Ayat 2 yang bilang, istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya.

Kemudian, indoktrinasi ibuisme turut membentuk citra istri yang ideal. Ia adalah perempuan yang patuh, setia, dan mendukung suami, berperilaku sesuai peran gender tradisional, dan menjaga moral keluarga. Namun, perempuan tak diberikan ruang, maupun dilihat sebagai individu utuh yang punya agendanya sendiri.

Karakteristik tersebut tampak dalam diri Wulan, bahkan setelah Tio gagal menjalankan tanggung jawab sebagai kepala keluarga. Wulan memang “mengambil alih” peran suaminya, tapi tetap mendukung Tio.

Itu dibuktikan lewat Wulan yang mempertahankan pernikahan. Dalam dialog bersama Alin (Amanda Rawles), anak tengah Wulan dan Tio, ia juga mengatakan, sebenarnya Tio bersifat baik. Hanya saja kalah dengan keadaan, sehingga tak bisa bangkit dari keterpurukan.

Ibuisme juga memosisikan perempuan sebagai subordinat, diikuti dengan seluruh pekerjaan domestik yang dianggap tanggung jawab mereka. Akibatnya, perempuan memiliki jam kerja lebih panjang dan beban kerja lebih banyak—lebih dari aturan jam kerja tujuh jam per hari atau 40 per minggu, seperti diatur dalam UU Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020. Ditambah jika mereka juga mencari nafkah seperti Wulan.

Masalahnya, sistem di negara ini tak mengakui kerja perawatan sebagai kerja produktif yang bernilai ekonomi.

Perempuan, yang adalah pekerja perawatan, dipandang tak seharusnya meminta bayaran. Sebab, kerja perawatan dianggap sebagai kewajiban untuk diselesaikan, dan tak membutuhkan pengetahuan maupun keahlian khusus.

Situasi ini menjelaskan mengapa penonton dapat berempati dengan Wulan, perempuan kepala keluarga yang menanggung semua beban, termasuk utang-utang suami. Apalagi, ada gambaran hidup ideal yang Wulan inginkan apabila mewujudkan mimpinya.

Gambaran itu ditampilkan lewat adegan “jika ibu tidak menikah dengan ayah”. Diceritakan Wulan bekerja sebagai dokter spesialis obstetri dan ginekologi (obgyn). Ia hidup nyaman dan berkecukupan, naik mobil mewah, serta menghabiskan waktu dengan kedua cucu. Sebuah gambaran kehidupan yang bertolak belakang dengan realitasnya: hidup pas-pasan dan tak pernah berhenti bekerja.

Hidup ideal Wulan dalam adegan tersebut, mengingatkan kita akan sistem patriarki yang toksik dan merugikan perempuan, bukan internalisasi bahwa perempuan yang bekerja di ranah publik lebih terpandang. Sistem yang membuat hidup Wulan dan banyak perempuan makin sengsara: terpinggirkan, menanggung beban ganda dan kerja perawatan tak berbayar, serta mimpi-mimpinya seolah tak berarti.

Dampaknya, mereka terhambat merealisasikan agensinya sebagiai individu, dan kerap tak punya pilihan.

Baca Juga: Review ‘Full Time’: Sulitnya jadi Ibu Tunggal dan Dicekik Kapitalisme

Pernikahan Bukan Solusi dari Masalah Ekonomi

Melihat Biru yang berniat mendirikan usaha, Ayah Wulan ragu dengan masa depan anaknya. Ia khawatir Wulan mengalami kesulitan finansial, karena Biru baru akan merintis karier. Selain itu, ayah Wulan menilai anaknya tak serius kuliah karena asyik pacaran. Padahal, ia sudah bekerja keras untuk membiayai pendidikan.

Alasan itu melatarbelakangi perjodohan antara Wulan dan Tio, pengusaha sekaligus anak dari atasan ayah Wulan. Bagi ayah Wulan, perempuan harus mencari calon pasangan yang baik, mapan, supaya hidupnya terjamin. Sebab, pernikahan dianggap sebagai tujuan hidup, solusi atas permasalahan, dan diyakini membawa kesejahteraan.

Pandangan tersebut merupakan konstruksi sosial di masyarakat heteronormatif. Filsuf asal Amerika Serikat, Elizabeth Brake dalam Minimizing Marriage: Marriage, Morality, and the Law (2012), menyebutnya sebagai amatonormativitas.

Menurut Brake, amatonormativitas membuat manusia mengutamakan relasi romantis dan monogami, yang dijalin dalam jangka panjang.

Masalahnya, menganggap pernikahan sebagai solusi—termasuk persoalan ekonomi—lebih membahayakan perempuan. Menikah dan punya anak jadi hidup ideal yang didambakan, seperti cerita dalam film-film romantis.

Padahal, pernikahan begitu kompleks. Jika penghasilan hanya bergantung pada satu orang, seperti ditampilkan dalam Andai Ibu Tidak Menikah dengan Ayah, pasangan akan bergantung secara finansial dan terdapat relasi kuasa dalam hubungan. Belum lagi perempuan masih dianggap subordinat, rentan mengalami Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), dan menanggung beban ganda.

Kenyataan itu yang dialami Wulan. Pernikahan yang semula dianggap membawa berkah, menjadi kemalangan.

Bukan cuma mimpi menjadi dokter yang pupus, setelah usaha Tio bangkrut, Wulan bertanggung jawab mencari nafkah, merawat anak, dan menyelesaikan pekerjaan domestik. Jaminan hidup yang dijanjikan Tio kini sekadar ucapan manis.

Alin nyaris terjebak dalam situasi yang sama: tak dapat meneruskan kuliah karena beasiswanya dicabut, Tio mendorong Alin untuk segera menikah, dan pacar Alin bersikeras mengajaknya menikah dengan iming-iming membantu perekonomian keluarga.

Meski awalnya terlihat ada generational cycle, film ini tak meromantisasi pernikahan sebagai solusi dari masalah ekonomi. 

Penonton justru diajak mengkritisi problem tersebut, lewat Alin yang mengakhiri hubungan dengan pacarnya dan melanjutkan pendidikan. Cerita ini sekaligus menegaskan, ketika perempuan memiliki akses, ia bisa membangun kehidupan yang lebih baik.

Namun, film ini tetap menggarisbawahi, Wulan dan Alin adalah korban dari sistem patriarki dan kemiskinan struktural. Dengan porsi masing-masing, keduanya berjuang agar keluarga mereka bisa melanjutkan hidup: Wulan menggantikan peran kepala keluarga, Alin menyelesaikan kuliah supaya keluarganya tak bergantung pada penghasilan cucian rumahan, pascakematian Wulan.

Dalam situasi ini, hidup laki-laki akan tetap diselimuti kenyamanan, seperti Tio dalam film ini dan Eka (Ringgo Agus Rahman) dalam 1 Kakak 7 Ponakan (2024). Peran kepala keluarga dilakukan orang lain, tetapi mereka tetap menuntut hak agar diperlakukan layaknya laki-laki yang bertanggung jawab. Misalnya enggan melakukan kerja perawatan karena “bukan kewajibannya”, ingin dilayani istri dan anak-anak, serta meminta dipatuhi sebagai bentuk penghormatan.

Perilaku tersebut menggambarkan laki-laki dalam sistem patriarki yang diantagonisasi. Namun, Andai Ibu Tidak Menikah dengan Ayah bukan cuma mengantagonisasi patriarki, melainkan peran Tio sebagai ayah.

Baca Juga: ‘Maid’: Cerita Jatuh Bangun Ibu Lepas dari KDRT

Sosok Ayah yang Diantagonisasi

Sejak detik pertama Tio muncul di layar, penonton disuguhkan dengan laki-laki patriarki final boss: bangun siang, jarang di rumah, hobi main judol, enggak melakukan apa pun selain merokok dan marah-marah, serta masih merasa berperan sebagai kepala keluarga. Ia adalah sumber penderitaan bagi istri dan anak-anak. 

Sayangnya, film ini tak memotret nuansa pada Tio. Karakternya dikategorikan dalam satu dimensi: orang jahat. Kebangkrutan yang dialami seolah menjustifikasi absennya Tio dalam keluarga, dan seluruh perbuatan yang dilakukan. Kemudian ia disederhanakan dengan stereotip gender laki-laki: tidak boleh mengalami kegagalan, harus kuat, tidak terlibat dalam kerja perawatan, dan melakukan kekerasan untuk menunjukkan kekuatan—dalam konteks ini kekerasan verbal terhadap pasangan dan anak.

Padahal setiap manusia kompleks, memiliki kekurangan, kerentanan, motivasi, dan konflik internal yang mendorong perbuatan. Karena itu, seiring berjalannya cerita, idealnya Tio mengalami pengembangan karakter berdasarkan pengalaman yang dilalui. Tujuannya untuk memperkaya cerita sehingga penonton juga dapat berempati.

Sementara hampir sepanjang film, karakter Tio nyaris tak berkembang. Yang menjadi titik balik adalah kemarahan ketiga anaknya, yang memproyeksikan duka kehilangan pada Tio. Momen itu membuat Tio menyesali perbuatan dan mulai memperbaiki diri. 

Sayangnya, momen tersebut terlambat dan terlalu dangkal untuk menggambarkan kompleksitas dalam karakternya. Film ini gagal menunjukkan, karakter antagonis pun memiliki latar belakang, konflik, dan trauma, yang membentuk perilakunya.

Dengan kata lain, perubahan Tio justru menjadi resolusi instan, tanpa kedalaman emosional. Ia hanyalah gambaran laki-laki antagonis, bukan ayah yang gagal, merefleksikan diri, dan mencoba untuk berubah. Padahal, empati penonton tumbuh dari sisi abu-abu itu.

This article was produced by Magdalene.co as part of the #WaveForEquality campaign, supported by Investing in Women (IW), an Australian Government initiative. The views expressed in this article do not necessarily represent the views of IW or the Australian Government.

About Author

Aurelia Gracia

Aurelia Gracia adalah seorang reporter yang mudah terlibat dalam parasocial relationship dan suka menghabiskan waktu dengan berjalan kaki di beberapa titik di ibu kota.