Review ‘Fast X’: Berlomba-lomba Menghidupkan Karakter yang Sudah Mati
Saya rindu masa-masa ketika kematian satu karakter adalah konklusi tepat, keputusan yang bisa kita tangisi, atau bikin merasa hampa sampai seminggu setelah pulang dari bioskop.
(Artikel ini mengandung spoiler Fast X)
Saya yakin tak ada satu pun orang di dunia ini yang tidak tahu The Fast and the Furious. Paling tidak mengikuti atau pernah dengar satu saja dari waralaba film yang dulunya soal kebut-kebutan ini.
Para penonton ini, termasuk saya, jelas menonton aksi keluarga Dom Toretto (Vin Diesel) bukan karena plotnya. Dari film kelima (berjudul Fast Five), plot film ini selalu sama. Geng Keluarga mendapatkan “mandat” untuk “melakukan sesuatu” yang heboh, mereka bertemu dengan penjahat yang didesain lebih over-the-top dari penjahat sinetron Misteri Gunung Merapi dan akan melakukan segala cara untuk berhasil melakukan misi tersebut.
“Segala cara” ini termasuk balapan dengan membawa brankas dan merusak jalanan Rio de Janeiro, “menerbangkan” mobil di ketinggian menara Burj Khalifa sampai terbang ke luar angkasa. Kamu pikir saya mengada-ngada, tapi lihat saja F9: The Fast Saga.
Ada banyak hal sebenarnya yang bikin saya berhenti menganggap serius serial ini. Adegan-adegan yang melawan hukum fisika, adalah yang pertama. Akting para pemainnya yang begitu menggelikan, adalah yang kedua. Tapi, semua itu tidak mengganggu saya. Seperti yang saya bilang di awal kan, saya nonton serial ini untuk melihat spektakel. Bukan untuk plot atau kemampuan akting. Tapi setelah menonton Fast X (yang merupakan jilid pertama dari TRILOGI KONKLUSI serial ini), saya tidak memaafkan yang satu aspek ini: Ketidakseriusan film ini untuk mengolah kematian karakter.
Baca juga: Film ‘Soulmate’: Kompleksnya Persahabatan Perempuan Melawan Kisah Cinta Segitiga
Di Tokyo Drift, ada seorang karakter bernama Han (Sung Kang) yang dibunuh katalis karakter utama film tersebut, Sean (Lucas Black). Di ending scene film keenam, Fast and Furious 6, akhirnya penonton tahu bahwa Deckard Shaw-lah (Jason Statham) pembunuh Han. Kehadiran Han di film empat (Fast and Furious), film lima (Fast Five), film enam dan film tujuh (Furious 7) masih masuk akal karena cerita film-film tersebut terjadi sebelum Tokyo Drift.
Kemunculan Han di film kesembilan sebenarnya sudah membuat saya muak. Bagaimana bisa orang ini hidup lagi? Film ketiga dan film keenam jelas-jelas menggambarkan bahwa Han tewas dibunuh Deckard Shaw. Filmnya memang “mencoba” menjelaskan bahwa Han bekerja sama dengan Mr. Nobody (Kurt Russell) untuk menjadi agen. Itu sebabnya Han membiarkan dirinya “terlihat” mati di tangan Deckard Shaw. Alasan berikutnya, karena Han butuh waktu healing setelah kematian Gisele (Gal Gadot) di film keenam.
Di ujung Fast X, sebelum film cut to end credits, pembuat film ini kembali mengejutkan—kalau tak boleh disebut sengaja bikin kesal—saya: Mereka menghidupkan lagi Gisele.
Bagaimana bisa seseorang yang jatuh dari pesawat terbang, kemungkinan besar masuk ke baling-baling pesawat, bisa selamat?
Tentu saja kehadiran Gisele dalam Fast X sangat masuk akal karena film ini didesain sebagai awal dari trilogi penutup. Semua orang harus hadir. Chiper, karakter yang Charlize Theron mainkan sejak film kedelapan (The Fate and the Furious), juga muncul lagi dan sekarang sepertinya menjadi ally; seperti halnya Deckard Shaw. Dan kalau kamu masih menonton sampai setelah end credits, kamu juga akan menemukan musuh bebuyutan Dom Torres muncul lagi sebagai cliffhanger untuk film berikutnya.
Baca juga: Membedah Bahaya Grooming Lewat Film ‘Palm Trees and Power Lines’
Tadinya saya kesal, rasanya percuma berusaha menganggap serius nasib karakter-karaker ini. Para pembuat filmnya terasa sengaja bermain-main jadi Tuhan, seenaknya. Tapi kemudian saya tersadar bahwa ini adalah penyakit yang dilakukan banyak tontonan zaman sekarang. Nostalgia dan potensi box office membuat semua orang menghidupkan lagi semua karakter yang harusnya sudah tidak lagi muncul.
Hayden Christensen terakhir muncul sebagai Anakin pada tahun 2005 (Revenge of the Sith) dan tahun lalu serta tahun ini hadir lagi di Obi-Wan Kenobi dan Ahsoka. Jamie Lee Curtis muncul lagi di Halloween: H2O dan trilogi terbaru, meski karakternya dibuat meninggal di Halloween 4. Kapten Barbossa (Geoffrey Rush) yang mati di akhir film Pirates pertama, muncul lagi di film kedua. Kirby (Hayden Panettiere) di Scream VI. Dan banyak lagi karakter dari film superhero.
Saya tahu konten-konten ini hanya fiksi. Bagaimana pun juga, penulis skrip memang Tuhan dalam kasus ini. Mereka bisa membunuh dan menghidupkan lagi siapapun yang mereka mau. Quentin Tarantino bahkan gemar menulis ulang sejarah dengan film-filmnya. Tapi keputusan pembuat film untuk menganggap kematian hanya titik plot membuat saya sangat kesal sekali. Bagaimana saya bisa terlarut dalam ceritanya kalau kematian hanyalah main-main?
Baca juga: ‘The Eighth Sense’: Trauma yang Jadi Hidangan Utama
Bayangkan jika Cedric Diggory (Robert Pattinson) ternyata masih hidup dan selama ini hanya iseng sembunyi? Bayangkan jika Logan di Succession ternyata masih hidup dan pura-pura mati untuk mengetes anak-anaknya? Saya yakin, bukan saya saja yang akan merasa sebal, tapi karakter-karakter yang ada di dalamnya juga akan kesal sekali dengan keputusan-keputusan ini.
Saya rindu sekali masa-masa di mana kematian sebuah karakter memang sebuah konklusi tepat, keputusan yang bisa kita tangisi, atau bikin merasa hampa sampai seminggu setelah pulang dari bioskop.
Jutaan nyawa di Contagion. Georgie di IT. Semua orang di Final Destination. Serial Game of Thrones misalnya, saya yakin tidak akan sepopuler sekarang, jika semua karakter bisa hidup sewaktu-waktu (mungkin, kecuali Jon Snow).
PS: Kalau Wolverine bisa muncul lagi dalam Deadpool setelah apa yang terjadi di Logan, artinya tak salah-salah amat kalau kita akan ikut sebal saat Iron Man bangkit dari kuburnya.
Fast X dapat disaksikan di seluruh jaringan bioskop di Indonesia.