Culture Screen Raves

‘Godzilla Minus One’ dan Memori Bencana Nuklir yang Tercecer

‘Godzilla Minus One’ menawarkan ramuan yang lebih humanis tentang trauma kolektif masyarakat Jepang terhadap bencana nuklir.

Avatar
  • May 10, 2024
  • 8 min read
  • 1323 Views
‘Godzilla Minus One’ dan Memori Bencana Nuklir yang Tercecer

Siapa yang tak kenal Godzilla? Monster berwujud kadal raksasa ini telah menemani masa kecil jutaan orang lintas generasi di seluruh dunia. Saking populernya, pada 2023, Takashi Yamazaki membawa kembali sosok tersebut lewat Godzilla Minus One (2023). Film yang memenangkan nominasi Visual Efek Terbaik dalam penghargaan Oscar 2024 ini berpusat pada penyintas Kichi Shikishima (Kamiki Ryunosuke) yang dulunya merupakan pilot Kamikaze Perang Dunia Kedua

Shikishima pertama kali berhadapan dengan Godzilla saat melarikan diri dari kematiannya sendiri. Ia berpura-pura mesin pesawatnya rusak, sehingga harus mendarat ke Pulau Odo, tempat teknisi pesawat berada. Nahas, kesempatan melarikan diri justru menorehkan trauma seumur hidup. 

 

 

Suatu malam, tiba-tiba Godzilla datang. Shikishima sebenarnya bisa membunuh Godzilla yang kebetulan belum berevolusi sempurna dengan senapan mesin pesawat. Namun, ia mematung diliputi ketakutan. Kegagalannya menggunakan senapan mesin pesawat, membuat orang-orang di pulau tersebut tewas terbunuh amuk Godzilla. Beruntung, ia dan satu mekanik, Tachibana selamat setelah melarikan diri.

Mimpinya untuk tak berhadapan lagi dengan Godzilla tak berlangsung lama. Tak lama setelah Shikishima kembali ke kampung halaman dan memulai hidup bersama keluarga baru, Godzilla kembali muncul. Ukuran tubuhnya kini telah melebihi gedung-gedung tertinggi di kota. Ia juga bisa menembakkan heat wave layaknya bom atom. Shikishima dihadapkan dilema: Apakah ia harus melarikan diri lagi atau melawan Godzilla demi masa depan diri dan keluarga barunya? 

Ulasan review Godzilla Minus One
Sumber: IMDB

Baca Juga:  8 Drama Korea Detektif yang Seru dan Menegangkan 

Kembalinya Sosok “The Real Godzilla”

Dalam adaptasi rumah produksi Hollywood, Godzilla sering kali digambarkan sebagai raja monster menyeramkan perusak segala. Ia mimpi buruk manusia dan lawan kuat monster lainnya. Godzilla digambarkan secara dangkal tanpa eksplorasi lebih lanjut tentang penciptaannya. Dalam film Godzilla x Kong (2021) dan Godzilla x Kong: The New Empire (2024) misalnya, eksistensi Godzilla sekadar hiburan saja dengan adegan adu jotos sebagai jualan utama.

William Tsutsui, penulis buku Godzilla on My Mind: Fifty Years of the King of Monsters (2004) kepada NBC News bilang, penggambaran Godzilla di Hollywood terkait pandangan masyarakat Amerika terhadapnya. Godzilla buat masyarakat Amerika tak lebih dari film monster “murahan” yang memang paling asyik dinikmati tanpa harus banyak memutar otak. 

“Kebanyakan orang Amerika berpikir jika kamu selesai menonton film (Godzilla) sambil menangis, itu hanya karena kamu tertawa terbahak-bahak karenanya,” kata Tsutsui. 

Di sinilah kenapa kehadiran Goodzilla Minus One jadi sangat penting. Yamazaki yang sekaligus bertindak sebagai penulis naskah, berusaha mengembalikan marwah Godzilla. Marwah yang secara sengaja dihilangkan Hollywood demi mengalihkan bahkan menguburkan kejahatan perang mereka. 

Dalam penelitian berjudul Godzilla Mon Amour: The Origins and Legacy of Nuclear Fear in Japan (2016) dijelaskan soal ini. Godzilla lahir pada 1954 lewat film garapan Ishirō Honda Monster sebagai metafora trauma kolektif masyarakat Jepang terhadap perang dan bencana nuklir. Ini termasuk yang diakibatkan oleh bom atom Hiroshima dan Nagasaki serta uji coba senjata nuklir  Castle Bravo. 

Pada Maret 1954, atau delapan bulan sebelum Gojira dirilis, AS menguji coba nuklir rahasia Castle Bravo. Senjata baruini digadang-gadang punya ledakan buatan paling kuat dalam sejarah. Hasil ledakan Bravo mencapai hampir 15 megaton TNT, atau 2,5 kali lipat dari jumlah yang diperkirakan dan sekitar seribu kali lebih kuat daripada bom yang dijatuhkan selama Perang Dunia II. Bola api yang dihasilkan pun berdiameter hampir 7,5 mil dan terlihat dari jarak 250 mil. 

Tragisnya, saat uji coba itu, sebuah kapal penangkap ikan Daigo Fukuryu Maru (Naga Keberuntungan No. 5) yang berada sekitar 22 km jauhnya dari “Area Bahaya” sedang melintas. Orang-orang di kapal tersebut lantas terbakar dan terpapar radiasi. Salah satu awak kapal meninggal beberapa bulan kemudian. Sementara, sisanya dirawat di rumah sakit selama lebih dari setahun karena paparan radiasi tinggi. 

Kasus ini begitu membekas di memori masyarakat Jepang. Masyarakat yang baru saja mulai bangkit pasca-perang harus dibayang-bayangi oleh mimpi buruk bencana nuklir. Lewat trauma dan kecemasan kolektif akan nuklir inilah, Tomoyuki Tanaka, produser film Godzilla mengajukan konsep monster terpapar radiasi yang muncul dari lautan untuk menyerang manusia. Tidak kurang dari 22 referensi tentang bencana nuklir sengaja dimasukkan dalam beberapa frasa di film ini. Misalnya, “bom-H”, “tuna atom”, “kejatuhan radioaktif”, atau yang paling eksplisit, “bom atom di Nagasaki.” 

Godzilla Minus One
Sumber: IMDB

Baca Juga: Review ‘Suzume’: Surat Cinta Makoto Shinkai untuk Rakyat Jepang 

Awal kelahiran Godzilla pada 1954 ini coba diangkat ulang Yamazaki. Sama seperti karya aslinya, Godzilla versi Yamazaki juga digambarkan sebagai makhluk yang bermutasi akibat hasil uji coba nuklir di Pasifik. Kulit atau sisik hitamnya yang berkerut, sangat kasar, juga terkelupas, menyerupai bekas luka keloid yang dialami para penyintas bom atom AS ke Jepang untuk mengakhiri Perang Dunia II dan uji nuklir Castle Bravo. 

Raungan Godzilla pun khas. Mengutip penelitian Gojira (1954), An Allegory For Coping With Trauma (2023), raungan ini terdengar lebih mirip dengan ratapan makhluk yang kesakitan. Inilah Godzilla yang sebenarnya: Makhluk yang terluka dan marah. Kemarahan ini ia wujudkan lewat sifatnya yang agresif, berkeliaran tanpa tujuan, dan menghancurkan apapun yang ia lihat. 

Intensi Yamazaki menggambarkan Godzilla sebagai makhluk yang terluka bukan tanpa sebab. Dalam wawancaranya bersama The Verge, Yamazaki secara spesifik memasukkan unsur budaya Jepang yang berakar pada Shintoisme dan animisme. Layaknya para dewa di film Princess Mononoke (1997) yang ditenangkan Ashitaka karena mengamuk dan berubah jadi iblis sebab hutan mereka dibabat habis oleh manusia, ia ingin menciptakan Godzilla dengan cara serupa. 

“Saya ingin Godzilla terasa seperti perwujudan fisik dari semacam energi negatif yang terkait dengan ketakutan, kekhawatiran, dan kekecewaan masyarakat Jepang. Kita–manusia–tidak perlu membunuh Godzilla melainkan menenangkannya. Minus One adalah tentang memberi nama dan wajah pada sesuatu yang menakutkan dan mengundang penonton untuk menenangkan kehadiran negatif tersebut melalui pengalaman bersama dalam menonton film,” jelasnya. 

Selain menggambarkan Godzilla sebagai korban, Yamazaki juga menekankan tentang betapa ciptaan manusia terkadang bisa punya efek merusak. Ia adalah pengingat tentang nuklir buatan manusia. Itu tampak dari heat beam Godzilla yang mirip dengan senjata nuklir. Ketika heat beam keluar dari sisik-sisiknya melalui mulut, ledakan berbentuk jamur besar akan tercipta. Bentuk ini mirip dengan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, juga Castle Bravo. 

Pasca heat beam, ada hujan berwarna hitam yang punya efek sama merusaknya. Hujan itu terinspirasi dari efek pasca-bom atom di Hiroshima dan Nagasaki serta uji coba Castle Bravo. Dikenal sebagai “Black Rain”, hujan ini mengandung abu dan berbagai material radioaktif tinggi, yang berdampak serius pada korban, tulis Japan Times. Dalam hal ini, korban bisa mengalami kebakaran pada kulit, diare akut, rambut rontok, dan gatal-gatal di leher dan bahunya.

Sumber: IMDB

Baca Juga: Surat Cinta Buat Doraemon, Karakter Kartun Revolusioner

Melawan lewat Solidaritas 

Selain mengembalikan marwah Godzilla, Yamazaki juga memberikan sentuhan humanis pada film ini, seraya mengkritik tindakan cuci tangan pemerintah Jepang dan Amerika. Pemilihan Shikishima sebagai protagonis utama, salah satunya. Dengan memotret Shikishima sebagai penyintas pilot Kamikaze, Yamazaki ingin memperlihatkan dampak perang kepada warga sipil bagi para penontonnya. 

Sebagai pilot Kamikaze, takdir Shikishima ditentukan oleh Kaisar Hirohito yang kala itu memimpin Jepang. Keberhasilan Shikishima sebagai manusia dan warga negara Jepang dinilai dari pengorbanannya untuk kaisar dan rakyat jepang, yaitu kematiannya sendiri.

Mengutip dari artikel Lessons from History, pengorbanan mereka dipandang sebagai kewajiban agama dan patriotisme. Maka pesawat-pesawat Kamikaze pun “didesain” khusus agar pilotnya tak melarikan diri, termasuk tidak dipasangnya ejection seat

Karena itu, ketika pilot Kamikaze justru selamat dari maut, mereka akan dikucilkan oleh masyarakat. Dianggap sebagai manusia hina dan dikutuk karena kegagalan untuk bunuh diri demi negara mereka.

Dalam kasus Shikishima, penghakiman ini menimbulkan trauma kompleks yang membuatnya berulang kali mendapati mimpi buruk dan mengalami mental breakdown. Sebab, ia menolak fakta bahwa hanya dirinya sendiri yang masih hidup sedangkan rekan-rekan dan keluarganya telah tewas akibat perang. 

Dengan luka besar ini, Shikishima hidup dengan terus dibayang-bayangi ketakutan dan tak pernah bisa sepenuhnya menerima kehidupan baru pasca-perang. Ia terjebak dalam perangnya sendiri yang tak berkesudahan dengan pemerintah, yang sama sekali tidak merasa bertanggung jawab atas nasib-nasib mereka. Dalam Godzilla Minus One digambarkan, ketika Godzilla berhasil dikalahkan, maka para penyintas baru bisa memenangkan perang dalam diri sendiri. 

Namun mengalahkan Godzilla tentu tak mudah. Pemerintah AS yang menguasai Jepang pasca-perang enggan turun tangan, karena alasan politik yang berkaitan dengan meningkatnya ketegangan Soviet. Sementara, pemerintah Jepang tak melakukan apa pun untuk mencegah kerusakan bahkan sesederhana mengevakuasi warga. Yang mereka lakukan cuma penyensoran dengan dalih semua informasi berkait Godzilla, dikhawatirkan bakal memicu keributan tak penting.

“Memang dari dulu pemerintah kita paling jago melakukan hal ini tanpa mau tanggung jawab,” kata salah satu penyintas perang dalam film itu. 

Alhasil untuk mengalahkan Godzilla, para penyintas perang cuma bisa saling mengandalkan diri satu sama lain alias bersolidaritas. Dengan tekad menyelamatkan masa depan, para penyintas perang dengan sukarela.

Pilihan ini membawa mereka ke arah kehidupan sangat berbeda dibandingkan ketika mereka masih menjadi prajurit di bawah komando Kaisar Hirohito. Dalam tulisan di The Conversation, hal ini menggambarkan pergeseran nilai-nilai di kalangan generasi muda Jepang kini, yang lebih menghargai keberlangsungan hidup manusia dibanding kematian dalam perang

Pada akhirnya, Godzilla Minus One tak hanya mampu mengangkat kembali monster alegoris perang dan kehancuran yang diciptakan oleh manusia. Ia juga memperlihatkan bagaimana kehadiran monster ini bisa sangat politis, berkaitan dengan kebijakan perang suatu negara. 



#waveforequality


Avatar
About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *