Review ‘Inang’: Cerita Horor Perempuan yang Menghadapi Kehamilan Tak Diinginkan
‘Inang’ merekam betapa horornya hidup perempuan dari kelas bawah ketika menghadapi kehamilan yang tidak diinginkan.
Hati-hati spoiler!
Inang adalah sebuah film thriller karya Fajar Nugros. Bercerita tentang Wulan, seorang perempuan yang mengalami kehamilan tak diinginkan (KTD). Wulan (Naysila Mirdad) kemudian memutuskan untuk tinggal bersama calon orang tua angkat jabang bayi yang sedang dikandungnya. Rumah luas serta makanan enak jadi kenikmatan yang ia rasakan setelah pindah ke kediaman milik Eva dan Agus. Namun, sayangnya kebahagiaan Wulan tidak bertahan lama. Ternyata bayi yang dikandungnya akan dikorbankan demi sebuah mitos, bernama Rebo Wekasan.
Sebelum pindah ke rumah Eva dan Agus, Wulan menempati kamar kontrakan kecil di dalam gang. Ia dikelilingi oleh penyewa lain yang mayoritas adalah masyarakat kelas bawah. Membayar uang sewa bagi Wulan yang bekerja sebagai kasir swalayan bukan hal mudah. Setelah hamil, penghasilannya makin tidak bisa menutupi seluruh kebutuhan. Sehingga Wulan terpaksa hengkang dari kontrakannya.
Selain masalah keuangan, Wulan bingung dengan kondisinya yang sedang berbadan dua. Teman baiknya menyarankan aborsi tidak sehat. Namun Wulan tidak mengindahkannya dan memilih untuk melahirkan dan memberi anaknya ke pasangan yang membutuhkan.
Komunitas pendukung ibu hamil di media sosial jadi tempat Wulan menemukan Eva dan Agus yang bisa membantunya.
Setelah pindah, Wulan seperti mendapatkan sosok ibu di dalam diri Eva (Lidya Kandou). Eva adalah sosok perhatian, lemah lembut, dan pengertian. Namun, dari mulutnya kita akan mendengar saran-saran yang ketinggalan zaman—khas orang generasi tua. Dari mulai mengenakan daster agar tidak gatal, mengonsumsi ramuan tradisional agar sehat, dan yang membuat saya tergelitik adalah membawa peniti sebagai pencegah marabahaya.
Sayangnya, Eva tidak memberikan kesempatan bagi Wulan untuk menentukan pilihannya sendiri dalam menjaga kesehatan dan kehamilannya. Semua gerak-gerik Wulan dipantau Eva.
Di dalam kondisi yang tidak nyaman, bukan berarti Wulan ingin bertahan. Keinginannya untuk kembali ke kota sangat besar. Namun sayang, ia tidak punya uang.
Selama menonton, saya sangat menyayangkan kondisi Wulan yang terasa dekat dengan kehidupan di sekitar kita. Kehamilan tidak diinginkan sangat berat. Perubahan tubuh ketika membesarkan manusia lain di dalam rahim belum tentu nyaman bagi semua perempuan. Belum lagi komentar rese dari orang sekitar yang seperti menghakimi paras perempuan hamil yang semakin membesar. Kondisi seperti ini idealnya didiskusikan dengan pasangan untuk memastikan adanya dukungan mental bagi si perempuan. Pun seseorang siap untuk menjalani kehamilan sendirian support system dari orang terdekat sangat penting untuk dihadirkan.
Ketimpangan Ekonomi dan Akses Kesehatan
Melihat Wulan dalam film Inang yang diatur oleh Eva membuat saya gemas. Aturan yang dibuat calon ibu asuh tersebut membatasi ekspresi ketubuhan dan kesehatan Wulan. Ia harus mengenakan daster dan mengonsumsi ramuan tradisional yang diracik sendiri. Semua aturan itu awalnya diterima Wulan dengan senang hati. Setelah diusir dari kontrakan karena menunggak sewa, rumah Eva dan Agus terasa surga.
Jeratan kemiskinan memang bikin karakter Wulan jadi serba salah, dan tak punya banyak pilihan. Sebelum tiba di rumah Eva dan Agus, desakan yang menghimpit Wulan datang bertubi-tubi. Sehingga masuk akal belaka jika ia ingin cepat-cepat dapat pertolongan.
Horor yang dirasakan Wulan ternyata tak berhenti di situ. Pertolongan Eva dan Agus jadi horor berikutnya. Mereka menolong bukan tanpa pamrih. Pasangan tua itu punya motif mengerikan di baliknya. Mereka ternyata punya anak yang lahir pada Rabu Wekasan yang terkenal keramat dan membawa kesialan. Demi menyelamatkan sang anak, mereka memburu ibu-ibu hamil untuk ditumbalkan.
Masalahnya, seperti horor-horor Indonesia pada umumnya, perintilan-perintilan supranatural yang dikutip Nugros dan dicecerkan dalam naskah Inang terasa klise. Masih terjebak dalam narasi menyalahkan hal-hal mistis yang jadi sumber kriminal.
Support System sebagai Kunci
Perempuan mandiri tentu bukan seseorang yang menjalani semuanya sendirian. Support system menjadi hal utama yang harus dimilikinya. Terutama ketika menjalani proses kehamilan, dukungan dari orang-orang terdekat sangat diperlukan. Hal ini dikarenakan perempuan yang sedang hamil, melahirkan, dan menyusui tidak hanya membutuhkan dukungan fisik saja. Dukungan mental dalam menghadapi perubahan menjadi alasan mengapa support system penting untuk perempuan. Apalagi di tengah masyarakat yang senang mengomentari dan menghakimi, kehadiran teman dekat dan keluarga sangat berarti.
Wulan punya seorang teman dekat bernama Nita, orang pertama yang tahu kalau dirinya hamil lalu menyarankan melakukan aborsi. Di Indonesia, akses aborsi sehat dan ilegal masih bukan pilihan. Meski begitu, pilihan tersebut masih di ditampilkan lewat dialog karakter Nita, satu-satunya support system Wulan. Dia juga berani menegur Wulan yang punya kebiasaan mudah percaya pada orang yang ditemui di media sosial.
Baca juga: Di Indonesia, Aborsi Bukan Sebuah Pilihan
Sayang, Nita yang terlihat progresif diberi ujung tragis. Sosoknya yang bisa saja jadi penyelamat Wulan—sekaligus bisa jadi simbol kekuatan solidaritas sesama perempuan. Namun, naskah Inang lebih memilih mempertontonkan perempuan seperti Nita punya ujung yang (mungkin) tak beda jauh dari realitas.
Film Inang bisa mengingatkan kita tentang beratnya hidup para perempuan, terutama mereka dari kelas bawah, saat menghadapi kehamilan tidak diinginkan. Horor yang dihadapi bisa berlapis, apalagi jika tak punya support system yang baik.