Review ‘Hit Me Hard and Soft’: Album Billie Eilish Terbaik
Lewat album ketiga yang sangat dewasa, Billie Eilish menunjukkan kepada kita alasan ‘what was i made for’, kenapa ia harus ada.
Saya mungkin bukan orang yang tepat untuk mengulas album ketiga Billie Eilish, Hit Me Hard and Soft. Namun, album ini terlalu menghipnotis untuk dihiraukan. Sejak perilisannya pada (17/5), saya sudah mendengarkan album ini dari awal sampai akhir sebanyak sepuluh kali. Kalau pun pengetahuan tentang musik terbatas, setidaknya saya bisa menilai bagaimana Billie Eilish dan kakaknya, Finneas, yang sekali lagi menjadi produsernya, mempersembahkan cerita yang ternyata sangat solid.
Saya berkenalan pertama kali dengan Billie Eilish sejak 2019 melalui album pertamanya, When We All Fall Asleep, Where Do We Go? Sebagai orang yang tak mengenal Billie Eilish sebelumnya, album ini memberikan banyak kejutan. Billie Eilish dan Finneas tidak memakai pakem yang banyak dipakai oleh musisi pop lainnya.
Dari sisi produksi, nada-nada yang muncul terdengar asing tapi di saat bersamaan tidak terlalu mengalienasi pendengar barunya. Enggak cuma itu, lagu-lagu di dalamnya sangat eklektik. Bury a Friend terasa seperti soundtrack film horor. You Should See Me in a Crown bisa dibayangkan akan menjadi anthem semua karakter boss bitch di semua media film dan serial TV. When The Party’s Over, lengkap dengan video klipnya yang ikonik itu, semakin menyayat berkat cara menyanyi Eilish yang khas.
Baca juga: Perempuan Musisi Borong Piala di Grammy Awards 2024, Bukti ‘Women Rule the World’
Setelah memenangkan Album of the Year, Best Pop Vocal Album, Record of the Year, dan Best New Artist, tentu saja semua orang menunggu apakah kejeniusan Eilish dan Finneas hanyalah kebetulan belaka.
Album kedua mereka, Happier Than Ever, mengonfirmasi Eilish dan Finneas adalah musisi jenius. Dengan jazz sebagai inspirasinya, album ini memberikan banyak rasa. Dari ballad sederhana dengan gitar akustik (Your Power), pop bernuansa hiphop (Therefore I AM), electro pop (NDA), pop bernuansa EDM (Oxytocin), sampai ballad yang berubah genre di tengah-tengah lagu menjadi rock (Happier Than Ever).
Happier Than Ever mungkin tidak mendapatkan respons sebombastis album pertama Eilish, tapi semua orang tidak bisa membantah talentanya. Tidak hanya berhasil melahirkan dua album yang menarik, Eilish dan juga Finneas menjadi dua kali pemenang Oscar dalam waktu kurang dari lima tahun.
Dengan semua prestasi dan fakta sekarang ia jadi bintang pop terkenal (119 juta followers di Instagram), sangat mudah bagi Eilish untuk mengeksploitasi kepopulerannya guna memberikan “produk”, alih-alih karya. Eilish dan Finneas tidak melakukan itu. Hit Me Hard and Soft mungkin hanya terdiri dari 10 lagu dengan total durasi sekitar 44 menit. Namun, semua track itu, setidaknya bagi saya, memberikan pengalaman emosional yang signifikan.
Secara keseluruhan, Hit Me Hard and Soft terasa seperti gabungan antara dua album pertama Billie Eilish. Production value-nya jauh meningkat, seperti yang sangat terasa dari Happier Than Ever. Dan seperti album pertamanya, Hit Me Hard and Soft terasa jauh lebih edgy. Album ini juga lebih bermain-main dari segi genre. Melihat betapa suksesnya respons semua orang lewat lagu Happier Than Ever, Eilish dan Finneas melakukannya beberapa kali dalam album ini. Dalam BLUE yang menjadi penutup album, Eilish dan Finneas bahkan mengganti rute sebanyak tiga kali.
Dibuka dengan SKINNY, Eilish mengatur mood album ini dengan refleksi. Ia bertanya: “People say I look happy just because I got skinny/ But the old me is still me.” Cara bernyanyi Eilish yang berbisik yang menjadi ciri khasnya, menjadi perkenalan tepat untuk album ini. Meskipun begitu, ia menggunakan power-nya ketika ia mengaku masih sering menangis.
Baca juga: Grammy Awards: Africa Finally Has its Own Category – but at What Cost?
Ditutup dengan instrumen yang terasa seperti sebuah scoring film Ghibli (ada alasan kenapa saya menggunakan studio ini sebagai referensi), SKINNY terasa seperti film pendek yang jelas sekali tujuannya. Tidak perlu menjadi seorang bintang pop untuk bisa memahami lirik “Am I acting my age now? Am I already on my way out.”
Setelah SKINNY menutup dengan instrumental, muncul dentuman drum yang membawa kita ke track berikutnya, LUNCH. Dari segi musik, LUNCH adalah obat kangen bagi semua orang yang hanya mengenal Billie Eilish melalui salah satu track populer, Bad Guy. Beat yang sangat catchy dilengkapi dengan petikan gitar cantik, membuat LUNCH sangat mudah didengar.
Secara lirik, ini mungkin pertama kalinya Eilish menyanyikan konten yang eksplisit secara seksual. Eilish yang melalui profil Rolling Stone mengaku punya ketertarikan terhadap perempuan dengan santai mengatakan, ia tidak sabar untuk bersantap siang. “I could eat that girl for lunch/ Yeah, she dances on my tongue/ Tastes like she might be the one”. Bisa dibayangkan LUNCH akan menjadi anthem musim panas ini.
CHIHIRO yang menjadi track ketiga menjadi lagu pertama yang paling mencuri perhatian saya. Secara lirik CHIHIRO mungkin tidak sepersonal SKINNY. Namun dari segi musik, CHIHIRO yang judulnya diambil dari karakter utama film Spirited Away karya Hayao Miyazaki, mengajak pendengarnya untuk “lepas”. Dimulai dengan dentuman yang normal sampai memuncak pada klimaks yang sangat orgasmik, CHIHIRO berakhir menjadi track yang tidak akan asing berada di adegan-adegan party serial seperti Euphoria.
Track keempat, BIRDS OF A FEATHER, adalah kepercayaan Eilish mengenai cinta yang abadi. Dimulai dengan “I want you to stay” dan diakhiri dengan “I love you, don’t act so surprised”, ini adalah lagu pop paling tradisional sepanjang album. Dengan chorus yang begitu catchy, lagu ini juga pembuktian Eilish bisa menyanyi tanpa trademark berbisiknya.
WILDFLOWER, adalah ballad tentang dilema menyayangi orang yang menjadi sejarah teman kita (“But I see her in the back of my mind all the time/ Like a fever, like I’m burning alive, like a sign/ Did I cross a line?”). Menyayat sekaligus pedih, WILDFLOWER ditutup dengan, “I know you didn’t mean to hurt me/ So I kept it to myself.”
THE GREATEST adalah track bagi siapa pun pecinta Happier Than Ever. Dibuka dengan akustik yang sederhana, lagu ini berubah jadi rock yang memuaskan. Ketika Eilish berteriak, “Man, am I the greatest”, saya tidak merasakan orang yang sedang flexing. Ada kemarahan disana. Ada rasa frustasi. Dan perubahan genre ini pas untuk menyampaikan, “I loved you/ And I still do/ Just wanted passion from you/ Just wanted what I gave you/ I waited and waited.”
Sebenarnya agak aneh bagi Eilish untuk melanjutkan THE GREATEST dengan L’AMOUR DE MA VIE yang slow dan bernuansa jazz. Namun sekali lagi, Eilish dan Finneas mengejutkan penggemarnya. Lagu yang bercerita tentang betapa leganya Eilish dengan hubungannya yang berakhir ini, sekali lagi berubah genre di tengah-tengah. Suara Eilish tiba-tiba di-loop saat mengatakan, “Then you moved on,” kemudian hentakan drum masuk dan L’AMOUR DE MA VIE berubah menjadi synth pop ala 80-an.
Lagu berikutnya, THE DINER, adalah track yang sangat Billie Eilish. Musik ala karnival dengan lirik yang menggunakan point of view penguntit, terasa sangat teatrikal. Atau bisa jadi tentang seseorang yang sangat terobsesi dengan kekasihnya. Meskipun terasa sederhana, saya bisa membayangkan THE DINER dipakai oleh berbagai macam jenis film untuk keperluan promosi mereka sebagai musik pengiring trailer.
BITTERSUITE sekali lagi menunjukkan betapa Eilish dan Finneas gemar bermain-main dengan konvensi. Bagian pertamanya terasa intense dengan pembukaan yang dramatis (“I can’t fall in love with you”). Memasuki menit 1:26, musik berubah menjadi lebih playful. Nadanya seperti musik santai yang didengarkan di pinggir sebuah pantai tropis.
Meskipun secara produksi, nada-nada yang muncul lebih seperti bermain-main, tapi Eilish tetap pahit (“It’s so romanticized / If this is how I die / That’s alright”). Memasuki 4:00, musik berubah lagi menjadi menegangkan kemudian dilanjutkan dengan teaser untuk penutup album, BLUE.
Dari semua track, mungkin BLUE adalah favorit saya. BLUE yang dimulai dengan nada yang begitu catchy merupakan rework dari karya Eilish dan Finneas yang belum dirilis (“True Blue”). Berkat teaser di belakang BITTERSUITE, irama BLUE langsung mengisi isi kepala saya.
Dimulai dengan “I try to live in black and white, but I’m still blue”, lagu ini diisi dengan berbagai referensi lagu-lagu sebelumnya yang ada dalam Hit Me Hard and Soft. Di 1:50 sekali lagi Eilish dan Finneas mengganti jalan dengan mengubah BLUE dari lagu yang mirip seperti Lana Del Rey ke sebuah ballad. Eilish berbisik, “I don’t blame you/ But I can’t change you”. Sensasi di bagian kedua ini rasanya seperti tenggelam yang tentu saja membuat cover album ini menjadi masuk akal.
Baca juga: Rasisme dan Isu Kelas Sosial: Alasan Publik Berat Menerima Kemenangan Harry Styles di Grammy Awards
Eilish meyakinkan saya, kadang kala “letting go” tidak seburuk itu. Sebab, di 3:54 Finneas memasukkan tambahan dentuman beat yang membuat BLUE sekali lagi berubah rasa. Kita tenggelam tapi rasanya, entah bagaimana, damai. Ditambah dengan imbuhan violin dan orkestra di penutupnya, BLUE adalah masterpiece. Seperti outro di SKINNY, BLUE seperti meyakinkan saya, Hit Me Hard and Soft adalah sebuah pengalaman yang singular. Hanya Eilish yang bisa mempersembahkan itu.
Sejujurnya, mendengarkan Hit Me Hard and Soft adalah melatih diri saya untuk tidak iri dengan talenta Eilish dan Finneas yang luar biasa. Mereka yang baru berusia 22 tahun dan 26 tahun berhasil mempersembahkan album yang menolak semua resep sukses kebanyakan bintang pop.
Tidak ada jalan mudah dalam Hit Me Hard and Soft. Semua keputusan kreatifnya menarik dan rewarding. Tidak hanya Eilish dan Finneas mempersembahkan track yang begitu berbeda satu sama lain tapi didengarkan dalam sekali duduk, semua musiknya terdengar kohesif. Tidak ada satu pun track yang terasa nyasar. Lebih dari itu, Eilish begitu jujur sebagai pencerita. Kapan terakhir kali kita mendapatkan bintang pop paket lengkap seperti Eilish?
Hit Me Hard and Soft dapat didengarkan di semua kanal musik.