Review ‘Home Sweet Loan’: Impian Terjepit Generasi Sandwich
Beli rumah buat Generasi Sandwich bisa bermakna kebebasan diri. Setidaknya itu yang diperlihatkan Kaluna di film ‘Home Sweet Loan’.
Peringatan: Artikel ini mengandung spoiler.
Terimpit, tapi tetap punya mimpi. Kalimat itu menggambarkan karakter Kaluna (Yunita Siregar) dalam film drama keluarga, Home Sweet Loan (2024). Film garapan Sabrina Rochelle Kalangie ini menyorot perjuangan Kaluna, milenial yang berambisi punya rumah sendiri.
Ambisi itu lahir karena situasi di rumahnya yang tak ideal: Ada tiga keluarga, tak ada privasi, dan Kaluna ter(di)paksa memprioritaskan kebutuhan anggota keluarga lainnya. Sebagai anak bungsu, Kaluna bahkan dibebankan tanggung jawab untuk mengurus kebutuhan rumah—seperti mengisi token dan mencuci piring setelah makan bersama.
Namun, untuk mewujudkan mimpi, Kaluna perlu berdarah-darah mencari pekerjaan tambahan. Ia rela mengambil side job sebagai model produk bibir, meski nominalnya terhitung “recehan” jika dibandingkan penghasilan bulanan. Dan perkara mempertahankan tabungan itu enggak mudah, karena kakak-kakak Kaluna kerap berharap bantuan finansial.
Lewat karakter Kaluna, Home Sweet Loan mewakili keseharian generasi sandwich di perkotaan, yang berusaha mencari kesejahteraan.
Baca Juga: Beban Pekerja Perempuan Generasi ‘Sandwich’ Berlapis
Representasi Generasi Sandwich di Perkotaan
Butuh waktu lama bagi Kaluna dan teman-temannya mengecek calon hunian impian. Dengan tabungan seadanya, Kaluna perlu presisi dalam menentukan calon rumah supaya sesuai budget tapi tetap nyaman untuk ditinggali. Situasi itu mencerminkan realitas kita saat ini. Hunian nyaman cenderung berharga tinggi. Kalau pun lebih terjangkau, ada sejarah buruk di baliknya dan dikenakan biaya murah agar terjual.
Selain harga properti dan isu Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera), biaya hidup yang kian tinggi juga semakin mengimpit generasi sandwich. Kondisi ini menambah tekanan finansial karena ada anggota keluarga lain yang harus dibiayai, sampai perlu mengesampingkan keperluan pribadi. Sementara penghasilan bulanan hanya cukup memenuhi kebutuhan satu orang.
Enggak heran jika Kaluna memilih gaya hidup frugal living, demi membantu impiannya tercapai. Misalnya dia enggak ngopi, bawa bekal ke kantor, dan enggak berlangganan aplikasi musik premium. Kaluna juga memilih naik transportasi umum, dan enggak membeli barang-barang yang tak diperlukan—seperti kakak iparnya yang membeli tas branded. Kata Kaluna, pengeluaran-pengeluaran itu nominalnya enggak seberapa, tapi sebenarnya signifikan.
Soalnya, sebagai anak bungsu dan yang satu-satunya belum berkeluarga, tanggungan Kaluna dinilai enggak sebesar kedua kakaknya. Alhasil, beberapa keperluan rumah tangga dilimpahkan padanya, dan Kaluna dianggap enggak punya cukup beban.
Tekanan finansial generasi sandwich juga ditampilkan oleh Janis Pugh lewat filmnya, Chuck Chuck Baby (2023). Helen (Louise Brealey)—seorang pekerja di sebuah pabrik ayam di Wales—tinggal bersama mantan suami, anak, pacar mantan suami, dan ibu mantan suaminya.
Sebagai satu-satunya pekerja di rumah, Helen harus memberikan separuh penghasilannya untuk keluarga mantan suami, sekaligus berperan sebagai caretaker si ibu yang dalam kondisi sekarat. Ia akhirnya merasa bebas dan berdaya, setelah tahu mendiang ibu mantan suaminya mewariskan rumah untuk Helen. Walaupun akhirnya Helen memilih tinggal bersama partner-nya karena lingkungan tempat tinggal yang diskriminatif terhadap queer.
Gambaran bahwa kepemilikan hunian melambangkan liberasi diri, juga disampaikan dalam ‘Buy Your Home and Feel in Control’ Does Home Ownership Achieve the Empowerment of Former Tenants of Social Housing? (2010). Lewat studi itu, peneliti Reinout Kleinhans dan Marja Elsinga bilang, memiliki rumah berkaitan dengan kontrol atas kehidupan.
Kebebasan itulah yang tidak dimiliki Kaluna selama tinggal di rumah orang tuanya. Sampai kamar pribadi pun ia tak punya, lantaran harus mengalah dengan dua keponakannya yang ingin punya kamar sendiri. Ini juga yang semakin mendorong Kaluna ingin punya rumah, supaya punya kendali penuh atas hidupnya.
Sayangnya, meski film ini mampu memotret generasi sandwich dengan tepat, ada permasalahan yang luput dibahas.
Baca Juga: Mampukah Milenial sebagai Generasi ‘Sandwich’ Baru Bertahan Ketika Pandemi?
Masalah Struktural yang Belum Disampaikan
Pertengahan September lalu, Magdalene berkesempatan menghadiri pemutaran perdana Home Sweet Loan di XXI Epicentrum, Jakarta Selatan. Usai pemutaran tersebut, filmmaker dan para aktor menyampaikan kesan sekaligus menanggapi permasalahan yang dibahas dalam filmnya.
Sayangnya, baik Sabrina, Yunita, maupun Derby tak ada yang menyinggung masalah struktural dalam Home Sweet Loan. Padahal, itulah persoalan utama yang dihadapi Kaluna. Yang mereka garis bawahi, justru pentingnya memprioritaskan diri sendiri, kesehatan mental, support system, dan relate dengan perjuangan Kaluna sebagai generasi sandwich.
Sebenarnya, isu itu sama pentingnya, dan enggak salah memvalidasi. Di tengah upaya memenuhi tuntutan hidup, kesejahteraan diri juga perlu diperhatikan—sekaligus bentuk dukungan bahwa beban yang dilalui adalah pengalaman kolektif.
Namun, mengakui latar belakang persoalan juga tak kalah penting. Dalam konteks ini, Home Sweet Loan enggak hanya powerful menjadi medium reflektif bagi 8,4 juta generasi sandwich di Indonesia—sesuai catatan Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2020. Namun sekaligus mengingatkan, kebijakan pemerintahlah yang melatarbelakangi kondisi mereka dan permasalahan ini bersifat politis.
Misalnya Kaluna yang bersikeras menabung untuk beli rumah, dengan gaji Rp6 juta per bulan. Sementara harga rumah impian semakin tak masuk akal. Kondisi ini ini tentu bakal memberatkan, jika merujuk pada konsep price income ratio (PIR). Menurut PIR, harga rumah terjangkau kalau berskor tiga—atau tidak lebih dari tiga kali penghasilan rumah tangga dalam setahun. Artinya, ada ketimpangan antara harga rumah dengan gaji pekerja seperti Kaluna.
Dalam tulisan Magdalene ini dijelaskan, harga rumah dan gaji pekerja yang tidak sesuai mencerminkan, adanya kekurangan penawaran rumah dengan harga terjangkau dan kelebihan penawaran rumah di saat bersamaan. Belum lagi konglomerat bisnis dan badan usaha skala besar yang memonopoli penguasaan lahan, membuat harga rumah dan lahan semakin mahal. Karena itu, Indonesia menghadapi krisis kebutuhan kepemilikan rumah.
Baca Juga: Marak Generasi Sandwich di Indonesia, Apa Solusinya?
Persoalan itulah yang enggak disorot Home Sweet Loan, meski film ini mampu merepresentasikan generasi sandwich di perkotaan. Kondisi Kaluna yang terimpit bukan cuma karena penghasilannya mepet Upah Minimum Provinsi (UMP) DKI Jakarta, dan harus mencukupi kebutuhan keluarga. Akan tetapi ada masalah berlapis, sampai Kaluna harus ngutang 20 tahun demi memenuhi kebutuhan primer.