Culture Screen Raves

‘Insidious: The Red Door’: Menonton Horornya Trauma yang Dipendam

Mungkin ‘jumpscare’ film kelima ‘Insidious’ enggak menakutkan. Tapi, Josh dan Dalton punya pesan penting tentang menghadapi dan melepaskan trauma.

Avatar
  • July 20, 2023
  • 5 min read
  • 2824 Views
‘Insidious: The Red Door’: Menonton Horornya Trauma yang Dipendam

Peringatan: Artikel ini mengandung spoiler

Sejak menonton ulang seri film Insidious belakangan ini, saya menyimpulkan keempat film yang ada bukan cuma menjual jumpscare, maupun sosok menyeramkan. Di baliknya, ada alur cerita seputar keluarga yang menghangatkan.

 

 

Begitu pun pada film kelima, Insidious: The Red Door (2023), yang kembali menyorot kehidupan keluarga Lambert. Tepatnya 10 tahun, setelah peristiwa yang menimpa Josh (Patrick Wilson) dan anaknya, Dalton (Ty Simpkins), dalam Insidious: Chapter 2 (2013).

Di akhir film kedua, Josh dan Dalton melakukan hipnosis untuk melupakan kejadian di The Further—alam lain penuh hantu dan iblis. Sayangnya, keputusan tersebut malah berdampak pada relasi keluarga: Josh cerai dari Renai (Rose Byrne), hubungannya dengan Dalton pun merenggang.

Hal itu ditampilkan sejak adegan pembuka Insidious: The Red Door. Dalton langsung masuk mobil dan mengabaikan ayahnya, serta Josh yang kelihatan ragu mengantar Dalton pindahan ke asrama kampus.

Semua gara-gara hipnosis, membuat Josh dan Dalton merepresi ingatan mereka.

Baca Juga: Film Horor Simbol Ketakutan Atas Kekuatan Perempuan

Represi Ingatan dan Trauma yang Dipendam

Selain merasa neneknya punya rahasia—yang dilihat dari sketsa bikinannya, Dalton merasa ada memori yang hilang. Terutama sejak Professor Armagan (Hiam Abbass) meminta proyek seni, berupa lukisan yang menggambarkan masa lalu. Lukisan itu sekaligus mencerminkan perasaan dan pikiran terdalam setiap mahasiswa.

Tanpa sadar, Dalton melukis pintu merah yang merupakan portal tempat hantu dan iblis. Awalnya ia enggak mengenali dan berusaha mengingat pintu tersebut. Dalton makin bertanya-tanya, ketika melukis Josh di kanvas yang sama. Dari situ Dalton yakin, ada peristiwa terlupakan selama dirinya koma dan setahun setelahnya.

Sementara Josh mulai mempertanyakan dirinya yang merasa disorientasi, kelihatan menjauh dari keluarga, dan punya kemarahan yang enggak terungkap. Sambil melatih ingatan, ia menelusuri latar belakang sang ayah—mencari tahu apakah terdapat riwayat gangguan kesehatan mental di keluarga.

Yang terjadi pada Josh dan Dalton mencerminkan dampak represi memori, atau melupakan secara intensional. Dalam psikologi, hal itu merupakan konsep yang digagas Sigmund Freud, pada akhir 1800-an. Ia meyakini, represi memori adalah mekanisme pertahanan terhadap pengalaman traumatis.

Seperti pandangan Freud, Renai juga menganggap represi ingatan adalah cara terbaik untuk melindungi keluarga. Keputusan ini didorong oleh perilaku Josh, yang ingin membunuh Renai, ibu, dan anak-anaknya, saat dirasuki hantu pengantin bergaun hitam dalam Insidious: Chapter 2.

Menurut Renai, anak-anaknya enggak bisa membedakan Josh dan hantu yang waktu itu menyerang mereka.  Karenanya, dalam Insidious: The Red Door, Renai mengaku enggan mengungkit kejadian tersebut pada Josh, maupun ketiga anaknya.

Sedangkan untuk menghapus ingatan Josh dan Dalton—sekaligus menghilangkan kemampuan proyeksi astral, keluarga Lambert menerapkan hipnosis. Bedanya, dalam psikologi, metode tersebut biasanya dilakukan untuk membantu orang mengingat memori.

Sebenarnya, memori yang direpresi enggak sepenuhnya hilang. Ingatan tersebut tersembunyi dari kesadaran, tetapi bisa mengganggu keseharian. Misalnya lewat mimpi, sesuatu yang memicu ingatan, dan flashback suatu peristiwa.

Karena itu, Dalton dapat melukis pintu merah—dan ayahnya yang memegang linggis—untuk proyek seni. Lagi pula, akhirnya kemampuan proyeksi astral lah yang kembali memantik ingatan Josh dan Dalton tentang kejadian 10 tahun silam.

Baca Juga: Kenapa Perempuan Selalu Menjerit dalam Film Horor?

Sumber: IMDB

Iblis Sebagai Metafora Trauma

Sejak kemunculan pertamanya di Insidious (2010), iblis berwajah merah ingin mengambil nyawa Dalton. Sementara hantu pengantin bergaun hitam di Insidious: Chapter 2 mengincar Josh, lantaran iri dengan masa mudanya. Kemudian, hantu tersebut ingin membunuh keluarga Josh, demi memperbaiki kondisi tubuh Josh yang sudah mati.

Dalam Insidious: The Red Door, iblis berwajah merah dan hantu pengantin bergaun hitam kembali menampakkan eksistensinya. Mereka “membantu” Josh dan Dalton mengingat masa lalu. Bahkan lebih dari sekadar menunjukkan kehadiran. Iblis dan hantu tersebut seolah metafora trauma, dan memori Josh serta Dalton yang direpresi.

Sebab, sejak Dalton merasa ada sesuatu yang disembunyikan dan Josh mengalami disorientasi, secara enggak langsung menampilkan bahwa trauma bisa dirasakan—meskipun keduanya enggak bisa ingat. Reaksi itu merupakan post-traumatic stress, yang muncul beberapa tahun setelah kejadian traumatis.

Trauma yang terpendam dalam diri Josh bukan hanya dari kejadian 10 tahun lalu, melainkan hubungan dengan sang ayah yang sudah meninggal 40 tahun sebelumnya.

Sebab, Josh tidak merasakan kehadiran ayahnya yang waktu itu didiagnosis skizofrenia, sehingga harus dirawat di rumah sakit jiwa. Padahal, ayahnya tidak memiliki gangguan mental, tetapi kemampuan proyeksi astral yang menurun pada Josh dan Dalton.

Baca Juga: 4 Topik Penting dalam ‘M3gan’: dari Isu Parenting sampai Perempuan Pekerja yang Bahaya

Namun, hal itu baru dipahami setelah Dalton dan Josh menghadapi trauma, sekaligus meninjau kembali ingatan di The Further. Di sana, ayah dan anak itu kembali mengenal ruangan di balik pintu merah, tempat Dalton disekap oleh iblis berwajah merah. Sementara Josh juga bertemu ayahnya—sosok yang tampak menghantui sejak di awal film.

Pada akhirnya, Josh dan Dalton berekonsiliasi dan pulih dari trauma, setelah mengalahkan iblis dan hantu. Kejadian itu sekaligus membuktikan, trauma dan relasi bisa diperbaiki, apabila mau mengakui, menghadapi, menerima, dan melepaskan peristiwa traumatis. Yang kemudian memberikan ruang tumbuh, sebagai individu maupun hubungan interpersonal.

Hal itu selaras dengan kalimat yang diucapkan Professor Armagan, saat menugaskan proyek seni di kelas. “Kamu harus melepaskan masa lalu supaya bisa tumbuh,” katanya.



#waveforequality


Avatar
About Author

Aurelia Gracia

Aurelia Gracia adalah seorang reporter yang mudah terlibat dalam parasocial relationship dan suka menghabiskan waktu dengan berjalan kaki di beberapa titik di ibu kota.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *