Culture Issues Opini Screen Raves

Akankah Serial Netflix ‘Gadis Kretek’ Romantisasi Industri Rokok?

Rokok sering dijadikan simbol emansipasi perempuan dan perlawanan terhadap patriarki. Namun, apakah penggambarannya dalam ‘Gadis Kretek’ sudah ideal?

Avatar
  • October 3, 2023
  • 6 min read
  • 3412 Views
Akankah Serial Netflix ‘Gadis Kretek’ Romantisasi Industri Rokok?

Rencana penayangan serial adaptasi novel Ratih Kumala berjudul “Gadis Kretek” di Netflix, bikin aku cemas. Lima tahun lebih berkelindan dengan penelitian pengendalian tembakau, membuat kecemasan ini cukup beralasan. Kepalaku langsung dipenuhi bayangan akan glamorifikasi benda adiktif ini, terutama di kalangan perempuan yang hidup dalam belenggu patriarki. Miris, tapi memang rokok sering dijadikan simbol emansipasi perempuan dan perlawanan terhadap patriarki.

Sadar ada bias tersebut, aku memutuskan mengobrol dengan teman-teman dari berbagai latar belakang yang juga membaca novelnya. Dari obrolan itu, aku sedikit lega. Tampaknya, ada harapan serial “Gadis Kretek” bisa mengedukasi masyarakat tentang realitas kelam industri tembakau di Indonesia. Inilah curahan hati tentang apa yang aku harapkan muncul dan tidak dimunculkan di “Gadis Kretek”.

 

 

Karakter Utama dan Perempuan Perokok

Tentu saja aku ingin melihat penonjolan keberanian karakter perempuan utama di bukunya, Dasiyah atau Jeng Yah. Ia perempuan yang berusaha membangkitkan bisnis kretek sang ayah, Idroes Moeria. Ketangguhan Dasiyah sebagai perempuan mandiri, cerdas berbisnis, dan berani bersaing dengan laki-laki tentu memiliki relevansi kuat dengan aspirasi individual para perempuan di era modern yang ingin sukses berkarier.

Baca juga: Review ‘Gadis Kretek’: Rahasia Kretek Djagat Raja dan Dendam Cinta Segitiga

Akan tetapi, jangan sampai cita-cita individualis ini mengorbankan aspirasi kolektif perempuan yang ingin keluar dari pusaran kemiskinan dan eksploitasi. Contohnya beberapa kali dalam novel, Dasiyah merokok tingwe (ngelinting dhewe) buatannya yang jadi cikal bakal Kretek Gadis dan sering diasosiasikan dengan kesuksesannya membangun bisnis kretek.

Jika adegan perempuan merokok ini ditampilkan dalam serialnya, ditambah dengan citra positif bisnis kretek, penonton akan menangkap kesan, itulah simbol perlawanan patriarki yang perlu dilanggengkan di masyarakat Indonesia. Di mana beban konsumsi rokok, baik ekonomi maupun kesehatan, banyak dipikul perempuan, tulis The Conversation.

Aku paham betul buku ini juga bermuatan kritik akan stigma buruk perempuan merokok yang melabeli mereka punya masalah moral. Merokok bukanlah perkara moral jika kenyataannya perempuan dibombardir oleh promosi rokok dan struktur sosial-ekonomi yang memberikan mereka banyak tekanan psikologis.

Namun, tidaklah perlu menormalisasi perempuan merokok atas nama kebebasan berekspresi jika harus dibayar dengan terjebaknya perempuan di lingkaran kemiskinan. Sebab, di negeri ini dampak buruk dari rokok paling dirasakan oleh kaum miskin, ungkap Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI).

Lebih lanjut, dalam “Targeting Women and Girls” yang dimuat di laman Tobacco Tactics disebutkan, industri rokok secara historis telah terbukti menunggangi semangat feminisme. Maksudnya, ia menargetkan konsumen perempuan melalui praktik pemasaran produk rokok slim, light, dan representasi perempuan dalam iklan rokok.

Mengingat banyaknya penggambaran aktivitas merokok di novel, aku berharap serial ini tidak menayangkan adegan merokok baik oleh perempuan maupun laki-laki. Sebab, itu terbukti dapat mendorong konsumsi rokok dan mempersulit perokok untuk berhenti. Marilah membuat keinsyafan kolektif bahwa merokok membawa dampak buruk bagi semua orang, apapun gendernya, dan justru bisa memperburuk ketimpangan sosial dan ekonomi di masyarakat.

review gadis kretek netflix
Sumber: Netflix

Baca juga: Menyindir Maskulinitas ala Eka Kurniawan

Mesti Ungkap Kerentanan Mereka di Industri Rokok

Bentuk lain dari peranan perempuan di industri rokok yang digambarkan di novel ini adalah sales promotion girl (SPG) rokok dan perempuan-perempuan buruh kretek. Meskipun dalam novelnya mereka tidak digambarkan sebagai korban eksploitasi, harapanku serial ini bisa mengungkap, di saat sektor tembakau didominasi oleh tenaga kerja perempuan, ironisnya, industri ini bersifat seksis dan eksploitatif terhadap mereka. Mulai dari pelecehan seksual yang sering dialami oleh SPG hingga upah rendah perempuan buruh pabrik rokok yang umumnya adalah tulang punggung keluarga. Perempuan-perempuan ini memiliki sedikit daya tawar untuk memperbaiki kondisi kerja mereka.

Selain itu, aku berharap serial ini bisa memperlihatkan transformasi industri kretek yang dulunya bersifat padat karya dan berkontribusi bagi perekonomian lokal, kemudian hegemoni kapitalisme membuatnya menjadi mesin profit untuk segelintir konglomerat yang tidak lagi berpihak pada rakyat kecil dengan banyaknya impor tembakau serta PHK buruh akibat mekanisasi dan efisiensi perusahaan.

Buruh dibayar rendah, bahkan tidak sungkan untuk membiarkan anak-anak bekerja di sektor tembakau, tulis Human Rights Watch. Memang benar adanya dulu keterlibatan anak-anak dalam pelintingan rokok adalah hal yang biasa, seperti Dasiyah kecil yang sejak dini dilatih untuk melinting kretek bahkan menghisap tingwe buatannya. Tentu saja fenomena tersebut tidak perlu lagi dilestarikan mengingat bahaya paparan bahan-bahan beracun kretek.

Sebagaimana diceritakan dalam novelnya, perusahaan kretek milik Idroes Moeria dan Dasiyah beroperasi secara tradisional menggunakan banyak tenaga manusia untuk mencampur saus kretek dan melintingnya, yang kemudian selang satu generasi, ketika menyorot perusahaan kretek yang dimiliki oleh kakak-adik Soeraja, produksi kretek kini lebih banyak menggunakan mesin. Efisiensi dalam teknik produksi dan pemasaran, telah membuat kretek Djagad Raja menjadi perusahaan raksasa, layaknya Sampoerna atau Djarum yang mampu mendanai banyak acara seni, hiburan, dan olahraga di Indonesia sebagai bentuk pencitraan publik dan promosi produknya yang banyak menargetkan anak muda dalam penyamaran corporate social responsibility (CSR).

Kehangatan hubungan antara kakak-adik Soeraja dengan pekerja-pekerjanya yang dinarasikan saat berkunjung di pabrik milik mereka jelas tidak bisa digeneralisasi ke relasi kuasa pemilik modal dan pekerja kerah biru di perusahaan rokok besar lainnya di Indonesia. Kita tentu tidak lupa akan fakta di mana dua buruh rokok pabrik HM Sampoerna meninggal akibat Covid-19 dan puluhan lainnya tertular karena perusahaan tersebut menolak berhenti beroperasi meski bisnisnya tidak tergolong esensial. Hal itu membuktikan, mengeruk laba lebih penting daripada perlindungan pekerja bagi perusahaan ini.

Aku juga berharap serial ini dapat menunjukan relevansi persaingan bisnis kretek yang tidak sehat di masa lalu dengan taktik perusahaan rokok saat ini yang berlomba-lomba memperluas pasarnya dengan segala cara yang seringkali juga tidak etis, dari mulai menyesatkan konsumen dengan tampilan bungkus rokok yang keren hingga mensponsori program yang banyak menyasar konsumen rokok masa depan, yaitu generasi muda.

 ulasan gadis kretek netflix
Sumber: Netflix

Baca juga: Alasan Rokok Hambat Kesetaraan Gender di Indonesia

Penayangan adegan penangkapan, penahanan, dan diskriminasi terhadap mereka yang dianggap PKI di serial ini memiliki potensi untuk menyadarkan masyarakat akan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) saat itu yang belum juga diakui oleh negara hingga saat ini. Dengan semangat yang sama, serial ini jangan sampai mengabaikan ketidakadilan sosial saat ini yang dilakukan oleh industri rokok terhadap rakyat kecil. Integritas serial ini perlu ditunjukkan dengan tidak meromantisasi kretek sebagai budaya Indonesia yang perlu diwariskan saat produknya telah dikomodifikasi, bahkan perusahaan domestiknya telah diakuisisi oleh korporat kelas global seperti Philip Morris International, menjadi barang yang konsumsinya merusak lingkungan dan HAM, seperti hak untuk hidup, hak atas kesehatan, hak anak, dan hak perempuan. Sudah jelas pasal kretek sebagai warisan budaya dalam RUU Kebudayaan ditolak secara tegas oleh Komisi X DPR di 2015. Cukup generasi selanjutnya mengenal sejarah kretek dari museum tanpa perlu mengonsumsinya.

Siapapun yang mendanai, aku sangat berharap, selain menjadi hiburan berkualitas untuk semua lapisan masyarakat dan apresiasi terhadap karya seni sastra, serial ini dapat menjadi alat edukasi dan kritik pada masanya, yaitu dominasi industri rokok yang bersifat predator dan eksploitatif sehingga membunuh 290 ribu rakyat Indonesia setiap tahun dan merugikan negara hingga Rp410 triliun, menurut data Tobaccofreekids.

Kita tahu karya seni tidaklah netral, dan memang seharusnya seperti itu. Ini adalah kesempatan bagi sineas Indonesia untuk membuktikan, karya mereka berpihak pada kemajuan kolektif perempuan, bukan individu, serta bisa menjadi ruang ekspresi kreatif dan melayani mereka yang tertindas, bukan pundi-pundi kapitalis. Aku yakin performa Dian Sastro, Ario Bayu, Putri Marino, dan pemeran lainnya di “Gadis Kretek” tidak akan mengecewakan, tapi tentu aku akan kecewa berat kalau talenta mereka justru dimanfaatkan untuk memperbesar pangsa pasar rokok, menghambat pergerakan progresif perempuan, dan memperburuk ketimpangan di Indonesia.



#waveforequality


Avatar
About Author

Beladenta Amalia

Beladenta Amalia adalah peneliti dan aktivis pengendalian tembakau yang mendambakan keadilan sosial bagi semua. Hobi traveling-nya lahir dari perjalanan akademik di beberapa negara dan ketakjubannya akan alam dan keberagaman manusia. Di waktu luang dia sering berandai tentang dunia alternatif yang asri dan setara di mana semua orang bisa menjadi seniman penuh waktu tanpa mengkhawatirkan penghidupan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *