December 6, 2025
Culture Screen Raves

‘Ratu Ratu Queens: The Series’ dan Collective Care yang Menyelamatkan Mereka

Di New York, kota yang sering dipuja sebagai simbol mimpi, empat perempuan Indonesia yang tengah dihantam nasib, justru saling menemukan dan merawat luka bersama-sama.

  • October 1, 2025
  • 4 min read
  • 1045 Views
‘Ratu Ratu Queens: The Series’ dan Collective Care yang Menyelamatkan Mereka

Sebagai salah satu penonton yang menikmati Ali & Ratu Ratu Queens (2021), kabar kembalinya kisah ini dalam format prekuel membuat saya antusias. Ada sesuatu yang melekat dari cara film itu memotret kehidupan perempuan diaspora Indonesia di New York: penuh luka, tapi juga penuh tawa, persaudaraan, dan kehangatan. 

Ratu Ratu Queens: The Series (2025) melanjutkan semangat itu, tapi mundur ke tahun 2013—masa ketika empat tokoh utamanya, Party (Nirina Zubir), Ance (Tika Panggabean), Biyah (Asri Welas), dan Chinta (Happy Salma), belum bertemu.

Enam episode dalam serial ini pada dasarnya mengajukan satu pertanyaan sederhana: bagaimana empat perempuan dengan latar belakang berbeda, yang sama-sama jauh dari tanah air, bisa menemukan satu sama lain lalu membangun keluarga baru? Jawaban yang diberikan tidak sederhana.

Lucky Kuswandi, sutradara Ali & Ratu Ratu Queens yang kembali menakhodai serial ini di kursi sutradara, tidak sekadar menuturkan perjalanan hidup migran kelas berada. Ia justru memperlihatkan kompleksitas hidup di negeri orang yang dialami empat tokoh utama kita.

Baca juga: ‘Dia Bukan Ibu’: Horor yang Dihadapi Perempuan Saat Kehilangan Dirinya Sendiri

Party misalnya, digambarkan bekerja ilegal di restoran setelah visanya kedaluwarsa. Sementara Ance, Biyah, dan Chinta juga bertahan hidup dengan sumber pendapatan pas-pasan. Situasi ini sejalan dengan riset Employment among Asian Americans (2023) yang menunjukkan bahwa pekerja Asia di Amerika Serikat cenderung menerima pendapatan lebih rendah dibanding rekan kulit putih. Meski tingkat partisipasi kerja tinggi. Hambatan status imigran dan bahasa tetap jadi faktor signifikan.

Di sisi lain, Lucky Kuswandi juga menyorot mitos lama tentang Amerika sebagai tanah peluang. Keluarga di kampung halaman kerap membayangkan merantau identik dengan hidup mapan. 

Pakde Party, misalnya, dengan sinis berucap: “Jauh-jauh ke Amerika kok masih aja susah?” Anggapan semacam ini sejalan dengan temuan Pew Research Center (2024), bahwa mayoritas imigran Asia memandang Amerika lebih baik dari negara asal—mulai dari kesempatan ekonomi hingga kesetaraan gender. Tetapi kisah Party dan kawan-kawan justru membuka sisi lain: betapa rapuhnya ilusi itu ketika berhadapan dengan kenyataan hidup sehari-hari.

Lucky mengemas semua kontradiksi ini dengan gaya yang sama seperti dalam Ali & Ratu Ratu Queens: alur ringan, humor segar, tapi penuh detail emosional. New York dihadirkan bukan sebagai kota glamor, melainkan ruang singgah yang ramai tapi bikin yang meninggalinya merasa asing. Restoran murah, bazar makanan, hingga apartemen sempit jadi latar keseharian para tokoh. 

Di ruang-ruang sederhana itulah mereka bertemu, sekaligus menyadari betapa rapuhnya pijakan hidup yang mereka miliki bila dijalankan sendiri.

Baca juga: ‘The Voice of Hind Rajab’ Menang di Venice Film Festival 2025, Apa Artinya?

Chosen Family yang Jadi Tema Setia

Namun di balik kerentanan itu, Ratu Ratu Queens: The Series menawarkan tema andalannya: chosen family

Patriarki mengajarkan kita bentuk keluarga heteronormatif: bahwa keluarga adalah mereka yang lahir sedarah, dan keluarga harus dibangun dari struktur berisi ayah, ibu, dan anak. Ratu Ratu Queens: The Series kembali mengajarkan bahwa konstruksi itu tidak selalu betul. Bahkan luka-luka yang hadir dalam tiap individu justru bisa hadir dari struktur heteronormatif bernama keluarga nuklir itu.

Kekuatan Ratu Ratu Queens terletak pada kemampuannya menolak gagasan keluarga nuklir tradisional. Di tengah norma sosial yang menempatkan keluarga darah sebagai pusat, serial ini justru menunjukkan bahwa kebahagiaan bisa lahir dari keluarga pilihan. Narasi ini terasa dekat dengan pengalaman banyak orang hari ini, yang mungkin tidak nyaman dengan pola keluarga konvensional dan lebih memilih komunitas sebagai ruang aman.

Setiap episode membedah luka pribadi para tokoh—Party dengan ibunya yang sakit-sakitan, Chinta dengan pernikahan yang retak karena perselingkuhan, Ance dengan duka kehilangan suami, dan Biyah dengan kemarahan yang meledak setelah ditinggal orang terkasih. Luka-luka ini, yang awalnya ditanggung sendiri, perlahan menjadi jembatan yang mempertemukan mereka.

Baca juga: Menonton Lagi ‘fiksi.’ Lewat Kacamata Queer: ‘Alice in Wonderland’ Versi Mouly Surya

Di sinilah konsep collective care terasa begitu kental. Serial ini, meski tidak eksplisit mengusung jargon politik, memperlihatkan praktik collective care itu dengan sangat nyata. Mereka memasak bergantian, saling menolong dengan uang seadanya, hingga menjual tas mewah demi biaya pengobatan. Adegan sederhana seperti traktir-mentraktir makanan atau perjanjian kecil untuk saling bantu di apartemen justru jadi inti narasi: solidaritas lahir bukan dari heroisme besar, melainkan dari kepedulian sehari-hari. 

Di tiap momennya, baik Party, Biyah, Anche, maupun Chinta, terlihat berupaya untuk selalu hadir dan saling bantu mengurangi rasa sakit satu sama lain. 

Jika di Selamat Pagi, Malam (2014) Lucky Kuswandi menyoroti perempuan urban Jakarta yang bergulat dengan identitas dan tubuhnya, maka dalam Ali & Ratu Ratu Queens serta serial prekuelnya ini ia memperluas cakupan: menempatkan diaspora perempuan sebagai pusat cerita, dengan sorotan pada tubuh, emosi, dan politik migrasi. Estetika yang ia bangun—ringan tapi pedih, lucu tapi getir—membuat kisah empat ratu terasa dekat, bukan sekadar tontonan.

Pada akhirnya, serial ini bukan cuma drama diaspora. Ia adalah refleksi tentang bagaimana perempuan, bahkan di tengah keterasingan, bisa menciptakan ruang hidup yang layak. Ratu Ratu Queens: The Series mengingatkan: kepedulian kolektif selalu jadi inti perjuangan perempuan.

About Author

Syifa Maulida

Syifa adalah lulusan Psikologi dan Kajian Gender UI yang punya ketertarikan pada isu gender dan kesehatan mental. Suka ngopi terutama iced coffee latte (tanpa gula).