Bahkan dalam ‘Sore: Idaman’, Cinta dan Kematian Tak Lepas dari Kekangan Kapitalisme
Kredit film Sore: Istri dari Masa Depan (2025) masih bergulir, emosi saya belum teratur, tapi saya langsung terpikir monolog Laurie (Carrie Coon) di The White Lotus. Saya jadi mengerti kenapa Laurie mengilhami waktu lebih dari cinta.
Baca juga: Jangan Contoh Sore Sebab Semua Cinta Fana
Cinta dan Waktu dalam Bingkai Kapitalisme
Di dunia sekarang yang serba tergesa, waktu jadi barang mewah yang dikapitalisasi. Kita didorong untuk produktif, efisien, dan berorientasi pada keuntungan. Time is money, katanya. Begitu pula cinta. Ia bukan lagi tempat kita pulang, mencari tenang. Cinta, dalam kacamata hari ini, bukan lagi sesuatu yang cuma kita berikan, melainkan sesuatu yang harus dikembalikan.
Kapitalisme, seperti kata Alain de Botton dalam novelnya Essays in Love (1993), telah membuat kita melihat hubungan seperti memilih barang atau investasi. Kita cenderung menilai apa yang bisa dibawa pasangan ke hidup kita. Konon, love is transactional.
Dalam dialog ikoniknya, Laurie tampaknya tak percaya lagi pada cinta karena kesakitan hebat yang ditanggungnya. Cinta yang Laurie alami, baik dari hubungan dengan pasangan sebelumnya, sahabat-sahabatnya, atau pekerjaannya terasa performatif, berdasar pada timbal-balik. Ia tak ingin merasa sakit karena proses cinta yang tak resiprokal. Ia menolak memaknai diri dari rasa sakit itu, dan menyerahkannya pada waktu. Sebab, dalam waktu, kita menciptakan makna.
Sayangnya, dunia kita hari ini enggan memberi cukup waktu untuk mencintai tanpa syarat. Sore: Istri dari Masa Depan bermain di sana. Sore (Sheila Dara Aisha) datang dari masa depan untuk mengubah gaya hidup destruktif Jo (Dion Wiyoko). Harapannya kelak Jo bisa hidup lebih lama dengannya dan menghindarkan Jo dari kematian dini.
Bagi saya, keyakinan akan waktu dan cinta sedemikian rupa hanya akan tercapai saat kita mengilhami kematian sebagai bagian integral dari proses mencintai. Sesuatu yang Sore tidak pahami sampai lebih dari separuh film berjalan.
Baca juga: Membaca Waktu dan Krisis Iklim dalam ‘Sore: Istri dari Masa Depan’
Kenapa Manusia Takut Mati (atau Setidaknya Membicarakannya)?
Saya tidak bisa bilang saya siap mati, atau siap melihat pasangan saya mati, tapi saya menyambut setiap percakapan tentang kematian. Penulis dan penyair Alok Vaid-Menon pernah bilang, “Death is not the elephant in the room. Death is the room and we are the elephants.” Saya setuju. Kematian bukan lawan kehidupan melainkan satu perjalanan panjang yang tak terpisahkan dalam eksistensi manusia.
Dalam film, Sore masih melihat kematian Jo sebagai musuh yang harus ditaklukkan, bukan sebagai bagian dari hidup yang perlu diterima.
Banyak yang menganggap tindakan Sore sebagai pecinta yang egois karena belum selesai berduka. Sore masih berada dalam tahap penyangkalan (denial). Saya percaya perjalanan lintas waktu Sore ke linimasa Jo semuanya hanya ada di kepala Sore, di akhir pun mereka dipertemukan dengan cara yang tidak sesuai prediksinya.
Jadi, apakah cinta bisa mengubah takdir?
Dalam kasus Sore, cinta, sebesar dan sekuat apa pun, tidak bisa memutar kembali waktu atau menjamin akhir yang ia harapkan.
Upaya Sore untuk menghindari kematian Jo tidak lepas dari nalar kapitalistik yang mencengkeram caranya mencinta. Ia mencoba mengintervensi kehidupan Jo, bukan hanya sebagai bentuk kasih, tapi juga kontrol: Ingin mengatur bagaimana Jo hidup, apa yang harus ia hindari, dan ke mana arah masa depannya. Cintanya sudah dikolonisasi oleh ide tentang bagaimana hidup harus diperpanjang, diselamatkan, dan dioptimalkan.
Justru cinta yang dibebani harapan untuk menyelamatkan itu malah menjadi sumber ilusi dalam diri Sore. bell hooks dalam All About Love pernah mengutip Erich Fromm, “The principle underlying capitalistic society and the principle of love are incompatible.” Artinya, dalam dunia yang terus mendorong manusia untuk mengambil sebanyak mungkin kesempatan dan sumber daya, cinta yang apa adanya justru dilihat sebagai kelemahan, bukan kekuatan.
Tak seperti komoditas, cinta tidak bisa dibentuk dari logika manajemen risiko. Cinta tidak bisa diprediksi, dikendalikan, atau diselamatkan. Apakah Sore benar-benar mencintai Jo? Atau ia hanya mencintai Jo dari kemungkinannya untuk berubah, untuk “selamat,” dan untuk bertahan hidup?
Ketika kematian muncul sebagai risiko yang tak bisa dikalkulasi, cinta memusuhi kehidupan yang memberikannya makna lewat waktu.
Padahal, bukankah kerelaan untuk hadir dalam ketidakpastian juga bentuk cinta?
Baca juga: Selain ‘Sore: Istri dari Masa Depan’, ini Film dan Serial tentang ‘Time Travel’
Kematian dalam Bingkai Kapitalisme
Menurut James Rowe, akademisi dari University of Victoria, dalam Does a fear of death lie at the heart of capitalism?, ketakutan kita akan kematian secara psikologis berakar dari kapitalisme yang bertaut dengan patriarki. Rowe dalam studinya, mengasosiasikan pemimpin laki-laki kulit putih sayap kanan seperti Donald Trump, dengan nilai-nilai kapitalistik, misalnya obsesi dominasi dan kontrol terhadap waktu, tubuh, dan relasi.
Saking besarnya pengaruh pemimpin-pemimpin tersebut, kita dikondisikan untuk mencari keabadian simbolik lewat kekuasaan, kepemilikan, dan warisan (legacy). Karena keabadian tak sejalan dengan konsep kematian, maka kapitalisme menjadikan kematian sebagai sesuatu yang harus ditaklukkan. Dan segala bentuk kefanaan tubuh diposisikan sebagai ancaman yang harus diatasi.
Akhirnya, situasi alami yang tubuh kita jalani, seperti melemah karena sakit, usia tua, atau apa pun yang “tidak produktif” atau tidak menghasilkan dalam kacamata kapitalisme, praktis dianggap sebagai kelemahan. Kapitalisme sendiri tidak punya ruang untuk mengelola emosi dan keterhubungan manusiawi. Beban itu dialihkan ke tubuh dan tenaga perempuan.
Inilah kenapa perempuan dibebani ekspektasi untuk mencintai dengan penuh pengorbanan, sabar, lembut, dan tanpa syarat. Federica Gregoratto, akademisi di bidang Filsafat Praktis dari University of Lucerne, dalam Love is a Losing Game: Power and Exploitation in Romantic Relationships menyoroti masyarakat kapitalistik yang kerap menaruh beban kerja-kerja emosional pada perempuan. Perempuan diposisikan sebagai pendukung yang setia, perawat emosi pasangan, dan penjaga stabilitas hubungan.
Sore dan Elsa, dituliskan dalam logika ini. Elsa (Lara Nekic), pasangan Jo selama di Kroasia, mengajak Jo untuk menjalankan bisnis restoran dan meninggalkan pekerjaannya sebagai fotografer. Baginya, membangun bisnis yang stabil, terutama dengan suntikan dana dari ayahnya, akan jauh lebih menjanjikan dibandingkan ketidakpastian karier seni seperti pameran foto Jo.
Elsa secara tidak langsung ikut mengafirmasi struktur relasi yang berorientasi pada keuntungan. Bentuk kontrol Elsa dibungkus dengan cinta dan kompromi. Sementara Sore, meski akhirnya dirinya menerima kalau ia tidak bisa mengubah kebiasaan-kebiasaan buruk Jo, dan kesadaran itu datangnya harus dari dalam diri Jo, misi Sore tak selesai di situ. Ia juga mau meng-unpack trauma Jo yang ditinggal ayahnya sejak kecil.
Tapi, Yandy Laurens tidak memberikan Sore kekuatan itu. Arc itu ditambahkan pada karakter Jo yang tiba-tiba mendapat ilham untuk memaafkan ayahnya, bahkan berhenti merokok dan minum alkohol.
Film ini, seperti kapitalisme itu sendiri, hanya mengagungkan perubahan yang cepat. Kita menyaksikan Sore melalui proses panjang yang melelahkan: Berulang kali terluka, berusaha memahami, memberi ruang, mundur selangkah tapi tetap mencintai. Tapi kita tidak tahu apa yang dirasakan oleh Jo atau bagaimana ia duduk dengan perasaannya. In short, capitalism hates a good grief. And grief is a love work.
Saya sebenarnya suka ajakan film ini untuk membentangkan paham kita soal cinta dan kematian ke lingkup kemanusiaan yang lebih luas, yaitu hubungan manusia dengan Bumi. Kita diajak merawat ingatan kita akan keindahan Bumi dibanding menanamkan rasa takut bahwa Bumi sewaktu-waktu akan hancur.
Dengan kata lain, menerima kematian bukan berarti menyerah, melainkan mengakui bahwa segala yang kita cintai termasuk Bumi, pada dasarnya fana. Sayangnya, kesadaran ini justru tidak hadir dalam diri karakter manusianya, Sore.
Hubungan kita dengan Bumi, pada akhirnya, tidak jauh berbeda dari hubungan kita dengan sesama manusia. Sering kali kita lupa bahwa cinta bukan soal seberapa banyak orang lain bisa memberi kita sesuatu, tapi tentang bagaimana kita bisa belajar coexist atau hidup berdampingan di tengah kenyataan hidup sehari-hari yang tidak selalu indah dan ideal.
Meminjam istilah psikolog eksistensialis Rollo May dalam Love and Will, cinta yang sudah melepaskan dirinya dari nalar kapitalistik seharusnya mendekatkan kita pada kematian. May mengajukan bahwa kesadaran akan kematian mendasari keberanian kita untuk mencintai.
Dan dalam waktu kita yang singkat di Bumi ini, menerima kefanaan terlihat seperti sikap yang lebih sehat daripada melawannya secara kompulsif.
“There is no one among us who is a stranger to death. Our first home in the womb is also a grave where we await the coming of life.
Accepting death with love means we embrace the reality of the unexpected, of experiences over which we have no control.”
-bell hooks
















