Maskulinitas Laki-laki yang Direkonstruksi Film-film Yandy Laurens
Ada maskulinitas yang direkonstruksi Yandy lewat film-filmnya.

Dari novel hingga layar lebar, cerita romantis sering kali membentuk ekspektasi kita tentang bagaimana cinta seharusnya terjadi—dan, lebih jauh lagi, bagaimana seorang laki-laki seharusnya bersikap dalam hubungan.
Namun, di tengah arus utama film romansa Indonesia yang masih banyak menerapkan peran gender yang kaku, muncul seorang sineas yang menangani karakter laki-lakinya dengan cara yang lebih nuanced.
Yandy Laurens, dalam karya-karyanya sejak Sore (2017) hingga Jatuh Cinta Seperti di Film-Film (2023), menghadirkan spektrum maskulinitas yang lebih luas: laki-laki yang tidak selalu dominan, tidak selalu tahu segalanya, dan tidak selalu menjadi pusat dari perjalanan romansa.
Baca Juga: 5 Ulasan Film Indonesia Pilihan 2024
Yandy Laurens: Membawa Sensibilitas Baru dalam Kisah Romantis
Dalam lanskap yang masih banyak mempertahankan pola lama, Yandy Laurens muncul dengan pendekatan yang berbeda. Sensibilitasnya dalam menangani karakter laki-laki telah tampak sejak web series Sore (2017).
Meskipun dalam banyak aspek masih menampilkan peran gender yang tradisional, Sore memiliki sesuatu yang berbeda: Ia adalah kisah cinta yang berpusat pada perjalanan internal laki-laki, bukan pada aksi heroiknya dalam mengejar cinta.
Jatuh Cinta Seperti di Film-Film (2023) memperkuat visi ini, dengan menghadirkan karakter laki-laki yang lebih reflektif terhadap ekspektasi cinta yang selama ini dibentuk oleh media. Melalui dua karya ini, Laurens memperlihatkan bahwa laki-laki dalam film romantis tidak selalu harus menjadi sosok yang mendominasi hubungan—mereka juga bisa meragukan, mempertanyakan, dan membiarkan cinta berkembang dengan lebih alami.
Sore (2017): Jo dan Reverse Romance
Dalam Sore, Jo (Dion Wiyoko) adalah seorang fotografer yang tinggal di sebuah kota kecil di Italia. Awalnya, ia digambarkan sebagai penyendiri yang misterius, seseorang yang lebih nyaman dengan dunianya sendiri. Hingga suatu hari, ia bertemu dengan Sore (Tika Bravani), seorang perempuan yang mengaku istrinya yang datang dari masa depan.
Yang menarik dari Sore adalah cara Yandy membalikkan dinamika romansa yang umum: Ini adalah kisah cinta yang berangkat dari kepastian—bukan ketidakpastian. Jo sudah tahu bahwa di masa depan ia akan menikah dengan Sore, tetapi narasi utama berpusat pada prosesnya menerima informasi tersebut. Drama dalam cerita ini bukan berasal dari pengejaran cinta yang penuh perjuangan, tetapi dari pergulatan internal seorang laki-laki yang ditantang untuk percaya.
Jo bukan laki-laki yang secara aktif mengejar cinta. Justru, ia adalah laki-laki yang harus belajar membiarkan cinta tumbuh. Ia skeptis, mempertanyakan segala sesuatu, dan tidak serta-merta menerima Sore begitu saja.
Bahkan, di awal, ia terang-terangan mengatakan bahwa Sore bukan tipenya. Namun, di balik sikap skeptisnya, cara Jo memperlakukan Sore mengungkapkan sesuatu yang lebih dalam, bahwa sebagai manusia, Jo adalah orang baik, sesuatu yang menurut saya lebih sulit dikomunikasikan secara efektif. Ia sopan, menghormati Sore, mendengarkan opininya tanpa nada merendahkan, dan selalu menanggapi situasi dengan kedewasaan.
Meski Sore masih mempertahankan beberapa aspek gender tradisional—misalnya, Sore yang merawat Jo dengan servis-servis kecil seperti membersihkan rumah atau melepas sepatunya saat ia tertidur—Yandy membingkai hal ini bukan sebagai kewajiban perempuan, melainkan sebagai act of love.
Sore melakukan hal-hal ini bukan karena ia “harus”, tetapi karena ia ingin. Dalam banyak film lain, aksi-aksi ini sering kali digunakan untuk menunjukkan kodrat perempuan sebagai perawat, tetapi dalam Sore, hal ini lebih merupakan cara Sore mengekspresikan kasih sayang.
Baca Juga: 5 Rekomendasi Film Tentang Feminisme Selain ‘Barbie’
Jatuh Cinta Seperti di Film-Film (2023): Maskulinitas yang Lebih Modern
Enam tahun setelah Sore, Yandy merilis Jatuh Cinta Seperti di Film-Film (2023). Kali ini, ia menghadirkan kritik terhadap ekspektasi cinta yang dibentuk oleh film-film romansa. Film ini menggambarkan bagaimana media telah menciptakan pola pikir tertentu tentang cinta—dan bagaimana karakter utamanya harus belajar melepaskan ekspektasi tersebut untuk menemukan cinta yang lebih nyata.
Karakter laki-laki dalam film ini, Bagus (Ringgo agus Rahman), lebih self-aware. Ia tidak lagi menjadi sosok yang serba tahu atau yang harus mengambil keputusan besar dalam hubungan. Sebaliknya, ia adalah seseorang yang belajar, yang mempertanyakan, dan yang akhirnya menyadari bahwa cinta tidak harus selalu seperti yang digambarkan di layar.
Jika Sore berbicara tentang bagaimana seorang laki-laki harus belajar percaya pada cinta, maka Jatuh Cinta Seperti di Film-Film bicara tentang bagaimana seorang laki-laki harus belajar melepas ekspektasi tentang cinta. Dua film ini membentuk pola yang unik dalam karya Yandy: Maskulinitas yang lebih reflektif, lebih rentan, tetapi juga lebih nyata.
Baca Juga: Tindakan Romantis Tak Melulu Seperti di Film, Saatnya Definisi Ulang
Perfilman Indonesia Butuh Representasi Maskulinitas Baru
Yandy Laurens telah menunjukkan bahwa film romansa Indonesia tidak harus selalu terjebak dalam pola lama. Maskulinitas dalam film romantis tidak harus selalu tampil dalam satu bentuk. Laki-laki bisa meragukan, bisa skeptis, bisa tidak tahu harus berbuat apa—tetapi tetap bisa menjadi sosok yang baik dan penuh kasih.
Eksperimen mengenalkan karakter laki-laki yang berhadapan dengan internal maskulinitas beracunnya juga dilakukan Yandy dalam Keluarga Cemara (2017). Di sana, konflik utama Abah (Ringgo Agus Rahman) adalah menjinakan maskulinitasnya yang turut jatuh karena tidak bisa menjadi provider keluarganya.
Lebih tajam, di film terbarunya, 1 Kakak 7 Ponakan, ia menghadirkan Moko—sebuah karakter yang juga diadaptasi dari novel Arswendo Atmowiloto. Di film itu, Moko hadir sebagai karakter yang jauh dari definisi maskulin tradisional, seperti pemberani, tegas, atau dominan. Banyak orang bahkan mempertanyakan karakternya yang tidak meledak marah, meski ditikam nasib buruk bertubi-tubi.
Perfilman Indonesia masih membutuhkan lebih banyak representasi maskulinitas yang lebih beragam. Selama ini, laki-laki dalam film romansa sering kali terjebak antara dua kutub: Yang terlalu maskulin dan mendominasi, atau yang terlalu pasif dan hanya berfungsi sebagai pelengkap cerita perempuan.
Namun, di antara dua ekstrem itu, ada banyak nuansa yang bisa dieksplorasi.
Melalui Sore dan Jatuh Cinta Seperti di Film-Film, Yandy Laurens membuka ruang bagi laki-laki dalam kisah romansa untuk lebih kompleks, lebih emosional, dan lebih manusiawi. Semoga, kepekaan ini bisa menginspirasi sineas lain untuk menghadirkan karakter laki-laki yang tidak hanya sekadar mengulangi pola lama—tetapi mencerminkan realitas yang lebih luas dan lebih jujur tentang cinta.
