December 5, 2025
Culture Opini Screen Raves

Membedah Adegan Seks Karakter Zahra dan Rawa dalam ‘Tukar Takdir’

Ada pergolakan duka dalam adegan seks kontroversial Zahra dan Rawa di film ini.

  • October 13, 2025
  • 6 min read
  • 2646 Views
Membedah Adegan Seks Karakter Zahra dan Rawa dalam ‘Tukar Takdir’

Artikel ini mengandung spoiler.

Tukar Takdir adalah film panjang keenam Mouly Surya, sekaligus film kelima yang ia tulis dan sutradarai sendiri. Diangkat dari salah satu cerpen dalam buku berjudul sama karya Valiant Budi, Mouly mengangkat sebuah investigasi pesawat jatuh. Di sana, ada satu penumpang yang selamat bernama Rawa (Nicholas Saputra). Pertanyaan awal film ini adalah: kenapa ia bisa selamat?

Plot utama film bergerak menjawab pertanyaan itu melalui metode investigasi. Dalam banyak wawancara media, Mouly memang menunjukkan bahwa ia suka menyaksikan investigasi kecelakaan pesawat. Namun, film ini tidak hanya berfokus pada investigasi—ia juga berfokus pada duka sebagai pengalaman kolektif. Karakter Rawa mengalami survivor’s guilt; berduka tidak hanya dialami oleh keluarga yang ditinggalkan, tapi juga oleh orang yang selamat.

Salah satu plot di film ini menjadi perdebatan banyak orang di media sosial. Ada adegan di mana karakter Zahra (Adhisty Zara) menginisiasi hubungan seksual dengan Rawa di dalam mobil. Banyak komentar yang bilang bahwa hal itu tidak penting, mengganggu esensi cerita, dan lain-lain. 

Padahal, adegan itu justru sangat penting dalam menggambarkan tipe duka yang dialami Zahra dan bagaimana korban survivor’s guilt menunjukkan consent.

Baca juga: Satu Kata yang Muncul Sepanjang Nonton ‘Rangga & Cinta’: Kenapa?

Berduka Tidak Selalu Diekspresikan

Karakter Zahra makin mudah dipahami karena Mouly memantulkannya lewat sosok Dita (Marsha Timothy), istri penumpang yang kursinya tertukar dengan Rawa. Dita meluapkan duka dengan cara yang lebih lantang—kata-kata tajam, amarah, dan tuntutan akan keadilan. Jelas sekali ia berduka, dan respons amarah memang paling banyak ditunjukkan. Dalam teori berduka Kübler-Ross, fase itu memang wajar muncul sebelum seseorang benar-benar bisa menerima kehilangan.

Berbeda dengan Dita, Zahra cenderung kelihatan lebih tenang. Ia adalah anak satu-satunya pilot pesawat yang ditumpangi Rawa. Di awal film, Zahra kerap ditunjukkan selalu bersama ibunya (Marcella Zalianty).

Zahra, di permukaan, tampak baik-baik saja. Ia setia mendampingi ibunya di setiap konferensi pers. Saat rekaman black box diputar, wajah ibunya lebih sedih dibanding dirinya. Saat di rumah pun, sang ibu lebih menarik diri. Zahra berduka di ruang lebih privat. Dalam satu adegan, ia menunjukkan kerinduan pada mendiang ayahnya dengan tidur di atas seragam sang pilot. Dalam ruang yang paling pribadi sekali pun, ia tidak menangis tersedu-sedu.

Lewat Dita dan Zahra pula, Mouly berhasil menampilkan wajah duka yang beragam, tanpa menghakimi bentuk-bentuk itu.

Menurut situs whatsyourgrief.com, salah satu bentuk duka yang kerap muncul adalah anhedonia—kehilangan minat terhadap hal-hal yang dulu memberi makna. Orang yang mengalaminya cenderung tampak tenang, diam, dan menarik diri; bukan karena tidak berduka, tapi karena merasa hampa. Zahra, dengan ekspresi datarnya di awal film, memperlihatkan gejala semacam itu.

Anhedonia membuat seseorang kesulitan memproses emosi secara utuh. Saat seharusnya sedih, ia justru mati rasa. Dalam kebingungan itu, muncul dorongan untuk “merasakan sesuatu” dengan cara apa pun—kadang lewat tindakan yang bersifat destruktif.

Di sinilah adegan seks masuk. Zahra, yang banyak menghabiskan waktu dengan Rawa, perlahan mulai menunjukkan ekspresinya. Ia berbicara dengan intonasi remaja, terbuka tentang bagaimana ibunya menarik diri dan bahwa ia tidak ingin menjadi beban ibunya, hingga akhirnya mengajak Rawa ke sebuah klub.

Pada titik ini, anhedonia Zahra sudah tergantikan dengan aktivitas yang ia pilih untuk merasakan sesuatu. Melalui eksposisi dialog, Zahra juga menunjukkan bahwa ia telah memutus hubungan dengan pacarnya dan sempat berkelahi di klub.

Ketika banyak orang mempertanyakan kenapa harus ada adegan seks di film tentang duka karena kecelakaan pesawat, jawabannya adalah: kenapa tidak?

Sinema sering kali memotret orang yang berduka lewat menangis tersedu-sedu, tidak mau makan, atau membanting perabotan rumah. Hal-hal itu berhubungan dengan kebutuhan dasar manusia. Dalam piramida kebutuhan dasar Maslow, seks adalah salah satu kebutuhan fisiologis paling dasar—terletak di lapisan paling bawah.

Namun, adegan seks di film Indonesia sering kali dicap tidak penting. Termasuk yang sudah lolos sensor Lembaga Sensor Film Indonesia—-lembaga dengan kategori layak-tidaknya adegan seks yang perlu dibedah dalam satu esai, atau mungkin satu jurnal, sendiri.

Bagi saya, adegan ini penting karena menggambarkan cara orang yang tidak bisa mengakses perasaannya saat berduka, melakukan apa pun untuk merasakan sesuatu. Meski cenderung destruktif (dalam norma sosial Indonesia), pilihan tersebut tetap penting untuk digambarkan sebagai bagian dari perjalanan duka.

Baca juga: Buat Ekspektasi Tak Realistis, Yang Saya Pelajari dari Film Romcom Remaja

Penggambaran Consent dalam Momen yang Ringkih

Adegan seks terjadi di dalam mobil, tapi momen itu sudah dimulai ketika Zahra membeli kondom di minimarket. Ada kesadaran dan keinginan yang dibuat serta dipilih oleh karakter Zahra. Di dalam mobil, Zahra memberikan jam tangan ayahnya pada Rawa dan mencium tangannya.

Zahra menunjukkan keinginan berhubungan intim lewat beberapa dialog, lalu menduduki kursi Rawa dan mencium bibirnya. Untuk beberapa saat, kamera membingkai mereka dari luar, sehingga penonton hanya melihat siluet melalui kaca mobil yang sedikit berembun karena hujan.

Tak lama, Rawa menghentikan Zahra. Ia mengatakan tidak, dan tubuhnya menunjukkan penolakan. Zahra berhenti. Rawa kemudian menjelaskan bahwa ia tidak ingin mereka menyesal. Adegan seks berakhir.

Mouly tidak menggambarkan adegan ini untuk memuaskan hasrat penonton. Kedua karakter bahkan masih berpakaian lengkap. Kamera tidak menyorot bagian tubuh dengan cara berlebihan. Bahkan, kamera terasa statis dan berjarak—seperti posisi Rawa di dalam situasi tersebut.

Rawa yang memiliki survivor’s guilt tidak bisa merespons situasi itu dengan cepat dan tepat. Kita tidak tahu pasti apa yang Rawa pikirkan, tapi melihat bahwa ia berhadapan dengan anak korban kecelakaan pesawat, rasa bersalah sebagai penyintas tunggal membuat posisi Rawa perlu kita pikirkan. Ia bukan sekadar laki-laki jauh lebih dewasa—yang pincang—ketika duduk di kursi penumpang dalam adegan itu. 

Ada perasaan bersalah dan keinginan untuk memuaskan Zahra dengan menggenapi ajakannya. Keinginan untuk menebus rasa bersalah yang dipikirkan Rawa cukup lama, terlihat dari beberapa detik ia diam secara signifikan. Namun, saya sendiri tidak melihat adegan itu sebagai momen yang dinikmati Rawa—ia justru terjebak dalam posisi yang membingungkan.

Mouly tidak menghakimi apa yang Zahra lakukan. Bisa jadi, setelah peristiwa itu, Zahra tidak merasa bersalah. Bisa jadi memang itu yang ia butuhkan.

Namun, yang Mouly berhasil gambarkan adalah kemampuan seseorang untuk menghentikan hubungan seksual yang tidak ia inginkan dengan menunjukkan consent.

Saya mendengar banyak komentar yang bilang bahwa adegan itu tidak perlu, atau justru tanggung. Namun, bukan itu yang film ini coba utarakan. Tukar Takdir menggambarkan orang-orang yang mencoba menegosiasikan rasa bersalah, kehilangan, dan batas diri di tengah trauma yang belum selesai.

Pada akhirnya, Tukar Takdir bukan film tentang seks, tapi tentang rasa yang sulit diakses—rasa bersalah, kehilangan, dan keinginan untuk merasa hidup kembali. Adegan seks antara Zahra dan Rawa menjadi cermin dari luka yang tak kasat mata: bagaimana dua orang yang sama-sama terluka mencoba memahami batas antara duka dan hasrat, antara kehilangan dan keinginan untuk kembali terhubung dengan tubuh sendiri.

Mouly Surya tidak memakai kamera untuk mengintip, melainkan untuk menyaksikan. Ia tidak mengeksploitasi, tapi mengobservasi bagaimana consent bisa hadir bahkan dalam momen yang paling ringkih. Dan mungkin di situlah kekuatan adegan ini: ia tidak memaksa penonton untuk menikmati, tapi mengajak kita memahami bahwa berduka tidak pernah punya satu bentuk tunggal—kadang, ia hadir dalam air mata, kadang dalam amarah, dan kadang, dalam keheningan yang mencoba mencari makna lewat sentuhan.

About Author

Reza Mardian

Reza Mardian writes for The Jakarta Post, NextBestPicture, Magdalene, and his TikTok Channel @kelitikfilm. He received the best film critic award at the Festival Film Indonesia (FFI) 2024.