‘When Olive Trees Weep’: Tentang Luka, Duka, dan Pencarian Keadilan Tanpa Ujung Palestina
Mengangkat langsung suara warga Palestina, film dokumenter ini menampilkan kekejaman Israel yang jarang diungkap ke dunia.
Seandainya pohon-pohon zaitun tahu tangan siapa yang menanamnya, minyak pohon tersebut akan berubah jadi air mata. Demikian kata penyair Palestina Mahmoud Darwish saat menggambarkan penderitaan mendalam warga Palestina.
Sudah lebih dari tujuh dekade, Israel menyiksa warga Palestina. Atas nama menciptakan “negara surga” untuk Yahudi, Israel lewat proyek zionismenya telah menindas, mengontrol, merampas, dan membunuh di tanah tempat warga Palestina menanam zaitun.
Sayangnya, meski banyak yang bersuara, sebagian lainnya memilih bungkam. Karena alasan itulah, Zaya dan Maurizio Benazzo membuat film dokumenter “When Olive Trees Weep” (2024) untuk mengurai penjahahan di Palestina.
Pada (27/7), Magdalene berkesempatan menghadiri penayangan film dari pasangan Benazzo itu. Berdurasi sepanjang 1 jam 43 menit, When Olive Tress Weep tak cuma mengisahkan parade trauma tapi juga memusatkan suara-suara lirih warga Palestina. Inilah suara-suara yang jarang sekali didengar oleh dunia.
“Film ini adalah kontribusi sederhana untuk mewujudkan impian kami mengakhiri pendudukan di Palestina, pencapaian hak-hak yang setara dan perlakuan yang adil, serta penyembuhan untuk semua siklus trauma antargenerasi di wilayah tersebut,” jelas keduanya dalam pamflet acara.
Baca Juga: Elitisida, Kematian Refaat Alareer, dan Pembunuhan Orang Penting di Palestina
Disiksa karena Membela Hak Mereka
When Olive Trees Weep dimulai dan diakhiri dengan narasi menghantam dari Ashira Darwish, jurnalis Palestina. Dia bercerita hampir lumpuh pasca-menerima siksaan dari tentara Israel saat berusia 16 tahun. Kala itu, ia bersama dengan warga Palestina lain tengah demonstrasi untuk menuntut hak-haknya di Yerusalem.
Demonstrasi damai tiba-tiba berubah jadi aksi unjuk kekuasaan tentara Israel. Tanpa pandang bulu, para demonstran dipukuli berkali-kali dan dibanting ke tanah. Darwish pun jadi salah satu sasaran hingga diseret ke sebuah van dan dijebloskan ke penjara bawah tanah.
Dalam penjara, Darwish diborgol dan dipukul di bagian wajah setiap kali berusaha mengelak menjawab pertanyaan tentara. Ia sempat dipindahkan sel kecil yang hanya memungkinkannya berdiri dengan dua tangan memeluk badan. Di sel itu, ia disiram air mendidih dan air dingin secara bergantian hingga hampir kehilangan kesadaran, kalau saja tahanan Palestina lain tidak meneriakinya kata-kata penyemangat.
“Yang kudengar hanya teriakan ‘Kuatlah, jangan menyerah. Jangan biarkan mereka menghancurkanmu. Kami di sini’. Pada saat itu, tidak ada hal lain di semesta ini yang aku inginkan lebih dari keluar dari sel itu karena mereka mengerti sekali apa yang mereka perbuat. Mereka ingin menghancurkan kami,” tutur Darwish.
Darwish bukan satu-satunya warga Palestina yang ditahan dan disiksa tentara Israel. Menurut Kementerian Tahanan dan Mantan Tahanan Palestina, setidaknya sejak 1967, yaitu saat Perang Enam Hari terjadi (5-10 Juni), Israel telah menangkap lebih dari 805 ribu warga Palestina dan lebih dari 82 ribu orang ditangkap sejak Intifada Al Aqsa (2000).
Sejak 1967 pula, 205 orang Palestina telah meninggal di penjara Israel karena penyiksaan, penolakan perawatan kesehatan atau pembunuhan yang disengaja, 82 di antaranya sejak 2000. Ada 123 kematian di antara para tahanan selama periode 1967-2000. Dari kematian tersebut, sekitar 60 persen sebab kematian lantaran penyakit yang diderita akibat penahanan, penyiksaan, dan pengabaian medis.
Selain Darwish ada salah satu sosok menonjol sempat diwawancarai dalam dokumenter When Olive Trees Weep. Ia adalah Bassem Tamimi, ayah aktivis muda Palestina Ahed Tamimi dan pemimpin kelompok akar rumput tanpa kekerasan Komite Koordinasi Perjuangan Rakyat Nabi Saleh di Tepi Barat.
Di desanya, Nabi Saleh, Tamimi mengorganisasi demonstrasi mingguan untuk menentang kolonialisme pemukim dan pendudukan tanah Palestina. Berkat aksinya, ia dijebloskan ke penjara belasan kali dan pernah menghabiskan lebih dari tiga tahun dalam penahanan administratif tanpa diadili.
Usai serangan 7 Oktober 2023, ia sempat ditahan kembali. Ia baru dikeluarkan pada April lalu dengan kondisi fisik mengkhawatirkan. Tubuhnya sangat kurus dan harus dirangkul untuk bisa berjalan. Dalam pengakuannya di film dokumenter yang diproduksi selama tiga minggu pada Mei-Juni 2022 itu, Tamimi berulang kali mengalami siksaan dari tentara Israel.
Pada 1993, ia bahkan pernah koma selama sepuluh hari setelah disiksa selama interogasi dan membutuhkan operasi karena mengalami pendarahan di antara dua lapisan otak. Namun dengan segala penyiksaan itu, semangat Bassem enggak pernah padam. Buatnya tak ada yang lebih penting dibandingkan kebebasan tanah kelahirannya.
Baca Juga: Kenapa Serangan Israel ke Palestina adalah Isu Feminis
Air Bersih yang Jadi Barang Mewah
Pemukiman Yahudi terlihat bak oasis. Rumah-rumah yang dibangun dari penggusuran paksa rumah penduduk Palestina itu dipasang pipa-pipa air yang mengalir lancar selama 24 jam. Bunga-bunga liar bermekaran di tanah. Ikan-ikan berenang nyaman di kolam yang berjejer rapi. Anak-anak bisa bermain air sepuasnya di kolam-kolam renang tanpa khawatir akan kehabisan persediaan air.
Sebaliknya, tak jauh dari pemukiman Yahudi, warga Palestina dari Lembah Yordan mengalami krisis air selama puluhan tahun. Rafea Foukaha, penduduk asli dari Lembah Yordan mengajak para penonton melihat pendudukan Israel ini dari sudut pandang yang masih jarang diketahui masyarakat luas.
Lewat kesehariannya bersama penduduk Lembah Yordan yang tinggal di tenda-tenda pengungsian, ia menceritakan bagaimana pipa-pipa air tak pernah sampai ke Lembah. Sebab, Israel secara rutin memutus pasokan air dan mengalihkan jaringan pipa untuk melayani pemukiman baru yang sengaja dibuat senyaman mungkin.
Akibatnya, pohon kurma, buah-buahan, hingga hewan ternak dibiarkan mati kehausan. Warga Palestina tidak bisa mendapatkan cukup air untuk memandikan anak-anak, mencuci pakaian, hingga bersuci (wudhu). Untuk mendapatkan air, mereka harus menempuh jarak puluhan kilometer untuk mendapatkan air dan menjatah pasokan air mereka yang dimuat dalam satu tangki truk besar.
Realitas ini merupakan ironi. Lembah Yordan sebenarnya adalah tanah yang subur dengan sumber daya air yang menyimpan potensi ekonomi melimpah. Penduduk menyebut wilayah ini sebagai “keranjang roti” (julukan bagi suatu daerah yang karena kekayaan tanah dan/atau iklim yang menguntungkan menghasilkan gandum atau biji-bijian lain dalam jumlah besar) bagi Palestina di masa depan.
Namun sejak Israel menduduki Jalur Gaza dan Tepi Barat pada 1967, Israel secara sistematis mengontrol pasokan air mereka. Mengutip laporan Amnesty International, pada November 1967, pemerintah Israel mengeluarkan Perintah Militer 158 yang menyatakan, warga Palestina tidak dapat membangun instalasi air baru tanpa terlebih dahulu mendapatkan izin dari tentara Israel.
Sejak saat itu, pengambilan air dari sumber baru atau pembangunan infrastruktur air baru memerlukan izin dari Israel, yang hampir tidak mungkin diperoleh. Warga Palestina pun tidak dapat mengebor sumur air baru, memasang pompa, atau memperdalam sumur yang sudah ada. Selain itu, mereka juga tidak memiliki akses ke Sungai Yordan dan mata air tawar.
Baca Juga: #RuangAmanAnak: Luka Tak Terlihat Anak-anak di Jalur Gaza
Parahnya lagi, Israel juga mengontrol pengumpulan air hujan di sebagian besar Tepi Barat, dan penampungan air hujan yang dimiliki oleh masyarakat Palestina sering dihancurkan oleh tentara Israel. Akibatnya, sekitar 180 komunitas Palestina di daerah pedesaan di Tepi Barat termasuk Lembah Yordan hingga kini tidak memiliki akses terhadap air bersih.
Foukaha sudah berada di wilayah ini sejak lama. Nenek moyangnya sudah bekerja dan tinggal di tanah Lembah Jordon yang sama sejak sebelum pemerintahan Turki. Namun realitas yang tak kunjung berubah ini cuma bisa membuatnya menatap nanar pada masa depan. Sembari menyulut rokok di depan tenda pengungsian, ia bilang, “Kami sudah mati walau di saat bersamaan kami masih hidup.”