Riset: Program Pemberdayaan Masyarakat Pesisir Belum Ramah Perempuan
Program pemberdayaan masyarakat pesisir belum dapat menjawab masalah ketidaksetaraan gender di daerah pesisir.
Pemerintah Indonesia sudah banyak menjalankan program untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat pesisir beberapa dekade belakangan. Sayangnya, sebagian program tersebut belum dapat menjawab masalah ketidaksetaraan gender di daerah pesisir.
Kami melakukan studi terhadap 20 program yang terkait dengan mata pencaharian untuk masyarakat pesisir yang tersebar di Indonesia dari tahun 1998 hingga 2017. Kami ingin melihat bagaimana isu gender menjadi pertimbangan dalam persiapan hingga implementasi program-program tersebut. Kedua puluh program yang kami teliti mendapatkan dana dari pemerintah Indonesia, negara lain, lembaga pengembang dan donor internasional, serta lembaga swadaya masyarakat (LSM) konservasi.
Sebagian besar program ini melibatkan perempuan dalam kegiatan. Tujuannya, untuk meningkatkan mata pencaharian yang ada atau memperkenalkan sumber pendapatan baru. Namun, 40 persen program tersebut masih buta gender, terlebih untuk urusan perancangan dan dampak dari aktivitas mereka. Hanya dua program (10 persen) yang menggunakan pendekatan yang mempertimbangkan norma-norma sosial terkait peran gender atau norma gender dan benar-benar memberdayakan perempuan.
Baca juga: Cara Dobrak Stereotipe Peran Gender dalam Keluarga
Kami merekomendasikan agar program-program di masa mendatang bisa memasukkan pemahaman mendalam mengenai norma sosial terkait peran gender kepada masyarakat pesisir di Indonesia. Lebih lanjut, program-program tersebut perlu melibatkan partisipasi warga sekitar karena hal ini akan berdampak positif dalam meningkatkan taraf hidup masyarakat pesisir.
Hasil penelitian kami
Penelitian kami mengkaji program peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir di Indonesia—termasuk Bali, Sulawesi, dan Papua Barat—dan menemukan bahwa 95 persen program tersebut sudah melibatkan perempuan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Keterlibatan mereka terwujud dalam berbagai kegiatan seperti pelatihan dan penyediaan alat-alat untuk mendapatkan penghasilan tambahan. Contohnya adalah kegiatan membuat produk makanan dari ikan atau tanaman bakau.
Kami menemukan bahwa hanya tiga dari 20 program tersebut menyediakan pelatihan kesadaran gender bagi anggota staf dan fasilitator dari komunitas. Hanya satu program yang memberikan pelatihan serupa di level komunitas. Lebih lanjut, hanya dua program yang memberikan kuota bagi perempuan untuk berperan sebagai pendamping masyarakat (30-50 persen perempuan).
Di lain sisi, temuan kami juga menunjukkan bahwa sebagian besar program dilaksanakan dengan cara yang mendukung norma gender yang ada. Dengan kata lain, pendekatan yang diterapkan dalam program-program tersebut hanya mencoba mengakomodasi norma-norma terkait peran gender tanpa mempertanyakan konsekuensi dari norma tersebut.
Sebagai contoh, kegiatan pembuatan kerajinan tangan atau pembentukan kelompok perempuan untuk meningkatkan pendapatan akan lebih dikenal sebagai ‘aktivitas perempuan’ dalam banyak program. Dalam pelaksanaannya, ‘aktivitas’ tersebut masih belum mempertimbangkan peran tradisional perempuan, yaitu mengurus rumah tangga, atau kontribusi perempuan yang tidak dibayar untuk ekonomi rumah tangga.
Hal yang bisa dilakukan
Berdasarkan temuan kami tersebut, kami merekomendasikan pendekatan gender yang transformatif. Pertama, pendekatan ini melibatkan pengarusutamaan gender ke dalam pelaksanaan proyek. Artinya, pendekatan yang digunakan merupakan strategi untuk mencapai kesetaraan gender. Kedua, pendekatan ini melibatkan komunitas di pesisir untuk mengidentifikasi dan menantang norma-norma sosial terkait peran gender dan relasi sosial yang ada.
Baca juga: Pemberdayaan Perempuan Krusial bagi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia
Komponen utama program ini adalah analisis gender yang mengidentifikasi berbagai hal. Beberapa di antaranya adalah aktivitas perempuan dan laki-laki dalam rumah tangga serta masyarakat, perbedaan akses perempuan dan laki-laki dalam mengontrol dan memanfaatkan sumber daya penghidupan, perbedaan bentuk partisipasi yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam, norma-norma sosial terkait peran gender dan relasi gender memiliki pengaruh terhadap perbedaan tersebut, serta dampak kedua hal tersebut terhadap peluang perempuan dan pria dalam mencari pendapatan.
Sebagai contoh, salah satu program yang bernama Program Sekolah Lapang Pesisir termasuk kegiatan partisipatif untuk merekam kegiatan sehari-hari wanita dan laki-laki. Aktivitas ini menyoroti waktu yang dihabiskan perempuan untuk menjalankan tugas rumah tangga dan mendukung ‘aktivitas laki-laki’ tanpa bayaran.
Ketika dilakukan dengan model partisipatif, analisis gender membantu komunitas untuk mengidentifikasi keterbatasan lokal dan struktural yang menghambat kesetaraan gender. Dengan demikian, komunitas dapat mengidentifikasi pilihan serta aksi yang bisa dilakukan masyarakat untuk mengatasi hambatan tersebut, dan mencapai kesejahteraan sosial ekonomi yang setara.
Pendekatan gender yang transformatif harus difasilitasi dengan sensitif mengingat bahwa pendekatan tersebut akan menantang hierarki kekuasaan tradisional di masyarakat. Pendekatan ini membutuhkan waktu dalam perencanaan.
Dengan mengidentifikasi dan mengurangi hambatan perempuan dalam mendapatkan posisi yang setara dalam kehidupan sosial dan ekonomi, maka pendekatan gender yang transformatif dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat pesisir. Hasilnya, masyarakat akan memiliki peluang pendapatan yang lebih baik.
Pada akhirnya, mengakui kontribusi perempuan, membangun kepercayaan diri perempuan, serta memberikan suara kepada perempuan untuk berpartisipasi dalam perencanaan di tingkat komunitas akan menciptakan peluang yang lebih besar untuk memasukkan isu-isu perempuan ke dalam agenda pembangunan.