‘Your Space, Your Rules’: Riset ‘Privasi Feminis’ dari PurpleCode
PurpleCode Collective meluncurkan riset “Privasi Feminis: Otonomi dan Agensi Lintas Dimensi” di OSH Jakarta Selatan, (16/8). Riset ini disertai diskusi tentang bagaimana perempuan, anak, dan kelompok rentan menafsirkan dan membentuk makna privasi dalam kehidupan mereka.
Alih-alih membahas privasi sebagai urusan “rahasia”, diskusi ini menampilkan kisah nyata warga. Mulai dari masyarakat adat yang melawan proyek negara, anak-anak yang dipaksa menyerahkan ponsel di sekolah, hingga komunitas queer yang privasinya kerap dilanggar lewat aturan daerah. Cerita-cerita ini menegaskan, privasi selalu terkait dengan pengalaman hidup dan relasi kuasa.
Diskusi tersebut dipandu oleh Alia Yofira dari PurpleCode; dan dihadiri Yumna Fae, peneliti Privasi Feminis serta Brenda Yanti dari Sanglah Institute. Kedua pembicara ini memaparkan hasil riset yang diperoleh dari para “rekan penelitian”—istilah PurpleCode untuk menyebut informan penelitian mereka.
Baca Juga: In(her)ited silence’ Bangkitkan Kembali Ingatan Kita Soal ‘Jugun Ianfu’
Privasi Tak Sekadar Urusan Rahasia
Sejak awal, Yumna bilang, makna privasi enggak pernah tunggal. Dari pengalaman tiga belas rekan penelitian dalam riset tersebut, ditemukan privasi selalu terkait dengan agensi individu dan terbentuk dari pengalaman hidup, pengetahuan, serta konteks sosial masing-masing orang.
Privasi bukan sekadar menutup diri atau menyembunyikan informasi, tetapi menjadi bagian dari cara seseorang atau komunitas menegaskan keberadaan, hak, dan kedaulatan mereka dalam kehidupan sosial.
“Setiap individu maupun komunitas punya makna masing-masing terkait privasi. Salah satu temuan kami, privasi dilihat sebagai hak. Tapi masyarakat adat, misalnya, punya pandangan berbeda,” tuturnya dalam sesi diskusi.
Bagi masyarakat adat, privasi tidak hanya menyangkut ranah personal, tetapi juga ruang komunal yang terkait dengan identitas dan praktik budaya komunitas. Yumna mencontohkan proyek pengaspalan jalan yang dilakukan negara tanpa persetujuan warga adat.
“Bagi masyarakat adat, proyek itu melanggar privasi spasial karena bertentangan dengan nilai dan praktik komunitas,” ujarnya.
Contoh ini memperlihatkan bagaimana keputusan administratif atau pembangunan dapat berdampak langsung pada kehidupan sehari-hari, memengaruhi praktik budaya, dan menekan hak komunitas atas ruang mereka sendiri.
Riset juga menunjukkan pentingnya mencatat pengalaman tubuh, gagasan, pandangan, dan kepercayaan. Tujuannya agar kita bisa memahami privasi secara lebih utuh. Brenda sendiri bilang, privasi bukan cuma soal menutup diri atau menyembunyikan sesuatu, tapi juga tentang mengakui keberadaan diri sendiri secara penuh. Pandangan ini kemudian dijadikan landasan riset untuk melihat bagaimana pengalaman pribadi setiap individu saling terkait dengan konteks sosial yang lebih luas.
Hasil riset memperlihatkan bagaimana orang dan komunitas merespons pelanggaran privasi, menghadapi pengawasan, dan menjaga ruang pribadi mereka. Privasi bukan cuma hak personal, tapi juga dipengaruhi budaya, norma komunitas, dan dinamika sosial sehari-hari. Dengan cara ini, riset menunjukkan privasi sebagai fenomena nyata dan kompleks, bukan sekadar konsep di atas kertas.
Riset juga menyoroti peran relasi kuasa dalam menentukan privasi. Siapa yang punya akses informasi, siapa yang menetapkan batas ruang pribadi, dan bagaimana aturan formal memengaruhi interaksi sosial menjadi faktor penting. Beberapa kebijakan bahkan memberi legitimasi untuk melanggar privasi kelompok tertentu, seperti teman-teman queer, sehingga hak mereka atas ruang pribadi sering terabaikan.
Temuan riset membuka pertanyaan besar. Misalnya siapa yang berhak menentukan batas privasi? Bagaimana hukum dan norma sosial memengaruhi individu atau komunitas, khususnya kelompok rentan? Dari lensa pengalaman hidup dan relasi kuasa, riset ini juga mengurai cara melindungi privasi sekaligus menghargai keberadaan semua individu dan komunitas.
Baca Juga: Batasan dan Privasi: Kunci Pacaran Sehat Tanpa Drama dan Kontrol
Privasi, Kuasa, dan Perlindungan Kelompok Rentan
Brenda menjelaskan, siapa yang memegang kuasa memengaruhi cara privasi dijalankan. Mereka dengan status sosial lebih tinggi sering merasa berhak menentukan batas privasi orang lain, termasuk kelompok rentan.
Yumna epakat dengan Brenda. Kata dia, “Ketika berbicara soal akar dari pelanggaran privasi, kita menemukan kompleksitas. Salah satunya soal relasi kuasa dan dominasi.”
Adapun relasi kuasa muncul di berbagai level. Di keluarga, orang tua atau anggota lebih tua menentukan ruang pribadi anak. Di sekolah, guru menetapkan batas informasi yang boleh diakses. Di dunia kerja, atasan mengontrol data dan komunikasi. Di institusi negara, kebijakan memberi legitimasi praktik yang membatasi privasi individu atau kelompok tertentu.
Contoh konkret terlihat dalam Peraturan Daerah Kota Bogor Nomor 10 Tahun 2021. Aturan ini membuka ruang bagi masyarakat melanggar privasi teman-teman queer dengan dalih norma. Kasus ini menunjukkan bagaimana kebijakan formal membentuk batas privasi yang dianggap wajar meski merugikan kelompok rentan.
Di dunia pendidikan, praktik pengawasan serupa terlihat jelas. Brenda, rekan penelitian sekaligus guru di sekolah inklusif, menyoroti guru yang memeriksa ponsel murid:
“Di kelas aku selalu bilang, kalian punya privasi, loh. Bahkan kalian boleh menghapus history browser yang tidak ingin dilihat orang lain kalau suatu saat ada sidak.”
Widuri, peserta diskusi, menambahkan, “Contohnya, anak-anak dipaksa bikin twibbon, menyebut sekolahnya di mana. Kalau menolak, pihak sekolah kadang melakukan intimidasi.”
Praktik ini sering terbawa ke rumah. Adib, peserta lain, mencontohkan pola patronizing parenting. “Saya tertarik dengan cerita Kak Brenda soal anak SMP yang HP-nya dicek guru. Saya jadi teringat komik Doraemon. Ibunya Nobita kedatangan tamu, lalu Nobita dijelek-jelekin, Nobita pemalas katanya,” ujarnya, disambut tawa audiens.
Di sisi lain, kasus razia ponsel siswa SMP dan SMA di Indramayu pada (11/8) menunjukkan anak berada dalam relasi kuasa timpang. Aparat Satpol PP memeriksa ponsel siswa yang bolos dan menemukan konten pribadi sensitif, menjadikan isi ponsel tolok ukur moralitas mereka.
Selain anak, kelompok rentan lain juga menghadapi pengawasan dan pelanggaran privasi. Peserta diskusi yang mendampingi korban kekerasan seksual berbagi dilema antara menghormati privasi korban dan kebutuhan informasi untuk menuntut keadilan. Komunitas transpuan sering diawasi dan dipinggirkan, meski hanya ingin mengekspresikan diri di ruang publik.
Baca Juga: Tren Fotografi Lari: Ada Peluang Ekonomi, Ada Pelanggaran Privasi
Kisah-kisah ini menunjukkan memperjuangkan privasi bukan sekadar melindungi diri, tapi juga tindakan politis. Dalam perspektif feminis, privasi menjadi benteng kebebasan, ekspresi, dan martabat, sekaligus strategi merebut ruang publik yang lebih aman dan inklusif.
Karena itulah, Yumna menekankan pentingnya consent sebagai fondasi privasi. Setiap individu, terutama perempuan dan kelompok rentan, dapat memberi izin secara sadar dan bebas.
“Meskipun kita bisa memaknai privasi secara pribadi, ini tetap persoalan bersama yang harus terus-menerus diperjuangkan bersama haknya,” pungka Yumna.
Riset lengkap “Privasi Feminis: Otonomi dan Agensi Lintas Dimensi” yang menjadi dasar diskusi publik ini bisa diakses secara terbuka di sini.
















