Community Community Update Safe Space

Rumah Dialog: Ruang Berbagi Kehangatan dan Pengertian Antar Transpuan dan Keluarganya

Ruang Dialog menawarkan ruang diskusi bagi transpuan dan keluarganya.

Avatar
  • August 16, 2024
  • 6 min read
  • 1242 Views
Rumah Dialog: Ruang Berbagi Kehangatan dan Pengertian Antar Transpuan dan Keluarganya

Keluarga adalah rumah untuk berlindung dari segala kejahatan di dunia. Ia menawarkan kehangatan serta keamanan yang tak ada duanya, sehingga kamu terus ingin kembali ke pelukannya. Namun, apa jadinya jika rumah tempat kamu bernaung tiba-tiba jadi tempat yang justru menorehkan luka? Jika terus berada di dalamnya, perlahan tapi pasti, kamu malah binasa.

Ini bukan suatu perumpamaan, tetapi fakta tentang pahitnya hidup jadi transpuan yang terbuang dari rumahnya. Naira, 41, transpuan yang kini bekerja di salah satu Lembaga Swadaya Masyarakat di Jakarta pernah jadi salah satunya. Naira bercerita bagaimana sejak kecil ia merasa dirinya terjebak dalam tubuh yang salah.

 

 

Saat ia masih duduk di Sekolah Dasar tiap jam dua pagi, ia bangun untuk merias wajahnya dan melilitkan kain Bali di kepalanya seakan itu ada rambut panjang miliknya. Lewat pantulan cermin, ia memuji dirinya sendiri cantik bak Krisdayanti yang kala itu tengah digandrungi banyak remaja. Kegiatan merias diri ini ia lakukan berulang kali tapi diam-diam, jauh dari radar keluarganya.

Namun pasca-meninggalnya sang ayah pada 1998 silam, hobi berdandan tak lagi ia sembunyikan. Naira memutuskan putus sekolah saat ia masih duduk di bangku kelas 2 Sekolah Menengah Pertama (SMP). Keputusannya ini ia ambil biar dia bisa bekerja jadi pekerja seks demi bisa mendapat sesuap nasi bagi dirinya dan sang ibu.

Melihat perubahan Naira apalagi tau pekerjaannya saat itu, kakak laki-lakinya marah besar. Tanpa belas kasih, kakak laki-lakinya memukuli dan menendangnya berulang kali sembari ia mengemasi barang-barangnya untuk kabur dari rumah.

“Kakak perempuanku teriak ‘Nanti adek lo mati, adek lo bukan maling!’ Tulang belikat sama mukaku ditendangin sampe memar. Aku juga dipukul berkali-kali sambil masukin baju ke plastik buat kabur,” curhat Naira berlinang air mata.

Rumah Dialog
Foto: Jasmine Floretta/Magdalene

Baca Juga: Transpuan di Bali Selama Pandemi: Hilang Pekerjaan, Minim Bantuan

Penerimaan Keluarga yang Begitu Penting

Naira bukan transpuan satu-satunya yang minggat dari rumah. Walau tidak mengalami kekerasan fisik dari keluarga, Inara, 44 dan Tiara, 32 memutuskan minggat dari rumah karena tidak diterima keluarga. Inara misalnya menceritakan bagaimana ayahnya adalah anggota dari Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) punya pemahaman soal agama yang cenderung konservatif sehingga membuatnya kesulitan menerima Inara yang kemayu.

Seribu cara dilakukan Inara untuk mengambil hati sang ayah, salah satunya dengan menggunduli kepalanya. Tapi nahas, Inara tetap tidak diterima sebagai anak. Keluarga ayahnya juga tak jauh beda. Inara dianggap menjijikkan.

“Mereka kaya udah anti banget tiap liat aku. Aku makanya memutuskan keluar dari rumah dari usia 15 tahun sampai akhirnya bapak meninggal, aku juga enggak diterima,” kata Inara.

Sedangkan Tiara sempat minggat dari rumahnya di Subang selama tiga tahun lamanya. Ia sebenarnya kangen sekali dengan ibunya, tetapi setiap tahun hendak ke rumah, langkahnya selalu terhenti bahkan ketika ia sudah mulai melihat rumahnya dari kejauhan.

“Setiap nyampe rumah enggak berani masuk, liat dari jauh pergi lagi. Sampe akhirnya ada teteh pulang dari Arab, aku cerita sama dia semuanya. Dia nyuruh aku pulang tapi aku disuruh jadi cowok dulu. Rambutku dibotakin terus pake jaket sama celana jeans. Pokoknya ngobatin rindu dulu,” katanya.

Baca Juga: Sejarah Istilah “Transpuan” dan Perjuangan Keadilan di Dalamnya

Tiara cukup beruntung dibanding Naira dan Inara. Dengan cara yang ditawarkan Tetehnya ia lalu berstrategi untuk perlahan mengganti penampilannya menjadi perempuan. Karena sudah terbiasa dan ibunya juga tak mau kehilangan Tiara lagi, akhirnya Tiara diterima.

“Pas Tiara tiga tahun enggak pulang, saya kepikiran. Nangis terus. Saya bingung juga harus mencari dia ke mana. Jadi pas pulang, ya sudahlah gini-gini anak saya,” kata ibu Tiara.

Cerita Naira, Inara, dan Tiara hadir tak terduga dalam sebuah diskusi pasca penayangan film dokumenter Balek ke Jambi yang ditayangkan di Karawang, Selasa (6/8) lalu. Film dokumenter yang disutradarai dan diperankan oleh Anggun Pradesha ini bercerita tentang pengalamannya balik ke rumah dan bertemu ayahnya setelah delapan tahun kabur ke Jakarta.

Meski telah setuju untuk bertemu, Anggun sadar sang ayah masih butuh waktu untuk menerima dirinya dan mengatasi kecanggungan di antara mereka berdua. Anggun lalu bersiasat menghimpun dukungan dari ibu, dua temannya yang ikut ke Jambi, serta guru SMK-nya dulu saat merajut hubungannya kembali dengan sang ayah.

Anggun dalam wawancaranya bersama Magdalene mengatakan penerimaan memang adalah hal paling penting untuk tiap transpuan. Penerimaan keluarga adalah fondasi mereka untuk menumbuhkan rasa percaya diri yang kata Anggun bakal jadi bekal berharga untuk menghadapi dunia yang menolak kehadiran mereka dengan ragam stigma dan diskriminasi yang ada.

Myra Diarsi, psikolog dan aktivis perempuan pun menambahkan penerimaan keluarga memang harus yang paling awal datang mengingat masyarakat Indonesia nyatanya juga masih menganut nilai budaya kekeluargaan khas masyarakat Asia. Dalam nilai budaya ini bonding antara anak dan keluarga sangat didorong bahkan dihidupkan, sehingga segala bentuk penerimaan dan validasi apapun menjadi penting untuk kesejahteraan jiwa seorang individu.

Tetapi penerimaan tentunya bukan hal yang mudah. Naira dan Inara adalah contohnya. Kata Myra, kesulitan orang tua menerima anaknya yang transpuan hadir karena masyarakat kita masih banyak yang terjebak dalam normalitas atau norma. Ini bukan lagi tentang benar salah, tetapi ini tentang bagaimana standar-standar perilaku yang dapat diterima diberlakukan oleh kelompok mayoritas.

Foto: Jasmine Floretta/Magdalene

“Normalitas ini membuat mereka yang berbeda banyak disingkirkan dan dipinggirkan dari berbagai kesempatan. Secara psikologis, hal ini mengakibatkan trauma. Mereka jadi merasa bersalah, dikucilkan, bingung sama diri sendiri apalagi dengan gempuran ajaran agama yang menekan,” kata Myra.

Dampak trauma dan keterpinggiran yang dialami transpuan inilah jadi alasan kuat kenapa kata Myra penerimaan diri dari orang tua kepada transpuan tak boleh dikompromikan lagi. Orang tua tak cuma punya PR besar untuk memahami, tetapi juga menerima dan beradaptasi.

Salah satu senjata ampuh dari tiga proses ini adalah lewat dialog. Jika dialog dalam ruang formal sekiranya sulit dilakukan, maka ruang-ruang kreatif seperti lewat film bisa dilakukan. Nia Dinata bilang film sebagai medium membiasakan manusia untuk menerima perbedaan bahwa perbedaan itu enggak salah.

Who are we to judge film, it has the most power to open people’s mind karena memang kehidupan itu beragam. Kita tidak bisa out of touch dan menutup mata untuk mengenali cerita-cerita yang tidak pernah terangkat sebelumnya,” kata Nia pada Magdalene.

Saat manusia terpapar sesuatu di luar normalitasnya, segala pertanyaan akan hadir dalam benaknya. Di sinilah film kemudian berfungsi jadi pemantik dialog dan Anggun tau persis bagaimana cara memaksimalkan lewat forum keluarga bertajuk Rumah Dialog.

Lewat Rumah Dialog sengaja mengumpulkan transpuan dan keluarganya terutama orang tua untuk bersama-sama menonton Balek ke Jambi. Ia berharap dari menonton film yang menggambarkan kemiripan perjuangan yang dialami para transpuan, maka dialog pun akan tercipta secara alami.

Baca Juga: Semua Transgender Berhak Hidup Sehat dan Bahagia

“Aku memang ingin film ini menjadi pemantik. Aku juga berharap ini jadi langkah awal untuk terjalinnya silaturahmi selanjutnya antara orang tua yang punya anak transpuan. Selama ini sulitnya penerimaan dari orang tua kan juga datang dari tidak adanya kesamaan pengalaman dan potensi dihakimi.  Orang tua enggak tau mau cerita ke siapa. Kalau saling kenal gini sesama orang tua bisa saling menguatkan juga,” tutur Anggun.

Rencananya Rumah Dialog akan diadakan di berbagai daerah di Indonesia. Anggun sendiri punya ambisi untuk membawanya ke komunitas-komunitas kecil di kabupaten dan tidak terfokus di Jawa saja. Ambisinya ini tentunya punya tujuan mulia. Ia pingin Ruang Dialog bisa menginspirasi dan memberikan dukungan ke lebih banyak transpuan dan keluarga mereka.

*Untuk alasan keamanan dan privasi, sebagian narasumber dalam liputan ini menggunakan nama samaran.



#waveforequality


Avatar
About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *