Apa Pun Sakitnya, (Bukan) Ruqyah Jawabannya
Ruqyah hadir seiring peningkatan fenomena hijrah, dianggap sebagai obat segala obat untuk gangguan mental dan dijadikan terapi konversi.
Bangunan putih bertingkat dua dalam kompleks sebuah masjid besar di tepi jalan raya di Pasar Minggu, Jakarta Selatan, itu bukan klinik biasa. Papan nama di depannya bertuliskan BRC – Bekam Ruqyah Center, yang artinya bahwa klinik itu menawarkan layanan pijat bekam dan pengobatan alternatif ala Islam, ruqyah.
Siang itu awal Agustus, rasa penasaran membawa saya ke tempat itu bersama dengan dua teman saya. Saya ingin mencoba ruqyah setelah melihat acara “Siraman Qalbu” di MNC TV, sebuah tayangan favorit ibu saya yang menampilkan metode “pengobatan” ruqyah yang biasanya diakhiri dengan pasien yang kesurupan lalu pingsan.
Ruqyah, metode pengobatan alternatif dengan cara membacakan ayat-ayat suci Alquran pada pasien, belakangan seperti sangat populer dan digunakan untuk berbagai “penyakit”, mulai dari kemasukan jin dan kecanduan narkotika sampai konversi LGBT (lesbian, gay, biseksual, transgender).
Saya sendiri sering disarankan oleh ibu saya untuk di-ruqyah karena dianggap pemberontak. Setelah sekian kali menolak, akhirnya saya memutuskan untuk mencobanya. Saat masuk ke BRC, saya terkejut mendapatinya begitu bersih layaknya klinik medis. Bernuansa hijau muda, klinik itu berisi deretan kamar praktik berikut kursi-kursi tempat pasien menunggu giliran. Sebagian yang besar bapak-bapak setengah baya, kelihatannya lebih banyak untuk menjalani bekam. Di dinding berjajar pigura berisi sertifikat lulus uji kompetensi bekam.
Saya datang bersama dua teman saya, salah satunya ikut ke dalam ruangan praktik untuk berpura-pura menjadi seorang paman. Ruangannya sangat sederhana, hanya ada meja, dan tiga kursi. Seorang terapis perempuan berusia 20an kemudian duduk di depan saya. Berjilbab merah panjang, ia memegang pulpen dan buku catatan di tangan, siap menuliskan keluhan dan kondisi saya.
“Mbak, keluhannya apa? Ayo diceritakan saja,” tanya perempuan itu dengan ramah dan halus.
“Begini, Mbak, keponakan saya ini pembangkang banget. Orang tuanya sudah angkat tangan. Aduh, saya juga kewalahan ngatur dia. Dia ketahuan suka bawa teman perempuan ke kamar. Lalu dia juga terobsesi banget sama K-Pop K-pop-an,” kata teman yang mendampingi saya.
Pandai juga aktingnya, intonasi suaranya dibuat lebih tinggi dan bernada kesal. Saya setengah mati menahan tawa, tapi ditahan.
“Jangan takut, Mbak, ruqyah itu bukan hanya seperti yang terlihat di televisi saja. Ruqyah dapat membantu untuk membuat Mbak tenang, juga membantu kesehatan mental,” ujar terapis tersebut, berusaha menenangkan saya yang mungkin terlihat sedikit tegang.
“Mbak sering mimpi buruk atau susah tidur?” ia kembali bertanya. Saya hanya menggeleng.
“Bagaimana komunikasi dengan orang tua?”
“Mereka enggak mengerti apa yang saya mau,” jawab saya singkat. Lagi-lagi mbak terapis tersenyum.
Dengan nada berhati-hati, dia mengingatkan saya untuk tidak selalu menempatkan diri dalam posisi korban, karena apa yang dilakukan oleh orang tua saya semata-mata untuk kebaikan diri saya.
Baca juga: Gerakan Hijrah Semakin ‘Ngepop’
“Salat lima waktunya jangan dilupakan, Mbak. Ini akan kami bantu (dengan ruqyah), Insya Allah bisa lebih baik. Dan saya sarankan, kalau mengidolakan sesuatu jangan terlalu fanatik, apalagi K-Pop. ‘Kan masih ada figur yang lebih baik dari mereka, contohnya Nabi Muhammad SAW, lalu ada juga Al Fatih, dia itu di usia 20an sudah menjadi panglima perang loh, lebih keren, ‘kan,” ujarnya dengan bersemangat.
Saya hanya mengangguk-angguk. Setelah berbincang sekitar 30 menit, teman saya diminta untuk keluar dari ruangan karena ruqyah akan segera dimulai.
Jantung saya mulai berdegup tidak karuan. Jangan-jangan ibu saya benar, bahwa memang ada jin di tubuh saya sehingga saya suka memberontak. Mbak terapis pindah ke belakang kursi saya lalu mulai membacakan beberapa surat Alquran yang akrab di telinga saya, yang kebetulan sempat sekolah di madrasah. Sesekali sambil tetap membaca dia mengurut pelan pundak saya, ia bertanya kondisi saya.
“Ada rasa mual tidak?” Saya jawab tidak, dan ia kembali meneruskan bacaan surat dari Alquran. Sepuluh menit kemudian dia bertanya lagi, “Ada rasa pusing? Atau pegal-pegal?” Saya kembali menggeleng. Yang saya rasakan adalah rasa kantuk luar biasa, karena memang kurang tidur.
Setelah proses selesai, saya membayar Rp120.000 di kasir dan diberi satu botol kecil kapsul obat herbal.
Ruqyah bangkit karena fenomena hijrah
Dalam Wikipedia, ruqyah atau rukiah disebutkan sebagai “pengobatan hati dengan membaca zikir atau doa seperti yang dilakukan Nabi Muhammad,” dan berfungsi untuk mengusir pengaruh jahat dari hati. Ruqyah, yang dalam bahasa Inggris disebut exorcism, adalah “metode penyembuhan dengan cara membacakan sesuatu pada orang yang sakit akibat sengatan hewan, bisa, sihir, rasa sakit, gila, kerasukan dan gangguan jin”.
Menurut pengurus Lembaga Dakwah Nahdhatul Ulama (NU) Cirebon, Mamang Haerudin, masyarakat Indonesia sudah akrab dengan ruqyah sejak lama, dan ritual itu bahkan ada dalam tradisi NU dan Muhammadiyah. Namun karena peningkatan konservatisme dan radikalisme agama belakangan ini, sejumlah kelompok menggunakan ruqyah untuk menarik orang-orang datang ke pengajian-pengajian mereka.
“Ruqyah itu kan sebetulnya tidak viral sebelumnya. Dari pengalaman dan pengamatan saya, ruqyah dipopulerkan oleh kelompok-kelompok hijrah ini, karena waktu itu akhir tahun 2018 saya pernah bergabung dengan kelompok-kelompok konservatif, dari sini mereka menggaet jamaah,” ujar Mamang kepada Magdalene lewat telepon.
Namun, menurutnya, bagi sejumlah kelompok hijrah ini, ruqyah tidak hanya dipakai untuk menggaet umat, melainkan juga diyakini sebagai obat segala obat.
“Ada nih yang ekstrem banget, yang di kelompok hijrah-hijrah ini. Mereka menolak pengobatan medis dan bergantung banget ke pengobatan rukyah. Ini yang tidak boleh,” ujarnya.
Yang mengkhawatirkan bagi saya adalah karena ruqyah sering dipakai untuk mengobati penyakit mental. Hal ini dialami oleh beberapa teman saya, termasuk “Kiki”. Perempuan 25 tahun itu memiliki kecenderungan depresi, dan kemudian diperparah oleh stres saat menyusun skripsi.
Belum ada penelitian empiris mengenai apakah metode alternatif seperti ruqyah memang membantu mengatasi gangguan kesehatan mental. Metode alternatif seperti ini akan berbahaya jika hanya menjadi satu-satunya pengobatan yang dijalankan.
Kiki sudah meminta keluarganya untuk membawa dia ke psikolog atau psikiater, namun orang tuanya lebih percaya bahwa anaknya terkena guna-guna akibat kurang religius. Berbagai terapi ruqyah telah dia jalani, mulai yang mandiri di rumah dan ruqyah massal di masjid, hingga diinapkan di sebuah pesantren.
“Waktu di pesantren itu sebenarnya saya enggak mau, tapi saya akhirnya setuju, untuk membuktikan kalau apa yang saya alami bukan karena hal gaib,” ujar Kiki.
Di pesantren tersebut, Kiki disuruh berzikir tiap malam sampai ribuan kali, namun ia tidak merasakan perubahan apa pun.
“Bersyukurnya setelah itu keluarga saya mulai membawa saya ke psikolog. Eh, ya kok setelah itu keluarga saya kembali ke ruqyah,” ujarnya sambil tersenyum pahit.
Benny Prawira, suicidolog Into The Light, sebuah organisasi yang berfokus pada pencegahan bunuh diri di Indonesia, mengatakan bahwa praktik pengobatan alternatif seperti ruqyah sebetulnya diakui oleh negara.
Hal ini diatur dalam Peraturan Kementerian Kesehatan (Permenkes) Kesehatan Nomor 61 Tahun 2016 tentang Pelayanan Kesehatan Tradisional Empiris, dan Permenkes Nomor 37 Tahun 2017 tentang Pelayanan Kesehatan Tradisional Integrasi. Namun, menurut Benny perlu ada kajian lebih lanjut dan mendalam ketika praktik ini digunakan untuk kasus kesehatan mental.
“Selama ini kita kan hanya mendengar dari satu atau dua orang saja, namun belum ada kajian lebih lanjut apakah ini memang efektif atau tidak. Masih bisa dipertanyakan sekali. Jadi kalau pun memang ingin dilakukan, ya ruqyah sebagai pelengkap saja,” ujarnya.
Benny juga mengatakan, kecenderungan masyarakat untuk mengobati gangguan kesehatan mental lewat cara-cara alternatif keagamaan adalah karena sistem kepercayaan yang sangat kuat dalam masyarakat. Ditambah lagi literasi kesehatan jiwa dalam masyarakat pun masih kurang dan banyaknya stigma terhadap penyakit mental.
“Ketika orang memiliki sistem kepercayaan seperti ini, mereka cenderung mencari pengobatan yang satu nilai dengan mereka, dan pada akhirnya mereka merasa lebih puas,” kata Benny.
Senada dengan Benny, psikiater Tika Prasetiawati dari Rumah Sakit Akademik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, mengatakan ia belum menemukan penelitian empiris mengenai apakah metode alternatif seperti ruqyah memang membantu mengatasi gangguan kesehatan mental.
“Masalah kesehatan jiwa itu faktornya beragam, mulai dari bio, psiko, sosio, dan spiritual. Kita perlu menanganinya secara komprehensif, dan sangat perlu penilaian dari tenaga medis, karena walaupun diagnosisnya sama, misalnya depresi atau skizofrenia, tetapi permasalahan dan tingkat keparahan bisa berbeda. Sehingga setiap kasus perlu ada penanganan khusus,” ujar Tika kepada Magdalene melalui telepon.
Tika juga mengatakan metode alternatif seperti ini akan berbahaya jika hanya menjadi satu-satunya pengobatan yang dijalankan.
“Salah satu pasien saya pernah bertanya, boleh enggak dia berobat terapi ruqyah, karena dia merasa ada ketempelan. Saya bilang boleh, tetapi yang medis jangan ditinggalkan, obat yang dari saya dihabiskan,” ujarnya.
Akibat informasi dan edukasi masyarakat yang minim serta stigma terkait dengan gangguan kesehatan mental, Benny banyak menemukan orang-orang yang terlambat mendapatkan pertolongan medis, karena sejak awal tidak menempuh jalur medis dan mengandalkan terapi seperti ruqyah.
“Banyak yang terlambat mendapatkan pertolongan dan membuat kesehatan mentalnya menjadi lebih buruk. Ketika dibawa ke psikiater sudah parah,” ujarnya.
Baca juga: Gerakan Indonesia Tanpa Pacaran: Menikah Solusi Paling Baik, Jangan Dipersulit
Ruqyah dan terapi konversi
Selain untuk penyakit jiwa, ruqyah juga dijadikan alat terapi konversi, untuk membuat orang-orang LGBT menjadi heteroseksual.
Padahal sejak 1987, homoseksualitas sudah dikeluarkan dari Diagnostic and Statical Manual of Mental Health Disorders (DSM) oleh Asosiasi Psikiatri Amerika (APA). Badan Kesehatan Dunia (WHO) juga kemudian menghapus homoseksualitas dari daftar penyakit jiwa.
Kementerian Kesehatan Indonesia juga menghapusnya dari Pedoman Penggolongan dan Diagnosa Gangguan Kejiwaan (PPDGJ) sejak tahun 1993. Tahun lalu, WHO menghapus transgender sebagai penyakit.
Khanza Vina, ketua Sanggar Waria Remaja (SWARA), organisasi yang bergerak dalam pemberdayaan transgender remaja dan advokasi, mengatakan bahwa meningkatnya tren ruqyah untuk terapi konversi seiring dengan peningkatan kasus persekusi kelompok LGBT di Indonesia.
“Klaim-klaim ruqyah dapat menyembuhkan LGBT ini sudah muncul dari tahun 2016, ketika sedang heboh-hebohnya isu LGBT di masyarakat, dan mengakibatkan persekusi kepada kelompok LGBT,” ujar Khanza kepada Magdalene.
Dalam beberapa acara televisi mengenai ruqyah, kerap kali ustaz-ustaz yang melakukan terapi itu mengklaim ada jin perempuan yang masuk ke tubuh si pasien laki-laki yang membuat diri mereka menjadi transpuan atau gay.
Khanza mengatakan, dua orang temannya yang transpuan, “Lola” dan “Tita”, yang dipaksa melakukan ruqyah di saat mereka masih gamang dengan identitas mereka.
“Hal ini juga karena pemahaman mereka tentang edukasi gender dan seksualitas masih minim. Si Lola itu bahkan sampai memotong rambutnya sampai pendek, dan berpikiran untuk membuang payudaranya. Dalam pikirannya dia ingin tobat terus. Beruntungnya, tidak lama setelah itu mereka berdua ketemu sama aku, ”ujar Khanza.
Saat bertemu, kondisi mereka sangat memprihatinkan—linglung, ringkih, dan dibayangi depresi.
“Sebelum itu mereka tidak bisa menerima diri sendiri bahwa diri mereka transpuan. Setelah kami berikan edukasi terkait dengan gender dan seksualitas, mereka mulai menerima diri mereka sebagai transpuan dan tidak menyalahkan diri sendiri,” ujar Khanza.
Hasil riset yang sedang dilakukan oleh Benny pada mahasiswa di Jakarta sejauh ini menunjukkan, sebagian besar responden sudah mencari bantuan professional ketika ada pikiran untuk bunuh diri.
“Tetapi mereka akan lebih dulu mendatangi pemuka-pemuka agama yang dipercayai mereka, padahal dokter lebih memiliki kapasitas untuk ini,” ujar Benny.
Ia menyarankan agar pegiat isu kesehatan jiwa menggaet pemuka agama untuk memberikan kesadaran akan isu kesehatan jiwa dan memberikan tafsir-tafsir keagamaan yang lebih ramah.
“Para pemuka agama perlu mengubah cara pandang mereka. Daripada menghakimi umat bahwa mereka akan berdosa, tafsir ayat perlu ditekankan pada bagaimana dia harus bertahan hidup dan terus mencari bantuan, dan bahwa hal ini menjadi ibadah untuk dia,” ujar Benny.
Mamang dari PBNU juga setuju agar pemuka-pemuka agama menggunakan ayat-ayat yang humanis dalam menanggapi orang yang sedang mengalami gangguan kesehatan mental, dan juga mendorong mereka untuk mencari bantuan tenaga profesional.
“Saya pikir perlu ada dukungan perspektif keislaman melalui pendekatan ayat-ayat yang humanis, mencerdaskan, dan rasional, yang tidak hanya melulu membahas surga dan neraka. Saya sering menggunakan ayat-ayat humanis yang optimis, dengan ayat-ayat tersebut mereka jadi semangat lagi,” ujarnya.
Ilustrasi oleh Sarah Arifin