December 5, 2025
Environment Issues Politics & Society

RUU KUHAP Pupus Keadilan Lingkungan, Hanya Satu Kata: Lawan! 

Enggak cuma bikin kita tiba-tiba dipenjara, RUU KUHAP juga ancam penyelesaian kasus pidana lingkungan.

  • July 17, 2025
  • 5 min read
  • 1354 Views
RUU KUHAP Pupus Keadilan Lingkungan, Hanya Satu Kata: Lawan! 

Pemerintah kejar tayang merevisi Undang-Undang (UU) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Teranyar, ribuan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) dan pasal-pasal bermasalah selesai dibahas dalam dua hari, 9-10 Juli 2025. Habiburokhman, Ketua Komisi III DPR RI bilang proses penyusunan RUU KUHAP memang harus dikebut. 

“Harus segera, karena KUHAP sekarang tidak adil dan harus segera diganti dengan KUHAP yang baru,” tuturnya kepada BBC Indonesia. 

Senada dengan Habiburokhman, Wakil Menteri Hukum Edward OS Hiariej juga menekankan urgensi pembahasan RUU tersebut. Kepada media yang sama, ia mengatakan pasal-pasal dalam RUU KUHAP bersifat adil dan melibatkan berbagai masukan. Ia yakin, KUHAP baru justru akan memperkuat perlindungan hak individu dalam proses hukum. 

Namun sikap optimistis ini tak sejalan dengan suara masyarakat sipil. Dalam konferensi pers bertajuk Meaningful Manipulation RKUHAP (Rancangan Kitab Undang-Undang Harapan Palsu) yang diselenggarakan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan dan diunggah akun media sosial Indonesia Judicial Research Society (IJRS) (9/7), Matheus Nathanael dari IJRS menyampaikan masih banyak pasal problematik dalam rancangan tersebut. 

“Ini kebijakan yang tidak rasional yang harus ditolak,” ungkap Matheus. 

Salah satu sektor yang terdampak serius dari revisi ini adalah hukum lingkungan. Menurut Marsya, peneliti dari Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), KUHAP sebagai aturan dasar akan memberi dampak besar pada penegakan pidana lingkungan hidup. Jika tak diatur hati-hati, perubahan ini bisa memperparah kerusakan lingkungan dan mempersempit akses keadilan. 

Baca juga: Aksi Tolak RKUHP Diadang Polisi, Kebebasan Sipil di Ujung Tanduk 

Terbatasnya Gerak Penyidikan Lingkungan 

Salah satu dampak langsung dari revisi KUHAP adalah terbatasnya gerak penyidik lingkungan hidup. Selama ini, penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) di sektor lingkungan berperan penting dalam menindak pelanggaran dan memastikan kelestarian lingkungan dijaga. 

Namun ketentuan baru dalam RUU KUHAP justru memangkas kewenangan tersebut. Marsya menjelaskan, penyidik lingkungan kini wajib berkoordinasi dengan penyidik kepolisian (Polri), terutama saat melimpahkan berkas perkara ke penuntutan. 

“Aturan ini mempersempit kewenangan penyidik lingkungan hidup (PPNS) dengan mengharuskan mereka berkoordinasi dengan penyidik biasa (Polri), terlebih saat pelimpahan berkas ke penuntutan,” jelas Marsya. 

Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran. Menurut Hukum Online, Febby Mutiara Nelson, Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia menyebut, ketentuan dalam RUU KUHAP justru bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dalam UU itu, Polri hanya memiliki wewenang koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap PPNS, bukan mengambil alih proses penyidikan. 

“Koordinasi di sini terkait polisi khusus dan PPNS, tidak terhadap penyidik tertentu sebagaimana disebut RUU KUHAP,” terang Febby. 

Masalah lain pun muncul jika aparat Polri sendiri terlibat dalam kasus pidana lingkungan. Marsya menyebut ini berisiko menimbulkan conflict of interest dan memperlambat proses hukum. 

“Seperti banyak terjadi di kasus pembalakan liar atau konservasi. Proses penanganan bisa lambat karena ada oknum di sana.” 

Baca juga: Semua (Masih) Bisa Kena, Pasal-pasal Bermasalah dari RUU KUHAP 

Makin Parahnya Kriminalisasi Aktivis Lingkungan 

Selain membatasi penyidik sektoral, revisi KUHAP juga membuka ruang lebih luas untuk kriminalisasi terhadap aktivis lingkungan. Pasal-pasal dalam RUU KUHAP memungkinkan penetapan tersangka dilakukan lebih mudah oleh aparat. 

Di sisi lain, belum ada mekanisme perlindungan seperti Strategic Lawsuit Against Public Participation (Anti-SLAPP) yang bisa membentengi aktivis dari gugatan bermotif pembungkaman. 

“Tidak ada mekanisme Anti-SLAPP berupa pengguguran perkara sedini mungkin dalam KUHAP,” ungkap Marsya. 

Mengutip Hukum Online, Anti-SLAPP merupakan kebijakan penting bagi pembela lingkungan. Aturan ini dirancang untuk melindungi individu atau kelompok dari gugatan hukum yang diajukan hanya untuk membungkam suara publik. Biasanya, gugatan SLAPP diajukan oleh korporasi besar yang memiliki relasi kuasa tinggi. 

Karena itu, Anti-SLAPP seharusnya menyediakan jalur hukum bagi pihak tergugat untuk segera menolak atau membatalkan perkara yang bermotif represi. 

Masyarakat Adat Kian Terpinggir 

Meski kerap diklaim sebagai bentuk modernisasi hukum, revisi KUHAP justru luput mengakomodasi kebutuhan hukum kelompok rentan. Salah satu kelompok yang terdampak adalah masyarakat adat. 

Marsya menyayangkan belum adanya pengakuan eksplisit terhadap masyarakat adat dalam sistem hukum acara pidana. Padahal mereka merupakan kelompok yang kerap menjadi korban langsung dari kerusakan lingkungan akibat aktivitas korporasi besar. 

Sampai hari ini, masyarakat adat belum diakui sebagai korban atau kelompok rentan secara hukum. Padahal kehadiran mereka dalam proses peradilan sangat penting, karena mereka menyimpan pengetahuan lokal sekaligus mengalami dampak paling nyata dari kerusakan lingkungan. 

“Mereka akan semakin terpinggirkan dan sulit mendapatkan keadilan,” ungkap Marsya. 

Baca juga: Tutorial Mudah Dipenjara dengan UU KUHP, Ini Kata Ahli 

Revisi Tanpa Sensitivitas Ekologis dan Sosial 

Perubahan KUHAP semestinya bisa menjadi momentum untuk memperkuat sistem hukum yang adil, partisipatif, dan ekologis. Sayangnya, draf yang disusun cepat-cepat dan minim pelibatan publik ini justru membuka lebih banyak celah ketimpangan. 

Tidak hanya mempersulit penindakan kejahatan lingkungan, revisi KUHAP juga memperbesar kemungkinan kriminalisasi warga dan pembela lingkungan. Dampaknya, suara-suara yang selama ini memperjuangkan keadilan dan kelestarian akan semakin dibungkam oleh instrumen hukum itu sendiri. 

Dalam situasi krisis iklim yang makin nyata, hukum seharusnya berdiri di sisi yang benar—melindungi alam dan orang-orang yang berjuang untuknya. Revisi KUHAP, jika tetap dilanjutkan tanpa perbaikan menyeluruh, hanya akan menjauhkan kita dari cita-cita tersebut. 

About Author

Syifa Maulida

Syifa adalah lulusan Psikologi dan Kajian Gender UI yang punya ketertarikan pada isu gender dan kesehatan mental. Suka ngopi terutama iced coffee latte (tanpa gula).