Masyarakat Desak RUU Penghapusan Diskriminasi Demi Penanggulangan Baik HIV AIDS
perda diskriminatif rentan mempertebal stigma dan diskriminasi populasi kunci. RUU Penghapusan Diskriminasi harus cepat digolkan.
Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI), YIFoS Indonesia, Inti Muda Indonesia, dan Koalisi Nasional Kelompok Rentan Anti Diskriminasi menggelar Diskusi Hukum dan HAM (DUHAM-39) Selasa (23/07) menggelar diskusi Diskusi Hukum dan HAM (DUHAM-39). Dengan tema Urgensi RUU Penghapusan Diskriminasi sebagai Akselerasi dalam Penghapusan Perda Diskriminatif yang Menghambat Penanggulangan HIV AIDS di Indonesia diskusi ini diselenggarakan dengan tujuan untuk membahas dampak negatif Peraturan Daerah (Perda) diskriminatif serta pentingnya upaya akseleratif RUU Penghapusan Diskriminasi.
Salah satu kebijakan diskriminatif yang disoroti dalam diskusi ini adalah Peraturan Daerah Kota Bogor Nomor 10 Tahun 2021 tentang P4S. Perda tidak hanya berdampak pada konflik vertikal dan horizontal, namun juga dinilai melanggengkan praktik pembatasan hak asasi manusia termasuk hak atas kesehatan.
Pada sektor kesehatan, kebijakan ini akan bertentangan dengan komitmen pemerintah dalam merespons HIV dan menghambat akses terhadap pelayanan kesehatan bagi masyarakat, terutama populasi kunci. Populasi ini terdiri dari perempuan pekerja seks, lelaki seks dengan lelaki (LSL), transpuan, pengguna narkoba suntik (penasun), ibu hamil pasien TB, serta warga binaan pemasyarakatan (WBP), serta orang dengan yang pasangannya positif HIV.
Gina Sabrina, Sekjen Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI), menyampaikan bahwa keberadaan Perda merupakan bagian dari upaya otonomi daerah yang diberikan dari Pemerintah Pusat. Walaupun sah di mata hukum, kewenangan ini sering disalahartikan oleh Pemerintah Daerah dengan mengeluarkan peraturan-peraturan daerah yang bersifat diskriminatif.
Adapun Perda terkait HIV sering kali tersembunyi di balik Perda Ketertiban Umum, Ketentraman dan Ketertiban Sosial, atau bahkan dalam peraturan yang bertujuan untuk penanggulangan HIV. Ini misalnya terlihat dalam Perda 6/2002 Tentang Ketertiban Sosial di Kota Batam, Perda Kota Bogor Nomor 10 tahun 2021 tentang P4S, dan lainnya.
Baca juga: Emak Club, Program Pendampingan Ibu Hamil HIV Berlanjut di 5 Provinsi
Upaya penanggulangan tindakan diskriminatif menemukan jalan berliku misalnya dengan memanfaatkan kelompok rentan (populasi kunci dan ragam SOGIE-SC) dalam kontestasi politik. Karena itu, upaya ini menjadi tugas multistakeholder untuk berkolaborasi.
“Menjadi tugas bersama dalam melihat dan memantau Perda Diskriminatif yang berkaitan dengan HIV AIDS, harapannya Organisasi Masyarakat Sipil di level Provinsi dan Kabupaten/Kota dapat melakukan advokasi lanjutan hingga meninjau muatan dan implementasinya,” tuturnya.
Berbicara soal stigma dan diskriminasi, peneliti Pusat Penelitian HIV/AIDS Unika Atmajaya, Ignatius Praptoraharjo kemudian menambahkan bahwa semakin banyak atribut atau karakteristik yang dimiliki seseorang semakin besar pula potensi mereka untuk mengalami diskriminasi. Karena itu stigma dan diskriminasi juga bersifat dinamis, berubah seiring waktu dengan juga tidak selalu bersifat tetap atau konstan.
Walaupun bersifat dinamis, Ignatius menyampaikan terdapat stigma-stigma yang dapat diantisipasi (anticipated stigma) yang mengacu pada situasi di mana individu yang rentan mengalami stigma seperti Orang dengan HIV (ODHIV). Berbagai studi tentang anticipated stigma menunjukkan bahwa ketakutan terhadap kemungkinan diskriminasi berdampak signifikan pada akses layanan kesehatan dan kualitas hidup ODHIV.
Vincentius Azvian, perwakilan dari Inti Muda Indonesia; organisasi populasi kunci muda, memaparkan bahwa perda-perda diskriminatif sayangnya justru semakin mengakibatkan peningkatan diskriminasi dan stigma khususnya terhadap populasi kunci. Merespons hal ini, bersama YIFoS Indonesia dan 10 organisasi orang muda yang tergabung dalam program Indonesia Healthy Cities with PRIDE melakukan berbagai kegiatan untuk mencegah munculnya peraturan-peraturan diskriminatif di berbagai wilayah di Indonesia.
“Kami yakin bahwa RUU ini nantinya dapat mempercepat penanggulangan HIV AIDS di Indonesia,” kata Vincentius.
Saffah Salisa Azzahro’, peneliti Indonesia Judicial Research Society (IJRS), telah melakukan kajian pendahuluan terkait kondisi aturan diskriminasi dan apa yang dibutuhkan masyarakat. Menurutnya diskriminasi terjadi karena implementasi penegakan hukum di Indonesia yang buruk.
“Solusinya perbaikan penegakan hukum, misal kalau polisi nggak ada tindak lanjut, kita harus perbaiki polisinya,” tegasnya.
Baca juga: Ruang Aman hayVee, Cara Scott Alfaz Lawan Stigma ODHIV
Endang Lukitosari, Ketua Tim Kerja HIV/AIDS, Penyakit Infeksi Menular Seksual (PIMS) Direktorat P2PM kemudian menyentil peran pemerintah. Ia bilang bahwa upaya pemerintah dalam penanggulangan HIV tak boleh setengah-setengah. Ia harus didukung dalam semua aspek, utamanya dalam aspek hukum. Maka dari itu penting sekali untuk memastikan upaya advokasi dan kampanye pengetahuan yang benar, mensinkronkan secara komprehensif layanan primer, lanjutan, dan penguatan sumber daya manusia dalam penanggulangan HIV di Indonesia.
“Perlu kerja sama dalam menurunkan stigma dan diskriminasi, kalau ada perundangan yang diskriminatif di tingkat lokal perlu menjadi kerja bersama agar hal ini tidak menghambat kerja-kerja dalam penanggulangan HIV di Indonesia,” tutupnya.
Ilustrasi oleh: Karina Tungari