RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Terancam Gagal Disahkan Lagi
Organisasi perempuan mendorong pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, agar tidak harus memulai proses dari nol lagi di DPR periode selanjutanya.
Sejak ditetapkan menjadi RUU inisiatif DPR pada bulan Februari 2017, pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual belum mengalami kemajuan berarti, padahal tahun depan adalah tahun terakhir bagi para anggota DPR periode 2014-2019. Apabila RUU Penghapusan Kekerasan Seksual tidak diajukan dalam pembahasan tahun ini, RUU ini akan gagal disahkan sehingga pembahasannya harus dimulai dari nol di DPR periode selanjutnya.
Selama dua tahun terakhir Panitia Kerja (Panja) RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Komisi VIII DPR masih berkutat menggelar RDPU – yang baru berlangsung lima kali – dan belum beranjak membahas RUU tersebut bersama pemerintah.
Koordinator Bidang Advokasi PP Fatayat Nahdlatul Ulama (NU) Wahidah Syuaib mengatakan bahwa belum ada upaya serius dari partai-partai untuk menunjukkan concern terhadap kepentingan perempuan.
“Kita belajar bahwa RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG) tidak jelas nasibnya. Kalau RUU Penghapusan Kekerasan Seksual nggak selesai (pembahasannya) juga pada periode ini, bukannya tidak mungkin nasibnya akan sama dengan RUU KKG,” kata Wahidah.
“Kalau RUU ini tak selesai sebelum berakhirnya masa jabatan, kan tidak ada kelanjutan proses, dan harus mengulang lagi dari awal. Dan (pembahasannya) ini akan butuh waktu yang sangat panjang sementara itu kasus kekerasan selalu terjadi. Pengabaian perlindungan korban terus terjadi karena belum ada UU yang komprehensif,” tambahnya.
Hingga saat ini belum ada payung hukum yang mengatur secara komprehensif mengenai bentuk-bentuk kekerasan seksual, upaya pencegahannya, penanganannya yang terintegrasi, dan pemulihan korban.
Valentina Sagala, aktivis yang tergabung dalam Jaringan Kerja Prolegnas Pro–Perempuan (JKP3) menuturkan pentingnya memasukkan substansi yang berperspektif korban dalam RUU tersebut.
“Kami tidak ingin UU ini nantinya lahir dengan cepat tetapi ada ‘bolong-bolongnya.’ Substansi menjadi sangat penting karena fakta-fakta di lapangan menunjukkan bahwa perempuan korban kekerasan seksual tidak mendapakan keadilan,” katanya.
Di RUU saat ini sudah dimasukkan mengenai sembilan jenis kekerasan seksual, yaitu pelecehan seksual, perkosaan, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual dan penyiksaan seksual.
Meskipun demikian, pemerintah, dalam Daftar Isian Masalah (DIM) yang diajukannya, lebih memilih menggunakan istilah “pencabulan” daripada “pelecehan seksual”. Selain itu, dalam DIM tersebut, pemerintah memilih terminologi “persetubuhan”, dan bukan “perkosaan”.
Menanggapi hal itu, Valentina mengatakan bahwa dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), pengertian “pencabulan” hanya terbatas pada kontak fisik. Sementara itu, menurutnya, konteks perkosaan yang dirumuskan dalam pasal 285 KUHP hanya terbatas pada persetubuhan dan persenggamaan. Artinya, untuk dapat dikategorikan sebagai “perkosaan” harus ada kontak antara alat kelamin laki-laki dan perempuan. Padahal, di RUU KUHP, definisi perkosaan telah diperluas, termasuk diantaranya memasukkan suatu benda ke dalam alat kelamin perempuan.
Pemenuhan Hak-Hak Korban Kekerasan Seksual
Selain mengatur mengenai sembilan jenis kekerasan seksual, RUU ini juga mengatur hak-hak korban mulai dari penanganan, perlindungan, dan pemulihan. Sebagai konsekuensi dari pemenuhan hak-hak korban, maka diperlukan adanya perubahan hukum acara.
“Kalau kita bicara hak atas penanganan, misalnya, seharusnya ada rujukan dari penegak hukum agar korban langsung terhubung ke layanan khusus korban, mulai dari kesehatan, rumah aman sementara, dan pendamping psikososial,” kata Valentina. “Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak mengenal hal semacam itu. Yang ada (di dalamnya) hanya proses Berita Acara Pemeriksaan (BAP) di kepolisian dan kemudian diteruskan ke kejaksaan. Pemahaman tentang kondisi korban tidak terintegrasi sebagai hukum acara.”
Valentina menambahkan bahwa RUU ini memastikan agar negara benar-benar hadir agar tak ada satupun korban kekerasan seksual yang semakin menderita. Misalnya, dengan cara menyediakan layanan psikolog dan visum secara gratis. Nur Setia Alam Prawiranegara, Ketua Indonesia Feminist Lawyers Club (IFLC) menuturkan bahwa hukum yang ada saat ini tak mampu mengakomodasi hak-hak korban.
“Banyak korban korban yang tidak bisa “terwakili” oleh peraturan-peraturan itu karena rata-rata bersifat letterlijk (ditafsirkan secara harafiah/literal). RUU ini harus bisa melindungi perempuan, anak, dan kaum disabilitas. Dari sisi hukum acara, korban tak pernah terlindungi secara signifikan. Di sinilah pentingnya RUU ini disahkan menjadi UU,” ujarnya.
Selain itu, Nur juga menambahkan bahwa UU Penghapusan Kekerasan Seksual dapat menjadi pedoman bagi kerja-kerja yang dilakukan jaksa, hakim, advokat, dan polisi.
Pembahasan RUU yang Tak Menjadi Prioritas
Wahidah Syuaib mengatakan, pembahasan RUU ini tak menjadi prioritas karena berdasarkan advokasi yang dilakukannya selama ini, pandangan DPR terhadap suatu undang undang sangat tergantung pada kepentingannya.
“Pertama, dalam perspektif sebagian besar anggota DPR, bisa jadi RUU ini tidak terkait langsung dengan kepentingan elektoralnya, yakni pemenangan (pemilu). Coba (lihat) pembahasan RUU Pemilu, cepat kan dibahasnya? Apalagi tentang pembagian kursi, sistem pemilu, yang terkait langsung dengan kepentingan partai, mendapatkan prioritas lebih besar,” tuturnya.
“Kedua, dalam perspektif mereka, RUU ini juga tidak terkait dengan kepentingan kapital, bisa sumber daya atau uang. Kalau sampai anggota DPR berpendapat bahwa RUU ini tidak terkait dengan kepentingan politik elektoral, menurut saya hal itu salah besar karena memperhatikan persoalan perempuan, melindungi perempuan korban kekerasan, dan menghadirkan negara sebagai pelindung rakyat justru bagian dari investasi partai untuk mendapatkan simpati publik.”
Wahidah menambahkan bahwa seharusnya perempuan tidak hanya dijadikan retorika menjelang pemilihan umum.
“Perempuan selalu dinilai sebagai kekuatan besar menjelang pemilu. Semua parpol, siapapun yang ingin menang, selalu mengatakan bahwa perempuan adalah kelompk strategis dan elemen yang sangat penting bagi negara. Namun, hal itu jangan semata- mata menjadi retorika kampanye. Kami ingin ada komitmen anggota DPR yang telah dipilih pada pemilu yang lalu agar mengingat bahwa Anda terpilih karena tidak terlepas dari partisipasi perempuan,” ujarnya.
Baca liputan Wulan tentang kelompok pengajian yang mengkaji Islam dari perspektif kemanusiaan.