Health Lifestyle Opini

Enggak Semua Hal Bisa Diselesaikan dengan Bersyukur

Pernah enggak merasakan saat kondisi mental tak stabil, orang sekitar justru menyuruhmu salat, doa, dan bersyukur. Saya sering.

Avatar
  • June 16, 2023
  • 4 min read
  • 1306 Views
Enggak Semua Hal Bisa Diselesaikan dengan Bersyukur

“Kenapa masih cemas? Mungkin karena kamu kurang bersyukur.”

“Makanya banyak-banyak doa dan salat, biar enggak selalu gelisah.”

 

 

Familier dengan nasihat-nasihat macam itu? Buat kamu yang punya problem kesehatan mental, sebagian pasti pernah mendapat nasihat serupa. Saat kamu sedang berkeluh kesah tentang kesulitan tidur, kecemasan berlebihan, bahkan serangan panik, dan berharap tak dihakimi, tapi responsnya ternyata demikian. Bahkan tak jarang, nasihat ini keluar dari mulut orang terdekat, seperti teman atau orang tua.

Jujur, saking seringnya diberi nasihat ini, aku pernah tanya pada psikiater. Memang iya, kecemasan berlebihan bisa sembuh dengan keimanan dan mensyukuri hidup? Lantas, apakah gangguan kejiwaan hanya terjadi pada mereka yang kurang beribadah? 

Saat itu psikiater memberi jawaban yang membuatku membuka mata. Ia bilang, kalau analogi “sakit” ini kita tanyakan pada pasien yang kena penyakit fisik. Apakah penyakit diabetes berbanding lurus dengan rasa syukur? Apa hanya mereka yang kurang beribadah yang selalu kena penyakit jantung? Dari situ, aku paham, sakit mental sama halnya dengan penyakit fisik lainnya, adalah sesuatu yang diderita tanpa tebang pilih. Siapa saja bisa mengalaminya.

Pernah ada satu riset yang dilakukan oleh peneliti dari The Ohio State University, Amerika Serikat (AS), tentang rasa syukur yang selama ini seolah menjadi kebenaran di masyarakat pada umumnya. Penelitian tersebut mengungkap, ternyata intervensi rasa syukur terhadap depresi dan rasa cemas memiliki manfaat yang terbatas. 

Baca juga: 4 Hal yang Tidak Kita Bicarakan saat Membicarakan Penyakit Mental

Profesor Psikologi dari The Ohio State University Jennifer Cheavens bilang, ada dua intervensi rasa syukur (metode untuk meningkatkan pengaruh positif guna mengurangi dampak negatif dan gejala depresi) yang umumnya direkomendasikan. Pertama, latihan menulis “tiga hal baik” bagi mereka pada hari itu, kemudian menulis dan merenungkannya. Kedua, gratitude visit, yaitu menulis surat terima kasih kepada seseorang yang telah membawa perubahan, baik dalam hidup mereka dan membacakan surat itu kepada yang bersangkutan.

Penelitian dilakukan dengan menganalisis hasil dari 27 penelitian terpisah yang meminta peserta melakukan salah satu dari dua metode di atas. Penelitian yang dilakukan terhadap 3.675 peserta itu mendapati, peserta yang melakukan intervensi rasa syukur dibandingkan dengan peserta yang melakukan kegiatan lain yang tak berkaitan dengan rasa syukur, menunjukkan hasil yang tak jauh berbeda, terhadap pengurangan gejala depresi atau kecemasan.

Sebagai alternatif, Cheavens dan Cregg merekomendasikan untuk mengikuti perawatan yang telah terbukti efektif terhadap kecemasan dan depresi, seperti terapi perilaku kognitif (CBT). Temuan tersebut sekaligus menunjukkan, memberitahukan orang-orang dengan gejala depresi atau kecemasan untuk sekadar bersyukur atas hal-hal baik yang dimiliki, tidak akan membantu untuk mengurangi gejala yang mereka rasakan. 

Namun, penelitian yang dipublikasikan dalam Journal of Happiness Studies tersebut menyebutkan, hasil temuannya tidak berarti rasa terima kasih atau intervensi syukur sebagai hal yang tidak bermanfaat. 

Patahkan Stigma

Meminta orang dengan gangguan mental untuk salat, doa, dan bersyukur tapi abai terhadap pengobatan medis, dalam beberapa hal justru bisa mempersubur stigma.

Stigma negatif yang disematkan pada mereka yang mengalami gangguan kesehatan mental sebagai orang kurang ibadah memang masih memprihatinkan. Tak jarang orang yang mengalaminya enggan untuk mencari bantuan dan mendapatkan diskriminasi publik atau penghakiman.

Perilaku masyarakat kita yang minim edukasi, seolah menggambarkan betapa sulit para penyintas gangguan kesehatan mental mendapatkan “ruang yang sehat” bagi mereka untuk bertumbuh dan menjadi versi terbaik dari dirinya. Lalu berkembang menjadi pribadi yang berkualitas dan menjalani peran sosialnya dengan baik. 

Padahal kerap ditemukan pasien kesehatan mental yang menarik diri dari interaksi sosial, terlebih karena mereka sudah lelah dengan stigma yang melabeli. Mereka berusaha mencari kualitas pertemanan yang lebih baik daripada kuantitas interaksi, memilih lingkaran pertemanan yang lebih intim dan mau paham akan dirinya, karena menghindari label-label yang membatasi dirinya untuk berkembang layaknya manusia yang lain. 

Baca juga: “Sepertinya Saya Bipolar”: Bahaya Diagnosis Mandiri Gangguan Mental

Pemahaman yang salah di masyarakat, sering kali malah memperparah kondisi pasien apalagi bagi mereka yang mengalami fase depresi. Sebab, tak cuma pengaruh lingkungannya, kondisi ini bisa terjadi karena faktor biologis atau genetis. Depresi bukanlah hal yang seharusnya disepelekan, karena ini merupakan gangguan mental yang perlu ditangani dan diberikan perawatan khusus oleh profesional, alih-alih penghakiman publik.

Mungkin tiba saatnya bagi kita semua menghapus stigma yang salah tentang gangguan mental. Sudah seharusnya, kita sebagai manusia tidak terburu-buru memberi label terhadap mereka dengan dengan gangguan mental tanpa adanya pemahaman utuh. Sudah saatnya, kita membuka mata terhadap isu-isu kesehatan mental yang telah lama kita abaikan.

Dengan begitu, dunia akan sangat mungkin menjadi tempat yang ramah bagi para penyintas dan pasien gangguan mental. Karena seperti juga penyakit lainnya, kita sadar kesehatan mental adalah bagian dari kesehatan diri kita sebagai manusia. Semoga setelah ini tak ada lagi stigma bahwa penyakit mental cuma dialami oleh orang-orang yang kurang saleh, kurang iman saja.

F.F. Ferdiana adalah penulis, penyintas Borderpolar, yang aktif dalam kampanye tentang kesehatan mental.



#waveforequality


Avatar
About Author

F. F. Ferdiana

F.F. Ferdiana adalah ibu dari dua orang putri dan dua ekor kucing. Pegiat literasi yang mengawali tulisannya lewat buku anak dan buku pelajaran. Hobi membuat coretan di antologi puisi dan cerpen. Sedang menunggu novel, anak sastra pertamanya lahir.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *