Saling Puji Cantik Perempuan: Dari Validasi hingga Basa-basi
Pujian cantik yang diberikan sesama perempuan lebih kompleks dibandingkan kelihatannya. Di balik itu, ada rasa tidak percaya diri dan sungkan untuk menerima.
“Astaga, kamu cantik banget sih!”
“Ah, bisa aja, makasih yang lebih cantik!”
Sepertinya kita pernah melihat, menerima, bahkan membalas pujian dengan ucapan serupa seperti kalimat tersebut. Biasanya kalimat pujian itu diutarakan oleh sesama perempuan di Instagram, antara enggak tahu mau membalas apa, enggak enak kalau tidak memuji balik, segan menerima pujian dari perempuan yang lebih cantik, atau memang ingin memuji.
Mengutip penelitian Janie Rees-Miller, seorang akademisi di Marietta College, Ohio, berjudul “Compliments revisited: Contemporary compliments and gender” (2011), perempuan lebih suka memuji satu sama lain berdasarkan penampilannya, dibandingkan hal lain.
Sayangnya, alih-alih mengamini, kita justru membalas pujian dengan berbagai bantahan, seperti menolak dan merasa biasa saja, kurang yakin dengan pernyataan mereka, hingga mengapresiasi kerja kapster salon karena keterampilannya dalam memperbarui model rambut.
Malah seringkali, pikiran kita menciptakan banyak skenario yang mencurigai si pemberi pujian. “Tumben dia memuji gue” atau “Dia enggak salah lihat kan?” seolah tidak pantas menerima validasi orang lain.
Baca Juga: ‘Kamu Enggak Kayak Perempuan Lain’ Itu Bukan Pujian
Teman-teman perempuan saya pernah membahas perihal memuji balik seseorang yang memberikan sanjungan penampilan fisik, karena merasa sungkan jika tidak melakukannya. Entah asalnya dari mana, tapi rasa enggak enak terhadap orang lain, maupun memenuhi keinginan dalam diri, menjadi budaya di kehidupan kita.
Menurut mereka, ucapan “kamu juga cantik” atau “kamu lebih cantik” setelah mengatakan terima kasih, sifatnya sudah jadi template. Pasalnya, setiap perempuan pasti ingin kecantikannya dilihat dan dipuji orang lain. Oleh sebab itu, pujian tersebut sering digunakan untuk membuat sesama perempuan merasa lebih baik tentang dirinya.
Hal itu membuat saya berpikir, jangan-jangan ada saja perempuan yang baper karena enggak dipuji balik. Padahal, dalam konteks memberikan pujian, tidak ada suatu kewajiban untuk melakukan hal yang sama pada si pemberi, apalagi dengan menyanjung penampilan mereka lebih baik.
Sebenarnya mengucapkan terima kasih sudah cukup, tapi mengapa perempuan harus membandingkan diri, dan ujung-ujungnya menggunakan kalimat yang mencerminkan penampilan kita tidak sebaik itu?
Perempuan Cenderung Menyangkal Pujian
Sebagai perempuan, saya pun sering bertanya-tanya, apa, sih kemauan kita? Walaupun cantik itu relatif, enggak dimungkiri kalau kita pernah merasa ingin dan tersanjung saat dipuji cantik. Namun, tetap saja kita sulit menerima pujian dengan tangan lebar.
Kepada Prevention, sebuah majalah gaya hidup sehat di AS, psikiater Gail Saltz mengatakan, perempuan cenderung menghindari pujian karena disosialisasikan untuk percaya menjadi feminin artinya tidak mengistimewakan diri dan bersikap rendah hati. Saltz menambahkan, perempuan sering merasa tidak sopan, tidak nyaman, atau tidak senang untuk mengakui dan menerima pujian.
Baca Juga: Panggil Kartini Manusia Biasa Saja
Padahal, merasa berharga dan diapresiasi adalah kebutuhan manusia. Lagi pula, setiap perempuan memiliki keistimewaan dan kecantikannya masing-masing, yang seharusnya diapresiasi oleh diri sendiri.
Sementara, menurut penulis dan pakar hubungan Jane Greer, kegagalan menerima pujian malah memperlihatkan kurangnya tingkat percaya diri, bahkan insecure atau cemas.
Ketika menerima pujian, ada perasaan rendah diri yang bersembunyi di balik kesenangan, karena kita memilih membentengi diri untuk tidak percaya dan berpikir pujian itu sebuah kebohongan, serta bersifat basa-basi. Di saat tidak mengakui aspek positif itulah, baik penampilan fisik, bakat, maupun kekuatan, kita justru semakin mengurangi harga dan citra diri.
Pujian Dianggap Objektifikasi
Terlepas dari nilai positif, terdapat objektifikasi yang kurang diperhatikan dari pujian penampilan. Dalam penelitian “Complimentary weightism: The potential costs of appearance-related commentary for women’s self-objectification” (2009), psikolog Rachel M Calogero dkk., menilai pujian kecantikan ternyata salah satu bentuk objektifikasi. Ini dikarenakan pujian mengarahkan perhatian pada bagaimana tubuh kita terlihat di mata orang lain, dan mendorong kita memandang diri sebagai objek.
Secara tidak langsung kita melanggengkan sudut pandang patriarkal, yakni tubuh perempuan untuk dilihat, dinilai, dan dievaluasi, hingga mengarah pada kesehatan mental karena merasa malu terhadap tubuh, kecemasan pada penampilan, depresi, dan gangguan makan.
Baca Juga: Tak Ada yang Aneh dari Perempuan Mendukung Perempuan Lain
Meskipun demikian, dibutuhkan perubahan cara melihat pujian sebagai sebuah obrolan kecil, yang menghubungkan diri kita dengan perempuan lain. Cara ini dapat digunakan untuk membantu membangkitkan harga diri sesama perempuan, memperbaiki suasana hati, dan saling mengingatkan bahwa kita berharga.
Marcia Naomi Berger, seorang penulis dan pekerja sosial klinis, menuturkan kepada NBC News, pujian membantu kita menciptakan pandangan lebih optimis dan bahagia. Oleh karena itu, selain menyenangkan penerima pujian, pemberi pun memiliki keuntungan, yakni lebih memperhatikan dan menghargai hal-hal bersifat baik dan yang disukai dari orang-orang di sekitar.
Jadi daripada menyangkal, ucapkan saja terima kasih, hitung-hitung kita belajar menerima dan melihat diri dari sudut pandang orang lain.