Kenapa #PatiMelawan Bisa Kompak dan Besar: POV Akamsi Pati
Saya lahir di Pati, kota kecil di pesisir pantai utara (Pantura). Tak seperti Depok dengan segala hal ajaibnya, Pati nyaris tak pernah masuk radar obrolan sehari-hari. Baru pada 2024 silam, namanya mencuat karena kasus pengeroyokan bos rental mobil. Publik ramai-ramai melabelinya sebagai daerah penadah. Jujur saja, saat itu saya malu mengaku berasal dari Pati.
Namun, perasaan itu berubah kala (13/8) ribuan warga Pati turun ke jalan menuntut mundurnya Bupati Sudewo. Dari peristiwa itu, saya menyaksikan solidaritas warga Pati bekerja. Sebuah mobil pick-up penuh pisang disiapkan untuk massa aksi; ibu-ibu menyortir donasi makanan, sayur, dan buah-buahan. Dari tanah rantau, warga mengirim uang sebagai dukungan.
Untuk pertama kalinya saya merasa Pati bukan sekadar kota, tapi tanah yang menyimpan kekuatan. Peristiwa itu membawa saya pada jejak sejarah yang lebih tua.
Sebagai orang Jawa, istilah Samin tidak asing di telinga. Hanya saja dalam keluarga besar saya, Samin digambarkan sebagai masyarakat konservatif. Pelan-pelan saya menginternalisasi citra itu. Saya yang tidak paham asal muasal Samin, sempat mengira itu hanyalah julukan bagi mereka yang dianggap lyan.
Demo di Pati mengubah pemahaman saya. Riuh massa aksi ternyata terhubung dengan sejarah panjang perlawanan. Ia adalah bagian dari sejarah panjang rasa ketidakadilan di Pati.
Mengutip BBC Indonesia, peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Enkrin Asrawijaya menyebut akar pergolakan itu dapat ditarik hingga ke sosok Samin Surosentiko, petani yang lebih dari seabad lalu menggagas Saminisme.
Baca Juga: All Eyes on Pati: Rakyat Lawan Arogansi Penguasa
Mengenal Perlawanan Samin
Samin lahir pada 1859 di Desa Kediren, Kabupaten Blora. Meski tumbuh dalam keluarga aristokrat Jawa, ia peka terhadap penderitaan rakyat akibat kolonialisme. Demi hidup bersama rakyat, ia bahkan menanggalkan nama bangsawannya, Raden Kohar.
Pada masa itu, Belanda sedang mengalami krisis akibat besarnya biaya perang melawan Belgia dan Diponegoro. Demi menambal kerugian itu, rakyat kecil di sekitar hutan dipaksa membayar pajak dan ikut mblandongan—kerja paksa menebang kayu untuk kepentingan kolonial.
Mereka yang menolak tak jarang didatangi pamong desa bersama polisi Hindia Belanda, ditangkap, lalu disiksa. Ironisnya, rakyat yang sekadar mengambil kayu untuk kebutuhan hidup atau membuka lahan langsung dicap pencuri.
Di tengah penindasan itu, Samin mulai menabuh langkah perlawanan. Ia mengajak pengikutnya untuk menolak membayar pajak dan tetap memanfaatkan hutan sebagai sumber kehidupan. Baginya, pajak dan pembangunan hanya menguntungkan Belanda, bukan rakyat Jawa yang sehari-hari hidup dari tanah dan hutan.
Meski menentang kebijakan kolonial, Samin dan para pengikutnya tidak memilih jalan kekerasan. Mereka tidak tertarik merebut kekuasaan atau terlibat dalam politik formal. Mereka hanya ingin hak menentukan diri sendiri dalam sistem dan nilai yang mereka anut.
Prinsip egaliter Saminisme tercermin dari keseharian mereka. Setiap orang diperlakukan setara tanpa memandang status. Mereka menggunakan bahasa sehari-hari yang setara, berbeda dengan adat Jawa yang menerapkan hierarki tutur Jawa.
Pada 1907, pemerintah kolonial dibuat ketar-ketir oleh jumlah pengikut Samin yang mencapai sekitar 5.000 orang. Dalam upaya meredam kekuatan itu, Samin ditangkap bersama enam pengikutnya di Blora. Mereka kemudian diasingkan jauh ke Sawahlunto, Padang. Samin sendiri tutup usia di tanah pengasingannya.
Baca Juga: Setelah Pati, Warga Bone Tolak Kenaikan PBB 300%
Warisan Perlawanan Samin yang Terus Hidup
Stigma buruk tentang masyarakat Samin tak hanya diwariskan lewat cerita keluarga saya, tapi juga tersebar luas di masyarakat Jawa. Narasi itu dibentuk dan diperkuat oleh penguasa untuk melucuti makna progresif dari ajaran mereka. Seperti banyak praktik kolonialisme, pengaruh terhadap budaya dilakukan untuk menjaga dominasi kekuasaan mereka.
Menurut dosen Universitas Tidar Arif Novianto, gerakan Saminisme nyaris hilang dari wacana publik hingga Indonesia merdeka. Baru pada akhir abad ke-20, mereka menegaskan kembali identitas dengan sebutan baru: Sedulur Sikep.
Dalam Berebut Saminisme, ia menyebut pemilihan istilah ini dimaksudkan untuk menjauh dari konotasi negatif “Samin,” sekaligus mengembalikan warisan perjuangan petani yang dimarjinalkan pada era Orde Baru.
Baca Juga: Hipatia, Perempuan Ilmuwan yang Dibunuh Karena Isi Otaknya
Meski berusaha dihapuskan, nilai Saminisme masih hidup hingga hari ini. Nilai itu tampak dalam perjuangan Sedulur Sikep melawan pabrik semen di Pegunungan Kendeng. Mereka menempuh jalur hukum, hingga melakukan aksi simbolik dengan menyemen kaki di depan Istana Merdeka.
Riuh massa di Pati adalah bukti nyata, sejarah panjang perjuangan Samin belum padam. Di balik stigma yang diwariskan selama berabad-abad, tersimpan warisan perlawanan dan keberanian yang nyata.
Orang Samin adalah generasi yang tetap menjaga bumi, menegakkan keadilan, dan lantang menolak penindasan. Sebuah pengingat bahwa perjuangan itu hidup dan terus bergema dari masa ke masa.
















