July 14, 2025
History Issues People We Love

Hipatia, Perempuan Ilmuwan yang Dibunuh karena Isi Otaknya 

Hipatia adalah perempuan ahli Filsafat dan Matematika. Namun saat keberaniannya dianggap mengganggu tatanan kekuasaan Gereja, ia jadi target femisida.

  • June 27, 2025
  • 4 min read
  • 1133 Views
Hipatia, Perempuan Ilmuwan yang Dibunuh karena Isi Otaknya 

*Peringatan pemicu: Gambaran kekerasan dan femisida. 

Bayangkan ada perempuan di Alexandria abad ke-4 Masehi yang berdiri di ruang publik, mengenakan jubah akademis, dan mengajar Filsafat, Matematika, serta Kosmologi kepada semua orang dari berbagai penjuru dunia. Ia enggak cuma memecahkan soal Geometri, tetapi juga menjadi penasihat politik, pengajar spiritual, dan simbol intelektual terhormat yang melampaui batas gender. 

Namanya Hipatia. Namun, sejarah mencatatnya bukan karena kejeniusan semata, melainkan cara kematiannya yang tragis. Ia dibunuh secara brutal oleh massa yang terbakar fanatisme dan kebencian berbasis agama. 

Baca Juga: Nh. Dini: Semarang, Perempuan, dan Jejak yang Tak Luruh  

Perempuan Cendekia dari Romawi Kuno 

Hipatia lahir sekitar 355–370 M di Alexandria, Mesir—pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan Kekaisaran Romawi Timur. Ayahnya, Theon, adalah matematikawan dan astronom terkenal di Museum Alexandria. Di bawah bimbingannya, Hipatia mendapat pendidikan yang langka bagi perempuan kala itu: Matematika, Astronomi, Logika, dan Filsafat. 

Alih-alih hanya menjadi murid, Hipatia tumbuh menjadi kolaborator intelektual bagi ayahnya. Bersama, mereka memperbarui teks-teks penting seperti Elements karya Euclid dan Almagest karya Ptolemaeus. Dalam buku A History of Women Philosophers: Ancient Women Philosophers, Hipatia disebut tidak hanya menguasai isi naskah-naskah tersebut, tetapi juga menambahkan komentar kritis yang membuatnya dihargai sebagai pemikir orisinal. 

Kemampuan pedagogisnya luar biasa. Ia dikenal mampu menyederhanakan konsep-konsep kompleks agar mudah dipahami muridnya. Salah satu murid terkenalnya adalah Synesius, yang kelak menjadi uskup Kyrene, serta Orestes, prefek Alexandria. Synesius menulis surat-surat yang memuji Hipatia sebagai pengajar Filsafat dan ilmu pengetahuan yang agung, sekaligus figur moral serta spiritual. 

Ia juga mengembangkan dan mengajarkan prinsip-prinsip Neoplatonisme, cabang Filsafat yang menggabungkan spiritualitas dan logika matematis untuk memahami alam semesta. Selain itu, ia mengajarkan penggunaan astrolabe, instrumen astronomi yang digunakan pelaut selama berabad-abad untuk navigasi. 

Baca Juga: Ita Fatia Nadia: Lawan Penghapusan Sejarah Perempuan dan Pelanggaran HAM  

Terjebak dalam Konflik Kekuasaan 

Namun reputasi yang gemilang juga membawanya ke dalam konflik kekuasaan yang mematikan. Saat itu Alexandria tengah dilanda ketegangan antara otoritas Kekaisaran Romawi yang diwakili Orestes, dan Gereja Kristen yang sedang naik daun di bawah kepemimpinan Uskup Cyril. 

Hipatia, sebagai penasihat Orestes dan figur intelektual yang dihormati, dianggap menghalangi ambisi Cyril untuk memusatkan kekuasaan gereja. Ia adalah seorang pagan, tidak menikah, independen, dan sangat berpengaruh. Keberadaannya dianggap mengganggu tatanan baru berbasis otoritas gerejawi yang misoginis

Para pendukung Cyril mulai menyebarkan tuduhan bahwa Hipatia adalah penyihir. Fitnah ini menyulut amarah massa Kristen fanatik, khususnya kelompok parabalani, yang seharusnya bertugas merawat orang sakit, namun dalam praktiknya kerap digunakan sebagai alat represi. 

Baca Juga: Dari Kompos ke Komunitas: Perempuan Petani Kota Menanam Harapan di Tengah Beton  

Femisida dan Penghapusan Jejak Intelektual 

Pada Maret 415 Masehi, Hipatia diculik oleh massa yang dipimpin Peter the Lector. Ia diseret ke dalam gereja, dipukuli, dilucuti, lalu tubuhnya dikoyak menggunakan pecahan keramik. Setelah meninggal, tubuhnya dibakar. Peristiwa ini bukan hanya pembunuhan—ia adalah femisida politik, upaya sistematis membungkam perempuan cendekia. 

Sejarawan Maria Dzielska dalam Hypatia of Alexandria menekankan bahwa kematian Hipatia mencerminkan bagaimana intelektualitas perempuan kerap dianggap subversif. Setelah kematiannya, karya-karyanya dihancurkan. Ia dihapus dari sejarah resmi selama berabad-abad. 

Kisah Hipatia adalah pengingat penting pembungkaman perempuan cendekia bukan mitos masa lalu, tetapi pola yang terus diulang. Perempuan yang berani berpikir, berbicara di ruang publik, dan menantang norma patriarkal masih menghadapi pengucilan, fitnah, bahkan kekerasan. 

Nama Hipatia kini dihidupkan kembali oleh feminis dan akademisi sebagai simbol perlawanan terhadap invisibilisasi perempuan dalam sejarah ilmu pengetahuan. Namun pengakuan atas warisannya masih setengah hati. Buku pelajaran, kurikulum pendidikan, dan bahkan museum sains jarang menyebut namanya. Padahal, dalam jejak Hipatia, kita melihat bahwa perempuan bukan hanya objek sejarah, tapi juga penciptanya. 

Mengangkat kembali kisah Hipatia, bukan hanya tentang memberi ruang pada figur sejarah yang terpinggirkan, tapi juga tentang menantang struktur kekuasaan yang selama ini menentukan siapa yang layak dikenang, dan siapa yang sengaja dilupakan. 



#waveforequality
About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.