Sastrawan Perempuan Korea Beri Suara untuk Mereka yang Dibungkam
Sastrawan perempuan Korea Selatan menawarkan diri jadi penyambung lidah untuk perempuan yang selama ini kerap dibungkam.
Dua hari lalu saya baru saja membaca novel dari perempuan Korea Selatan, Sohn Won-Pyung berjudul Almond (2017). Setiap lembar dari novel ini membawa saya ke sebuah perjalanan yang tidak terduga dari karakter utama, Yunjae. Ia terlahir dengan kelainan otak Alexithymia, sehingga membuatnya sulit merasakan emosi, seperti takut atau marah. Akibatnya, Yunjae mengalami banyak kesulitan untuk berempati dan berhubungan dengan orang lain.
Yunjae sedari kecil hanya hidup bersama ibu dan neneknya. Namun, nasibnya harus berubah ketika ibu dan neneknya diserang oleh orang tidak dikenal pada suatu malam. Neneknya meninggal dan ibunya pun koma. Yunjae pun mau tidak mau harus hidup sebatang kara.
Dalam perjalanan hidupnya, ia dipertemukan dengan anak laki-laki, Gon yang dianggap banyak orang sebagai monster. Di sinilah petualangannya mencari jadi diri dan menjadi manusia pun dimulai.
Almond adalah novel yang begitu sarat dengan nilai humanisme, jauh dari narasi maskulin. Won-Pyung sendiri secara apik menarasikan tentang kompleksitas kehidupan manusia dan bagaimana di dunia modern ini rasa empati sebagai sebuah rasa yang mampu memanusiakan manusia, kerap sirna dilumat rasa tidak acuh, amarah, dan takut yang begitu besar.
Baca Juga: ‘Kim Ji-young, Born 1982’ di Tengah Gerakan #MeToo Korea Selatan
Perempuan Penulis dalam Kesusastraan Modern Korea Selatan
Won-Pyung hanya satu dari banyak perempuan penulis Korea Selatan yang mendapatkan atensi dunia karena karya mereka. Korea Selatan memang memiliki banyak perempuan penulis yang karya-karyanya mendapatkan banyak pujian dari kritikus dan penikmat novel seluruh dunia. Dari kepopuleran sastra modern Korea Selatan, timbul sebuah pertanyaan besar. Apakah kesusastraan Korea Selatan sejak lama telah dihiasi oleh banyak figur perempuan penulis atau ini jadi fenomena baru?
Dalam jurnal akademik Women and Korean Literature yang ditulis oleh Helen Koh Direktur Inisiatif Strategis di The Graduate Center, City University of New York dijelaskan, pada era Chosòn (1392-1910), perempuan diposisikan sebagai warga kelas dua. Mereka diajari berperilaku, berucap, berpenampilan yang benar dalam pandangan patriarkal dengan menekankan kesucian dan kepatuhan sebagai kebajikan perempuan yang tertinggi, sebagaimana diatur dalam “Tiga Aturan Ketaatan” dan “Tujuh Kejahatan” dalam ajaran konfusianisme.
Namun, pada akhir abad ke-19, era Chosòn telah terbukti tidak mampu menjawab kebutuhan reformasi dan modernisasi yang dipaksakan kepada negara-negara Asia Timur oleh tuntutan ekonomi dan militer Jepang. Simbol dari perubahan era ini memicu lahirnya fenomena New Woman: Perempuan yang berpendidikan dan berpikiran bebas yang tidak mematuhi kebajikan tradisional perempuan. Di sinilah kesusastraan modern Korea lahir dengan perempuan penulis mulai mendapatkan tempatnya di ranah publik yang relatif maskulin.
Lahirnya New Woman paling identik dengan munculnya perempuan penulis profesional, seperti Kim Wònju, Na Hyesòk, Kim Myòngsun, dan Kim Wònju. Kim Wònju dalam hal ini menjadi perempuan penulis Korea Selatan yang mendefinisikan frasa New Woman. Ia dianggap sebagai kritikus cum feminis paling vokal dan kontroversial dalam masanya. Ia aktif secara politik dan banyak menulis esai tentang pendidikan, mereformasi sistem keluarga patriarkal, kesetaraan gender, dan realisasi diri bagi perempuan. Ia bahkan mendirikan majalah feminis pertama Korea Selatan, Shin yòja. Majalah ini memberi para perempuan sebuah ruang untuk mempublikasikan pemikiran dan ide mereka tentang masalah sosial dan pribadi, termasuk tulisan kreatif dan karya artistik teman-teman Kim seperti, Na Hyesòk.
Dalam artikel Traditions in Modern Korean Women’s Fiction Writing (2010), Yung-Hee Kim menjelaskan, tiap dekade, kesusastraan modern Korea Selatan kemudian memiliki kekhasan tema yang diangkat oleh perempuan penulisnya. Kekhasan tema yang diangkat ini umumnya didasarkan oleh situasi sosial politik yang sedang terjadi dalam masyarakat Korea Selatan. Pada 1920 dan 1930-an misalnya, ketika ideologi sosialis komunis menjamur di Korea Selatan, perempuan penulis Korea Selatan seperti Kang Kyŏng-ae dan Paek Sin-ae fokus pada poverty literature yang menggambarkan penderitaan orang-orang di lapisan bawah masyarakat. Tujuannya untuk mengekspos ekstremitas kemiskinan orang Korea Selatan di bawah kolonialisme Jepang yang mulai intens.
Baca Juga: Rambut Pendek An San dan Feminisme yang Ditabukan Korea Selatan
Lalu pada akhir 1930 dan 1940-an, perempuan penulis Korea Selatan, termasuk Son So-hŭi dan Han Mu-suk fokus pada karya sastra yang menggambarkan keadaan sosial politik perempuan Korea Selatan yang ketika itu banyak yang dipaksa menjadi jugun ianfu oleh tentara Jepang.
Kim menjelaskan, era khas dalam kesusastraan modern Korea yang dijajaki oleh perempuan penulis muncul pada 1990-an. Saat itu, secara perlahan minat terhadap topik-topik yang berhubungan dengan penindasan politik, kelas buruh, dan konflik sosial budaya mulai memudar. Keberhasilan gerakan demokratisasi sangat mengurangi relevansi dan tuntutan akan tema-tema tersebut. Sebagai gantinya, muncul kembali minat yang membara pada isu-isu feminis dan gender. Hasilnya, karya-karya pionir dalam penulisan perempuan digali dan ditemukan lagi dan buku-buku penelitiannya tersedia secara luas di Korea untuk para spesialis Kajian Perempuan dan Sastra Korea.
Gelombang Baru Perempuan Penulis Korea Selatan
Kim Ji-Young, Lahir Tahun 1982 (2016) adalah novel yang memantik gerakan #MeToo di Korea Selatan. Novel ini telah terjual lebih dari satu juta kopi di Korea Selatan dan mendapatkan banyak ulasan positif dari banyak orang di belahan dunia lain setelah novel ini diterjemahkan ke berbagai bahasa asing. di Dalam wawancaranya dengan The Guardian (2020), Cho Nam-ju, penulis mengatakan, ia ingin menulis tentang pengalaman perempuan sehari-hari yang sebenarnya lumrah ditemui tetapi sampai sekarang belum mendapatkan atensi cukup dari masyarakat.
“Saya ingin berbicara tentang kekerasan dan diskriminasi yang tidak terlihat dan tidak jelas, yang sering dianggap sepele, yang sulit untuk diangkat atau bahkan diakui oleh perempuan sendiri,” tuturnya.
Sementara itu, kepada Koreantimes, Seo Hyo-in, penyair dan editor buku menjelaskan bagaimana Korea Selatan sedang terjadi gelombang baru perempuan penulis yang mencerminkan lonjakan minat dalam narasi perempuan di dunia kesusastraan modern.
Baca Juga: 6 Rekomendasi Novel Feminisme Terbaru
Sejak 2005 hingga sekarang, terdapat banyak perempuan penulis yang menerbitkan karya-karya yang menekankan pada narasi atau suara perempuan di tengah masyarakat Korea Selatan sebagai bagian dari perlawanan atas tantangan zaman. Tantangan zaman ini mengacu pada kondisi masyarakat Korea Selatan semakin hari kian memperlihatkan sisi misoginisnya dengan gelombang anti-feminisme yang semakin kuat.
Dalam karya Shin Kyung-sook berjudul Please Look After My Mom (2009), novel selain Kim Ji-Young, Lahir Tahun 1982 yang terjual lebih dari 1 juta kopi di Korea Selatan, ia misalnya menceritakan menceritakan kisah migrasi pedesaan ke perkotaan Korea dan struktur keluarga patriarki, patrilineal yang disajikan melalui suara dari seorang perempuan yang telah menjadi ibu. Dalam perjalanannya, pembaca akan dihadapkan dengan sebuah pertanyaan mendasar, “Apa itu ‘ibu’?”, “Apa itu perempuan?”, dan “Apa arti eksistensi mereka di dunia?”
Pertanyaan-pertanyaan yang lekat sekali dengan generasi baru wacana feminis di paruh kedua abad kedua puluh.
Dikutip dalam The Washington Post, karya terkenal The Vegetarian (2007), Han Kang mampu menaikan isu feminisme yang lekat dengan gerakan ekofeminisme ke khalayak luas lewat karyanya tersebut. Kang menceritakan seorang ibu rumah tangga yang keputusannya untuk berhenti makan daging setelah mimpi buruknya. Melalui novel ini, Kang secara implisit berpendapat vegetarianisme sebagai pilihan feminis dan bagian dari pemberontakan melawan konformitas dan patriarki.
Selain itu ada karya paling anyar yang mendapatkan atensi publik adalah tulisan dari Frances Cha, If I Had a Face (2020). Novel ini mengikuti kisah perempuan muda kelas pekerja yang tinggal di sebuah blok flat. Melalui kisahnya Cha membedah hierarki kelas di Seoul dan mengeksplorasi isu ketidaksetaraan gender melalui standar kecantikan konyol yang dibebankan kepada perempuan, dan pilihan terbatas yang dimiliki perempuan muda di negeri gingseng ini. Ada Womna yang sedang hamil dan dipaksa memilih antara anak atau karirnya, Ara, penata rambut yang memutuskan untuk operasi plastik sebagai satu-satunya cara agar ia bisa “naik kelas”, atau bagaimana Kyuri, yang bertahan hidup dengan cara mencari nafkah dari klien laki-lakinya.
Dari karya-karya perempuan penulis Korea Selatan tersebut, dapat dilihat bagaimana generasi baru perempuan penulis Korea Selatan melakukan sebuah gerakan pembebasan perempuan. Mereka mencoba membongkar patriarki dengan memfokuskan karya mereka pada isu-isu feminisme dan gender yang disampaikan melalui pengalaman karakter perempuan mereka secara sederhana dan membumi. Kritik mereka terhadap masyarakat yang tidak adil dan pemisahan peran gender di Korea Selatan kontemporer mampu membuat mereka bekerja sama untuk mendorong perubahan.
Popularitas mereka di dunia melalui karya mereka yang diterjemahkan dalam berbagai bahasa juga menunjukkan bahwa tema-tema ini tidak unik di Korea Selatan, tetapi beresonansi dengan banyak perempuan di berbagai belahan dunia. Mereka menawarkan bantuan, sekaligus medium bagi perempuan untuk bersuara. Pun, membantu kita melarikan diri dari labirin kebencian terhadap perempuan demi membangun solidaritas atas perempuan.