Satu Dekade Mengikis Patriarki: Refleksi 10 Tahun Magdalene
Perlahan-lahan dan bersama-sama kami mengikis patriarki, dengan tujuan jangka panjang untuk mengakhirinya.
Bulan September 10 tahun lalu, sebuah situs berbahasa Inggris yang bernamakan seorang tokoh perempuan biblikal muncul. Konten-kontennya, saat itu, jarang ditemukan di platform lain di Indonesia.
Jika pembaca mengunjungi Magdalene.co, mereka bisa menemukan berbagai esai personal. Misalnya, seperti yang ditulis seorang perempuan mempertanyakan kenapa orang berasumsi dia punya waktu banyak cuma karena memilih childfree. Sampai-sampai orang-orang itu merasa sang perempuan perlu diberikan pekerjaan lebih banyak dibanding orang-orang yang punya anak.
Pembaca bisa mengakses berbagai wawancara menarik, salah satunya dengan seorang ulama feminis yang bicara blak-blakan tentang vagina lewat lensa agama yang inklusif. Mereka juga bisa mendapati cerita dengan sudut pandang yang masih langka di media massa Indonesia saat itu: pasangan gay membesarkan anak mereka di masyarakat yang masih heteronormatif; seorang perempuan yang menceritakan upayanya yang gagal menentang stereotip lesbian.
Baca juga: Our Lives as Start-up Editors
Ketika banyak media Indonesia bahkan belum menggunakan istilah “cat call”, Magdalene telah mengupas berbagai bentuk kekerasan berbasis gender. Memperlihatkan bahwa dunia masih belum aman untuk kebanyakan perempuan.
Tergantung posisi mereka dalam spektrum nilai sosial, pembaca bisa jadi geleng-geleng kepala, tertawa dengan senang, atau bahkan merasa tervalidasi. Memang efek ini yang kami harapkan ketika Magdalene dikonsepkan oleh tiga orang founders-nya, termasuk saya.
Saat itu kami berintensi untuk menciptakan sebuah media daring yang merefleksikan keberagaman pengalaman dan pandangan keperempuanan. Sebagai pembanding: pada bulan yang sama, sampul edisi UK dan US sebuah majalah perempuan terkemuka dunia berisikan headline seperti: “Inside His Mind: 700 Men Talk Sex”; “‘I Love My Body’, One Women’s Journey from Size 32 to size 12”; dan “263 Hot Looks and Sexy Hair”. Satu artikel bahkan membingkai kasus femisida atlet Afrika Selatan Oscar Pistorius sebagai “Love Story That Ended in Tragedy”.
Lewat Magdalene, kami ingin menciptakan ruang aman dan mengamplifikasi suara perempuan, komunitas queer, dan kelompok masyarakat lainnya yang selama ini tidak terlihat, tidak terdengar atau terepresentasikan secara buruk di media mainstream yang masih berperspektif maskulin. Kami juga mempertanyakan dan mendekonstruksi norma dan nilai-nilai yang terus melanggengkan patriarki.
Namun, jika saya ditanya saat itu, bagaimana Magdalene 10 tahun ke depan? Saya tidak akan membayangkan masih berada di sini. Saya mungkin tidak bisa berimajinasi bahwa saya memimpin sebuah tim berisikan 18 orang, menumbuhkan sebuah brand media yang berfokus pada perempuan dan berorientasi pada komunitas, dan menavigasi sebuah newsroom kecil di lanskap media yang sangat padat dan terus berubah.
Baca juga: Riset: Pemahaman Jurnalis Atas Isu Kekerasan Seksual Sangat Minim
Selama satu dekade terakhir ini, saya telah melihat terlalu banyak perusahaan media—baik independen maupun yang memiliki investor—muncul dan tenggelam (kadang lebih cepat daripada waktu yang dibutuhkan untuk mempelajari perubahan terbaru algoritma media sosial). Ini menunjukkan tantangan yang dihadapi media berita di era ketika perilaku orang dalam mengonsumsi informasi dan hiburan telah berubah banyak, sejalan dengan transformasi teknologi komunikasi digital dan media sosial yang begitu cepat.
Sepuluh tahun ini adalah sebuah perjalanan yang luar biasa bagi kami. Dan kami bisa tiba di titik ini karena dukungan dari berbagai mitra: organisasi pengembangan media, lembaga donor, organisasi sipil masyarakat, badan pemerintahan, perusahaan dan brand, dan tentunya pembaca loyal kami.
Sebuah kebanggaan bagi kami untuk mencapai milestone ini di tengah berbagai keterbatasan dan tantangan. Namun, saya juga bertanya-tanya, melihat kondisi saat ini, bagaimana bentuk dan perwajahan industri media 10 tahun ke depan, di bawah dominasi kuat konglomerasi platform digital dan algoritma mereka, ketika teknologi artificial inteligence (AI) bisa membuat pekerja media tak relevan, dan ketika semua ini berkontribusi pada masyarakat yang semakin terpolarisasi.
Baru-baru ini saya menghadiri sebuah diskusi menarik pada acara ulang tahun ke-enam The Conversation Indonesia, edisi lokal dari media nirlaba berfokus jurnalisme ilmu pengetahuan. Para panelis mendiskusikan tren kualitas demokrasi yang terus menurun di banyak negara, termasuk Indonesia, tempat kebebasan berekspresi di media, akademia, dan masyarakat sipil rentan akan tekanan dan ancaman. Menurut mereka, pemilu tahun depan tidak lebih dari sebuah ritual politik yang digunakan kaum elite untuk berebut kekuasaan. Seperti beberapa pemilu terakhir, Pemilu 2024 akan gersang dialog yang sehat dan substantif tentang isu penting.
Ketika kepemilikan media berita dikuasai oleh pemain politik dan pemegang modal, media independen memiliki peran yang sangat penting untuk menawarkan perspektif yang kritis dan menjaga agar dialog tentang isu yang penting tetap hidup. Selain itu, Indonesia membutuhkan media yang secara natural berpihak pada kelompok yang termarjinalisasi, rentan, dan kurang disuarakan.
Memang, jurnalis bukan aktivis. Namun kemunculan pemikiran dan gerakan seperti Jurnalisme Konstruktif dan Jurnalisme Solusi menunjukkan adanya kesadaran bahwa imparsialitas saja tidak cukup untuk menjadi jurnalis yang baik. Menyorot sebuah masalah saja tidak cukup. Pemikiran “bad news is good news” sudah usang di era ketika orang mengetahui sebuah peristiwa penting lewat TikTok stich video, bukan dari media berita.
Baca juga: AJI Jakarta Kecam Penyerangan Jurnalis Media Perempuan dan Kelompok Minoritas
Penghindaran berita (news avoidance) dan ketidakpercayaan terhadap jurnalisme terus meningkat, seperti yang ditunjukkan oleh survei tahunan Reuters Institute beberapa tahun belakangan ini. “Defisit harapan” telah diidentifikasi sebagai salah satu faktor yang berkontribusi terhadap news avoidance. Hal ini yang menyebabkan liputan yang mendalam dan diproduksi dengan baik tentang isu penting seperti krisis iklim atau invasi Ukraina memiliki audiens sepersekian dari konten influencer YouTuber tingkat menengah.
Media memiliki tugas sulit untuk mendapatkan perhatian di pasar informasi bernama attention economy yang sangat bising ini. Menjadi kritis saja tidak lagi cukup, kadang yang dibutuhkan untuk mendapatkan perhatian audiens adalah perasaan bahwa masih ada harapan, bahwa dunia dan masa depan tidak segelap yang dipersepsikan.
Sejak beberapa tahun terakhir Magdalene berusaha menggunakan pendekatan Jurnalisme Konstruktif. Kami mencoba mengarahkan pembaca/followers kami ke arah solusi, memberikan nuansa dan kedalaman alih-alih penjelasan simplistis tentang isu yang kompleks, dan merangkul publik untuk menjadi bagian aktif dalam proses pemberitaan. Kami melakukan ini lewat konten explainers (penjelasan), reportase berbasis data, gamifikasi liputan, esai personal, fiksi dan puisi, konten media sosial, memes, diskusi publik, buku, podcast, bahkan pertunjukan komika.
Mulai dari mempertanyakan standar kecantikan hingga menormalisasi seksualitas queer. Dari menunjukkan sisi inklusif spiritualitas, hingga memperkenalkan konsep ekofeminisme ke publik yang lebih luas. Dari mengajak orang untuk peduli akan Care Economy hingga mendorong politik representasi. Perlahan-lahan dan bersama-sama kami mengikis patriarki, dengan tujuan jangka panjang untuk mengakhirinya.
Namun kami tidak dapat melakukan ini sendiri. Jadi di bagian ini kami meminta dukungan Anda, apakah sebagai pembaca, sebagai influencer di lingkaran sosial Anda, sebagai pembuat kebijakan, pemasang iklan, investor atau seseorang dengan kapital dan niat baik. Media independen membutuhkan dukungan kalian.
Baca kami, bagi kami, berikan kami informasi seperti kami menginformasikan kalian. Investasi di kami, atau ciptakan kebijakan yang mendorong kami agar tetap tangguh dan berkembang.