Issues Politics & Society Technology

Apa Artinya Perang Threads Vs Twitter buat Nasib Jurnalis dan Jurnalisme?

Lahirnya Threads membawa diskursus tentang masa depan media sosial, nasib Twitter, dan perang Elon Vs Zuck. Di mana letak nasib jurnalisme dalam “algoritma” rumit ini?

Avatar
  • July 17, 2023
  • 7 min read
  • 1877 Views
Apa Artinya Perang Threads Vs Twitter buat Nasib Jurnalis dan Jurnalisme?

Baru lima hari dirilis, Threads sudah diunduh lebih dari 100 juta orang. Jumlah penggunduh dipamerkan Mark Zuckerberg—belakangan sering dipanggil Zuck—sebagai prestasi sejak hari pertama media sosial berbasis teks keluaran Meta ini, dirilis 5 Juli kemarin.

Angka itu memang bombastis bila dibandingkan media sosial lainnya yang pernah ada. Buat pebisnis macam Zuck, lebih dari 100 juta pengunduh adalah garansi usahanya bermasa depan cerah. Tapi, benarkah demikian?

 

 

Semua berawal saat Elon Musk membeli Twitter, Oktober 2022 lalu. Dari catatan The New York Times, Instagram mulai mengembangkan aplikasi berbasis teks dengan nama P92 atau Project 92 untuk menyaingi Twitter yang mulai kehilangan pamor baik. Diskusi itu dimulai November 2022, dan pada Januari 2023 resmi dijalankan. Konon keseriusan Meta membangun aplikasi ini sampai di tahap mengamankan endorsement dari selebriti sekelas Oprah Winfrey dan Dalai Lama.

Pada awal Juli ini, Threads sempat diunggah ke Google Play Store, tapi diturunkan kembali. Baru pada 5 Juli ia resmi dirilis di 100 negara, kecuali Uni Eropa karena masih dalam masa pengecekan sesuai regulasi perlindungan data.

Baca juga: Kenapa Pemecatan Massal VICE dan Masa Depan Buruk Jurnalisme Tak Mengejutkan?

Konon, Meta merilis Threads dalam keadaan belum seratus persen rampung, karena mengejar momen. Beberapa hari sebelumnya, Elon Musk sempat mengumumkan pembatasan jumlah tweet pada para pengguna Twitter. Keputusan itu menuai kecaman besar dan protes besar sampai #RIPTwitter jadi trending. Momen itu yang dimanfaatkan Meta, yang jelas sekali berharap para eksodus Twitter akan mengunduh aplikasi teks bikinan mereka. 

Seminggu pertama setelah dirilis, obrolan di media dan media sosial masih berkutat pada: Perbedaan fitur Threads dan Twitter, masa depan Twitter yang terancam, prediksi umur Threads yang dikhawatirkan mati muda seperti Clubhouse, dan tuntutan ke pengadilan yang dilayangkan Elon Musk pada Threads yang menjiplak Twitter. 

Orang-orang tampaknya lebih senang melihat remah-remah dari drama pertarungan dua perusahaan teknologi raksasa—dan dua orang superkaya pemiliknya—ini. Sebagai jurnalis, saya lebih tertarik melihat bagaimana pertarungan mereka di atas sana memengaruhi nasib jurnalisme kita ke depan. Tapi, memangnya ada pengaruh?

Dominasi Media Sosial di Bawah Jempol Zuck dan Model Bisnis Jurnalisme yang Terancam

Salah satu pertanyaan banyak orang di hari-hari pertama kelahiran Threads adalah: Akankah ia berumur panjang, atau hanya jadi sensasi sesaat seperti Clubhouse—yang juga dikenalkan Elon Musk?

Saat mendengar Threads sudah diunduh 50 juta orang di hari kedua setelah rilis, saya langsung yakin kalau Zuck akan bikin cara apa pun supaya kita tetap nangkring di aplikasi bikinannya. Di tahap ini, jumlah pengunduh masih jadi taruhan utama. Tahap selanjutnya, mengamankan para influencers dan pembacot atau bahasa gaulnya key opinion leaders (KOL). Itu sebabnya, kita melihat orang-orang dengan followers banyak masih mendominasi timeline Threads. Di tahap ini, mereka perlu mengamankan jumlah followers. 

Tujuannya masih sama: Engagements. Model bisnis yang dipakai Threads masih sama seperti kebanyakan media sosial. Mereka masih memakai perhatian kita (kini sering disebut attention economy) sebagai mata uang utama dalam permainan (baca: ekonomi) ini.

Di sini, pertanyaan tentang “fitur apa saja yang membedakan Threads dan Twitter?” jadi tak relevan. Dalam beberapa threads-nya, Zuck dan CEO Instagram Adam Mosseri, menjelaskan bahwa Threads masih dalam proses pengembangan. Fitur-fitur baru akan diumumkan sesuai jadwalnya. Melihat Threads akan makin mirip Twitter atau bahkan melampuinya, buat saya, hanyalah soal waktu.

Baca juga: Lagi dan Lagi, Aturan ‘Nyeleneh’ yang Dibuat Twitter Bikin Warganet Muak

Tuntutan Musk yang menuding Meta menjiplak Twitter juga drama yang kepalang gampang ditebak ujungnya. Zuck, sebagaimana mana dunia ini ketahui, punya daftar panjang riwayat menjiplak. Ide awal Facebook saja ia curi dari kawan kampusnya, dan ia menangkan di pengadilan karena ongkosnya tetap lebih murah ketimbang uang yang ia berhasil cetak lewat perusahaan itu. Belum lagi riwayat Reels yang dijiplak dari TikTok atau Instastory yang dicontek dari Snapchat.

Apakah tuntutan Musk akan menjadi akhir nasib Threads? Melihat sejarah, rasanya bukan sesumbar kalau menjawab, tidak.

Yang menarik adalah melihat posisi jurnalisme saat dominasi media sosial betul-betul di bawah jempol Zuck. Meta—kepala perusahaan yang membawahi Instagram, Facebook, Whatsapp—kini lewat Threads jadi pesaing utama Twitter, media sosial yang menurut studi Pew Research 2022 paling banyak digunakan jurnalis. Platform-nya yang berbasis teks memang sejak lama dianggap paling cocok dengan gaya berita disebar. 

Selama ini, Twitter memungkinkan berita tersebar dalam waktu sebenarnya (real time) sehingga memudahkan pekerjaan-pekerjaan jurnalistik, termasuk dalam mengumpulkan data dan melakukan verifikasi.

Dengan kehadiran Threads—sekali lagi perlu diingat, di bawah jempol Zuck—nasib jurnalisme di Twitter, dan di seluruh dunia, juga ikut jadi taruhan. Meta, beberapa tahun terakhir, telah menjauhkan diri dari industri berita dan jurnalisme. Mereka menutup tab-tab berita, mengurangi bujet untuk mendukung jurnalistik baik, dan melawan keras upaya negara-negara yang berusaha memajaki mereka untuk membiayai jurnalisme di negara tersebut.

Kata Charlie Beckett, Direktur Polis, lembaga Think Tank di London School of Economics, upaya Meta menjauh dari media ini adalah peringatan awal buat jurnalis dan jurnalisme. Harus jadi pelajaran buat para jurnalis.

“Fakta bahwa Facebook tidak peduli pada berita harusnya jadi pengalaman yang bikin kita menjejak bumi,” kata Beckett di International Journalism Festival di Perugia, Italia, seperti dikutip dari GIJN.org. “Bahkan kepedulian mereka hanya 3 persen dari lalu lintas di Facebook.”

Ketidakpedulian Threads pada industri berita dan jurnalisme makin kuat dengan pernyataan Adam Mosseri di Threads. Dia bilang, “Politik dan hard news pasti akan muncul di Threads, di level tertentu mereka juga ada di Instagram, tapi kami tidak akan melakukan apa pun untuk mendorong ke arah pasar ini.”

Menurut Mosseri, saat ini Threads hanya tertarik pada orang-orang di Instagram yang selama ini tidak suka atau berada di Twitter. Dan menjadikan Threads sebagai tempat yang lebih “tidak marah-marah” seperti Twitter.

Meski terdengar seperti bahasa promosi yang berbunga-bunga, klaim tegas Mosseri ini sebetulnya membahayakan. Dengan dominasi media sosial di bawah Meta, nasib jurnalisme, yang sekarang saja sudah di ujung tanduk (baca: di bawah ketiak oligarki), akan makin cengap-cengap ke depannya. Pasalnya, model bisnis kebanyakan media hari ini masih bersumber dari upaya “beradaptasi dengan media sosial”. Artinya, sumber pendapatan seperti iklan dan lainnya masih bergantung pada attention economy yang diterapkan perusahaan-perusahaan media sosial, seperti Meta.

Upaya-upaya untuk mendistribusikan iklan yang dimakan Google dan Meta, seperti yang dilakukan pemerintah Australia dan Kanada, pun ditentang keras oleh perusahaan-perusahaan raksasa lintas negara ini.

Keamanan Jurnalis, Jurnalisme, dan Ancaman pada Demokrasi

Selain ancaman pada model bisnis media, dominasi Meta lewat kehadiran Threads juga akan bikin hidup jurnalis makin bahaya.

Ada alasan kuat di balik ditundanya Threads terbit di Uni Eropa. Sampai saat ini, General Data Protection Regulation (GDPR) yang dibikin Uni Eropa masih aturan terkuat yang berusaha menghambat upaya perusahaan-perusahaan raksasa macam Meta, Google dan sejenisnya untuk menguasai semua aspek di hidup kita.

Bukan rahasia lagi, kalau media sosial yang kita unduh di ponsel bisa mengumpulkan semua data yang kita masukan. Termasuk data sensitif seperti informasi kesehatan, keuangan, lokasi, riwayat browsing, bahkan sampai kontak di ponsel.

Setelah diperiksa, selain aktivitas pengguna, Threads juga memiliki akses ke lokasi GPS, kamera, foto, IP address, jenis perangkat yang kita gunakan, dan sinyal perangkat termasuk sinyal bluetooth, akses Wi-Fi terdekat, suar, dan menara seluler.

Meta sendiri punya sejarah buruk dalam hal melanggar privasi pengguna. Salah satunya, pada Pemilu Pilpres Amerika Serikat 2014, mereka ketahuan mengumpulkan 87 juta data pengguna Facebook yang dilakukan Cambridge Analytica.

Tentu data-data yang dikumpulkan itu juga jadi ancaman buat para jurnalis yang masih sering didoxing, atau bahkan dapat serangan digital sampai fisik. Terutama di negara-negara yang demokrasinya terancam.

Pengungkapan kejahatan atau ketidakadilan lewat karya jurnalistik jadi makin sempit jalannya, kalau tidak boleh disebut gelap sama sekali. Lewat data yang tersinkron dan dikoleksi Meta, tentu bukan nasib jurnalis dan jurnalisme saja yang terancam. Tapi juga, kita sebagai warga sipil.



#waveforequality


Avatar
About Author

Aulia Adam

Aulia Adam adalah penulis, editor, produser yang terlibat jurnalisme sejak 2013. Ia menggemari pemikiran Ursula Kroeber Le Guin, Angela Davis, Zoe Baker, dan Intan Paramaditha.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *