#RaporMerahPemerintah: Dear Prabowo-Gibran, Ekonomi Kami Tak Tumbuh Seperti Katamu
“Alhamdulillah kita mampu menjaga pertumbuhan ekonomi masih tetap tinggi dibandingkan seluruh dunia, kita berada di lima persen,” ujar Presiden Prabowo Subianto dalam Sidang Kabinet Paripurna di Istana Negara (20/10), dikutip dari laman Presiden RI.
Namun satu tahun berlalu, klaim itu relatif patut dipertanyakan. Evaluasi yang disusun Center of Economic and Law Studies (CELIOS) menunjukkan ketimpangan tajam antara angka pertumbuhan di atas kertas dan kenyataan ekonomi rumah tangga. Laporan bertajuk Evaluasi Kinerja Satu Tahun Pemerintahan Prabowo–Gibran itu melibatkan survei masyarakat umum dan panel pakar, dan hasilnya menunjukkan bahwa kebijakan ekonomi masih jauh dari kata efektif.
Baca juga: Pertumbuhan Ekonomi Meningkat, Tapi Tak Menambah Jumlah Pekerja Perempuan
Pertumbuhan Lima Persen, Tapi Siapa yang Merasakan?
Menurut temuan CELIOS, hanya 28 persen masyarakat merasa kondisi ekonomi rumah tangganya membaik dibanding tahun lalu. Mayoritas (72 persen) menyebut situasi stagnan (45 persen) atau memburuk (27 persen). Di lapangan, daya beli yang menurun terlihat jelas, terutama di kalangan pedagang kecil dan pekerja informal.
Neni, 42 tahun, pedagang sayur di Pasar Rebo, Jakarta Timur, bercerita bahwa pelanggan kini lebih banyak berutang daripada berbelanja tunai. “Orang sekarang belanjanya hemat, yang biasa beli setengah kilo, sekarang seperempat pun mikir,” katanya kepada Magdalene (21/10).
Dengan modal harian dua juta rupiah, laba bersihnya yang dulu bisa mencapai tiga ratus ribu rupiah kini sering tak cukup menutup kebutuhan keluarga. Harga beras yang terus naik membuatnya hanya bisa membeli stok satu-dua liter per hari. “Dulu bisa beli buat seminggu, sekarang nyicil,” ujarnya.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat inflasi year on year September 2025 sebesar 2,65 persen dengan IHK 108,74. Meski terlihat moderat, angka ini tidak menggambarkan beban nyata rumah tangga berpenghasilan rendah. Direktur Eksekutif CELIOS Bhima Yudhistira menyebut, “Klaim surplus pangan pemerintah tidak nyambung dengan harga beras di pasar. Di Maluku dan Merauke, harga melonjak tajam tiga bulan terakhir. Artinya manajemen stok pangan kita belum berpihak ke konsumen.”
Selain itu, 84 persen responden menilai pajak dan pungutan pemerintah terlalu berat dibanding manfaat publik yang diterima. Sebanyak 53 persen mengatakan program ekonomi tak berdampak apa pun terhadap kehidupan mereka, bahkan 4 persen menilai justru menambah beban.
Baca juga: 5 Kebijakan yang Mempersulit Kelas Menengah di 2025
Lapangan Kerja Seret, Proyek Elitis Jalan Terus
CELIOS menemukan 50 persen publik menilai kebijakan pemerintah dalam membuka lapangan kerja “buruk” atau “sangat buruk”. Di lapangan, pemutusan hubungan kerja masih terjadi di industri manufaktur, memaksa banyak orang beralih ke sektor informal tanpa jaminan sosial.
Kekecewaan publik juga meluas ke proyek-proyek strategis nasional seperti Ibu Kota Nusantara (IKN). Survei CELIOS menunjukkan publik terbelah: 44 persen mendukung, 43 persen menolak. Proyek senilai triliunan rupiah itu dianggap boros dan elitis, terutama ketika ruang fiskal makin sempit dan minat investor belum besar.
“Kalau ruang fiskal tertekan dan proyek besar terus jalan, daerah-daerah justru kehilangan alokasi untuk pembangunan dasar,” kata Bhima kepada Magdalene (20/10). Ia menilai kebijakan efisiensi yang diterapkan pemerintah pusat justru memperlemah ekonomi daerah dan mempersempit kesempatan kerja.
Kelas menengah, yang selama ini menopang konsumsi nasional, ikut terjepit. Mereka menghadapi kenaikan pajak dan iuran tanpa kompensasi berarti. “Kelas menengah disuruh bayar pajak, tapi tidak dibantu pemerintah. Padahal mereka kelompok paling rentan turun jadi miskin baru,” ujarnya.
Baca juga: Dari Dapur ke Anggaran Negara: 30% untuk Kerja Perawatan dan Kehidupan Layak
Rapor Merah Para Menteri dan Tuntutan Publik
Dalam penilaian CELIOS, kinerja pejabat ekonomi mendapat sorotan tajam. Kepala Badan Gizi Nasional Dadan Hindayana menempati posisi terburuk dengan skor -67 akibat masalah tata kelola dan kasus keracunan massal dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG). Widiyanti Putri Wardhana, Menteri Pariwisata, mendapat skor -22 karena minim inovasi dan kurang responsif terhadap krisis ekonomi lokal.
Budiman Sudjatmiko, Kepala Badan Percepatan Pengentasan Kemiskinan (BP Taskin), juga dinilai buruk (-17) karena program lembaganya tak memiliki arah yang jelas. Di sektor energi, Bahlil Lahadalia (Menteri ESDM) mencatat skor terendah secara keseluruhan: -151 dari pakar dan -1320 dari publik. CELIOS menilai sektor ini dipenuhi konflik kepentingan dan minim terobosan. Sementara Zulkifli Hasan (Menko Bidang Pangan) mendapat skor -253 karena gagal menstabilkan harga pangan.
Secara umum, tata kelola anggaran juga dinilai negatif oleh 81 persen responden—42 persen menyebut “sangat buruk” dan 39 persen “buruk”. Temuan ini menunjukkan krisis kepercayaan terhadap manajemen fiskal pemerintah.
Dalam laporannya, CELIOS menegaskan dua sektor yang paling mendesak diperbaiki: penciptaan lapangan kerja dan perlindungan pekerja (23,3 persen), serta pengendalian harga kebutuhan pokok (22,4 persen). Selain itu, 9,7 persen publik menuntut perbaikan efektivitas bantuan sosial agar lebih tepat sasaran.
“Pertumbuhan lima persen itu tidak berarti kalau rakyat masih harus menakar beras per liter dan menunda bayar listrik,” tutup Bhima. “Pemerintah perlu berhenti menilai ekonomi dari angka, dan mulai melihatnya dari dapur rakyat.”
Satu tahun berlalu, klaim stabilitas ekonomi masih terdengar dari podium Istana. Tapi di pasar, di dapur, dan di rekening keluarga kelas menengah, pertumbuhan itu belum benar-benar hidup.
















