Saya Ingin Mencintai Laki-laki sebagai Mitra
Saya menyukai laki-laki, tapi tidak akan pernah memperlakukannya sebagai suami.
Saya mendapat gambaran bahwa saya tidak menyetujui patriarki sejak kelas sekolah dasar. Saya masih begitu ingat kejadiannya. Waktu itu, guru saya mengatakan bahwa wanita tidak bisa menjadi pemimpin karena keterbatasan otak dan fisiknya. Entah kenapa, saya terganggu mendengar omongan tersebut. Hanya pikiran bocah saya tidak cukup mampu mencerna apa yang salah dengan perkataan itu, dan bagaimana membalasnya. Saya hanya merengut tanpa mengatakan apa pun.
Pulang ke rumah, saya menceritakan apa yang dikatakan oleh guru saya. Kakak sepupu yang mendengar cerita itu, memberikan komentar, “Wah kecil-kecil sudah jadi feminis.”
Saya tidak paham maksud komentar tersebut. Saya juga tidak yakin apakah kakak sepupu saya itu mengolok-olok atau hanya sekedar memberikan komentar netral. Tapi saya memahami beberapa tahun kemudian bahwa yang tidak saya sepakati bernama patriarki. Dan saya tahu alasannya kenapa.
Baca juga: Ajarkan Anak Sejak Dini untuk Tidak Berperilaku Seksis
Tidak Benci Laki-laki
Saya dibesarkan hanya oleh seorang ibu. Saya tidak tahu bagaimana ayah saya dan bahkan tak pernah sekali pun bertemu dengannya. Ibu jarang membicarakan suaminya. Dan saya juga tidak begitu peduli (setidaknya saya tidak peduli setiap hari) mengenai bapak saya tersebut.
Namun tidak ada kebencian yang ditularkan ibu saya terhadap kaum lelaki. Laki-laki dalam perannya sebagai suami dan seorang bapak hanyalah sebuah gelas kosong bagi saya. Mereka makhluk asing yang tidak dikenal. Tapi laki-laki di luar konsep tersebut adalah kawan, pacar, atau orang-orang yang lewat dalam kehidupan ini. Dan mereka hanya manusia seperti kenalan perempuan saya yang lain.
Maka saat guru saya mengatakan bahwa laki-laki harus memimpin perempuan, saya pun menjadi bingung. Bagi saya, perempuan dan laki-laki tidak bisa dimasukkan dalam konsepsi kaku seperti itu. Mereka adalah individu dengan keunikannya masing-masing.
Saya tidak yakin alat kelamin dan hormon-hormonnya bisa menyebabkan perubahan besar yang demikian signifikan. Saya pribadi tak bakal sepakat bahwa saya lebih bodoh dan karenanya butuh pria sebagai pemimpin.
Saya menerima beasiswa sejak sekolah menengah pertama, dan saya sudah bekerja sejak sekolah menengah atas. Saya mengalahkan banyak teman laki-laki untuk mendapatkan beasiswa tersebut. Di luar itu, ada banyak perempuan lain yang punya prestasi sangat baik. Meski harus diakui bahwa representasi perempuan memang lebih rendah dalam banyak bidang pekerjaan.
Tapi berlawanan dengan pendapat guru saya yang seolah menyatakan bahwa sudah “kodratnya” perempuan dan laki-laki begitu, saya sering melihat perempuan dan laki-laki hanya berlaku sesuai pengharapan sosial masyarakat.
Bagi perempuan, mengejar karier dan menjadi pemimpin (dari unit keluarga sampai negara) adalah hal yang tidak didorong bahkan sering ditabukan. Sedangkan bagi laki-laki, ekspektasi sosial justru menuntut mereka harus meraih semua itu.
Kesetaraan dalam Hubungan
Saya membenci patriarki yang membuat manusia tak bisa memaksimalkan potensinya. Secara pribadi, kadang saya iri dengan laki-laki yang “ditekan” untuk meraih posisi pemimpin sedangkan perempuan diharapkan menyediakan jasanya. Tapi saya pun bisa mengerti tekanan yang diberikan kepada laki-laki untuk selalu menjadi lebih unggul dan akan dianggap pecundang ketika ia kalah. Mereka pun perlu pembebasan.
Saya menyukai laki-laki. Saya tertarik dengan mereka secara alamiah. Hanya, saya tidak akan memperlakukan laki-laki yang saya cintai sebagai suami. Konsep suami yang dianggap sebagai pemimpin dan dilayani bukanlah sesuatu yang menarik untuk saya.
Baca juga: Cintai Perempuan dengan Membebaskannya
Bagi saya, hidup dengan sesuatu bernama suami (dan saya sebagai istri) adalah penjara kehidupan. Saya tidak mau menjadi pelayan atas seseorang atau dipimpin seolah saya ini keledai bodoh.
Kalau saya memaksa diri menjadi pelayan, saya pasti akan meminta imbalan. Pelayanan saya menjadi pelayanan yang tidak ikhlas. Kita mendengarnya dalam ungkapan-ungkapan klasik seperti, “Ada uang, adik sayang, tak ada uang abang dibuang!” Saya tidak mau melakukan itu pada orang yang saya cintai. Tidak pernah saya begitu kepada ibu, adik, atau sahabat-sahabat saya. Jadi kenapa saya begitu terhadap pasangan saya?
Yang saya inginkan adalah saling mengisi sebagai mitra. Untuk berdiri sama derajat dan saling mencium bibir dengan hangat.