Gender & Sexuality Issues Safe Space

Seks Jelek dan Bagaimana Bilang ‘Tidak’ di Masyarakat yang Tidak Pernah Mengiyakan Seks

Pengalaman seks antara sesama lelaki jarang dibicarakan secara sehat. Sedihnya, sering kali kami harus mengalami sendiri ‘seks jelek’ supaya tahu apa artinya.

Avatar
  • November 2, 2024
  • 15 min read
  • 122 Views
Seks Jelek dan Bagaimana Bilang ‘Tidak’ di Masyarakat yang Tidak Pernah Mengiyakan Seks

Setelah lebih dari 12 tahun sejak seks perdanaku, ada beberapa hal terkait hubungan badan yang kurasa perlu kupikirkan lebih jauh dalam bentuk tulisan. 

Sedikit info di awal:

 

 

1. Tulisan ini akan menggambarkan kekerasan seksual, upaya pemerkosaan, dan homoseksualitas secara eksplisit. Jadi jika kamu tidak ingin membaca tentang hal-hal ini, mohon berhenti membaca. 

2. Tulisan ini murni didasari pengalaman pribadiku dan tidak bertujuan untuk menggambarkan pengalaman atau perasaan orang lain.

3. Aku seorang lelaki cisgender homoseksual yang hanya tertarik secara seksual dan berhubungan badan dengan sesama lelaki cisgender. Kuharap keterbatasan pengalamanku bisa dipahami dan dimaklumi oleh pembaca. 

4. Kalau kamu merasa tulisan ini tidak sesuai dengan pendapat atau pengalamanmu, maka saranku adalah: tuliskan pendapat dan pengalamanmu agar lebih banyak suara yang beragam dan representatif.

Pertama-tama, aku ingin menceritakan 4 kejadian ‘Seks Jelek’ yang pernah kualami. Label ‘Jelek’ aku sematkan karena ini pengalaman yang membuatku merasa buruk, aneh, sedih, dan perasaan-perasaan jelek lainnya. Lalu setelah itu aku akan menuliskan refleksi dan pertanyaan yang muncul dari 4 kejadian ‘Seks Jelek’ tersebut. 

Tolong untuk tidak memikirkan siapa orang-orang yang kusebutkan di cerita ini. Hal yang ingin kuceritakan bukan siapa pelakunya, tetapi apa kejadiannya dan bagaimana kejadian ini memengaruhiku. Sayangnya, tidak mungkin menceritakan kejadian-kejadian ini tanpa memberi sedikit konteks tentang siapa ‘lawan main’-ku dan bagaimana hubungan kami.

Baca juga: ‘Love in the Big City’: Cinta Platonik Antara Seorang Gadis dan Teman Gay-nya

Seks Jelek 1

2012. Umurku 20 tahun, umurnya (di profil Grindr) 28 tahun. Dia lebih tinggi (185cm), dan lebih besar (sekitar 90kg) dariku (tinggiku 178cm dan beratku saat itu sekitar 50kg). 

Hari itu adalah hari kedua kepindahanku ke sebuah kosan di Dago, Bandung. Tidak ada kelas siang, dan teman-temanku baru bisa bertemu pada sore hari. Jadi aku membuka Grindr dan mengundang dia ke kamarku.

Di Grindr aku mengatakan kalau aku bukan bottom dan dia setuju untuk tidak melakukan seks anal. Tetapi saat kami berciuman telanjang di atas kasurku, dia berusaha memasukan penisnya dengan gaya misionaris beberapa kali. Walaupun aku bilang tidak. Aku akhirnya melipat kaki dan menahan badannya dengan kedua kakiku. Dia membebankan seluruh berat tubuhnya ke kakiku, menekan dadaku dengan tangannya hingga aku tidak bisa bergerak. Dia mengancam akan teriak dan membuat seluruh kosan tahu kalau aku homoseks jika aku tidak membiarkan dia menyodomiku. Untungnya, aku bisa berpikir cepat dan berkata ‘Sana, bilang aja! Semua orang di sini temen gue, udah tahu gue homo.’ Tentu saja ini adalah kebohongan besar. Tapi untungnya gertakanku manjur. Dia melepaskan diriku dari tindihannya dan menyuruhku meloco dirinya hingga dia orgasme. Setelah itu dia pulang, dan memblokirku di Grindr. Aku tidak pernah tahu namanya.

Beberapa hari kemudian, aku baru sadar kalau itu adalah percobaan perkosaan.

Seks Jelek 2

2013. Umurku 21 tahun, umurnya sekitar 19 tahun. Kami berdua kuliah di jurusan yang sama tetapi di dua kampus yang berbeda. Aku tingkat tiga, dia tingkat satu. Kami dikenalkan oleh salah satu mantanku. 

Kami sedang berkunjung ke Yogyakarta untuk melihat salah satu acara budaya di sana. Tidak berdua saja, dengan beberapa teman kami. Aku tidak begitu ingat, tapi nampaknya pada saat itu kami pernah berhubungan badan beberapa kali sebelumnya. Terkadang penetrasi anal, lebih sering tidak. Kami berdua berbagi kasur di sebuah kamar hostel murah. Siang itu panas, dan rombongan kami memutuskan untuk tidur siang saja. Maka kami berdua masuk kamar. Aku sudah hampir tidur saat dia mulai meremas dan menggerayangi badanku. Awalnya aku menolak dengan halus. Tapi dia terus berusaha memelukku erat dan menggerayangi tubuhku dengan semakin kuat. 

Akhirnya aku mendorong dirinya hingga jatuh dari tempat tidur. Dia berbaring di lantai, menangis. Setelah kejadian itu dia berhenti berbicara padaku beberapa bulan, dan mengatakan ke teman-teman kami kalau aku menolaknya dengan jahat. 

Kami kembali berteman setelah beberapa bulan tidak bicara, dan terkadang kami berhubungan badan juga. Walaupun aku memperhatikan kalau dia punya kebiasaan membuatku merasa bersalah jika aku menolak berhubungan badan dengannya.

Pada 2017, salah satu sahabatku menuliskan di media sosial kalau orang ini mencoba memerkosanya. Sahabatku menuliskan dengan rinci apa yang terjadi, dan yang dia lakukan kurang lebih sama dengan yang terjadi padaku 5 tahun sebelumnya. Barulah saat itu aku menyadari kalau kejadian di Yogyakarta adalah percobaan pemerkosaan. 

Setelah pengumuman sahabatku di media sosial, dia memutuskan hubungan denganku dan beberapa teman kami yang juga dekat dengan penyintas. Semua media sosialku diblokir olehnya. Walaupun aku tidak pernah menghubungi atau berbicara di media sosial tentang perbuatan dia.

Baca juga: Review ‘Uncoupled’: Cerita Gay Membujang (Lagi) di Ujung 40-an

Seks Jelek 3

2020. Umur kami 29 tahun. Saat itu kami sudah berpacaran selama sekitar 3 tahun. Di hubungan kami, aku top dan dia bottom-nya. Saat itu, dia jenis orang yang menganggap seks hanya bisa dianggap seks jika ada penetrasi anal. 

Seperti banyak orang lain, lockdown dan pandemi membuatku depresi. Dalam upayanya untuk menghiburku, dia memesan sebuah kamar hotel untuk kami staycation berdua. Dia yang membayar semua biayanya. Kamar hotelnya bagus, dan aku merasa dipedulikan dan disayang. Dia mengharapkanku untuk berhubungan badan dengannya, tentu dengan penetrasi anal. Sayangnya, karena depresiku saat itu, aku bahkan tidak bisa ereksi. Hari itu aku bahkan tidak memiliki birahi. Aku hanya bisa menghisap penisnya dan menelan ejakulasinya. Setelah itu dia langsung memintaku untuk menyodominya, tapi aku mengatakan tidak bisa. Dia terlihat sedih dan kesal, dan menganggap bahwa diriku sudah tidak tertarik lagi padanya.

Setelah kejadian ini, cara pandangku padanya berubah dalam diam. Perlahan-lahan, setiap berhubungan badan, ada perasaan bahwa seks adalah tugas dan kewajiban. Jika aku tidak bisa ereksi, itu adalah kegagalan. Jika aku menolak berhubungan badan, dengan alasan apapun, aku merasa diriku jahat karena telah membuat dia merasa tidak diinginkan.

Kurang lebih setahun setelah kejadian ini, kami berpisah. Aku berhenti melakukan seks anal dan mengidentifikasi diri sebagai side (lelaki gay yang tidak melakukan seks anal). Butuh waktu lebih dari setahun bagiku untuk kembali merasa percaya diri mengidentifikasi diri sebagai top.

Seks Jelek 4

2023. Umurku 31, umurnya 26. Kami berkenalan di Grindr, atau mungkin Hornet. Dia datang ke kosanku untuk hookup. Aku jadi top, tanpa kondom. Ketika aku sudah mendekati orgasme dalam posisi misionaris, aku bertanya ‘gue boleh keluar di mana?’. Dia jawab ‘jangan di dalam.’ Saat aku akan mengeluarkan penisku dari anusnya, dia merengkuh dan menahan badanku agar aku tidak bisa melepaskan penisku. 

Aku kembali bertanya ‘Eh ini lo mau gue keluarin di luar?’, dia kembali menjawab ‘Iya, jangan di dalem… jangan di dalem’ berulang-ulang sambil menahan badanku lebih erat. Pada akhirnya aku tidak bisa menahan orgasme dan ejakulasi di dalam anusnya.

Setelah selesai, aku bertanya, ‘Kenapa lo bilang jangan keluar di dalem tapi malah nahan gue sampe gue keluar di dalem?’

Dia hanya membalas dengan tertawa, seakan aku bodoh karena tidak bisa mengerti kenapa dia melakukan hal tadi.

Tingkatan Seks Jelek, dan Pengaruhnya Untukku

Dari empat kejadian yang aku sebutkan tadi, kita bisa lihat beberapa spektrum ‘Seks Jelek’. Secara tidak sengaja, keempat seks jelek yang kusebutkan berurutan secara kronologis, tingkat kepelikan, dan kedekatannya dengan pemerkosaan.

Seks Jelek 1 kurang lebih merupakan contoh stereotipikal usaha pemerkosaan. Diriku, seorang yang lebih kecil dan muda, ditahan secara fisik dan diberi ancaman verbal oleh seseorang yang lebih tua dan besar agar mau berhubungan seks dengannya. Kami berdua tidak saling kenal, dan setelah itu tidak pernah bertemu lagi. Jika hari ini kami berpapasan, aku mungkin tidak akan mengenali dirinya. Tetapi kejadian ini cukup mengguncang pemahaman dan sudut pandangku tentang seks pada saat itu. Aku baru menyadari kalau hal yang kualami adalah upaya perkosaan setelah beberapa hari karena, waktu itu, aku tidak tahu kalau lelaki juga bisa menjadi target pemerkosaan. Di isi kepalaku 10 tahun yang lalu, yang diberi makan media massa, perkosaan hanya dapat dilakukan lelaki ke perempuan. 

Setelah Seks Jelek 1, aku dan beberapa teman membuat sistem. Setiap salah satu dari kami bertemu dengan hookup dari Grindr atau aplikasi sejenis, kami akan mengirimkan lokasi pertemuan kami. Jika diperlukan, kami akan menelepon teman yang sedang hookup sekitar 30 hingga 60 menit setelah waktu pertemuan dan pura-pura minta dijemput/berkunjung ke tempat dia. Tujuannya, agar orang yang sedang hookup memiliki alasan untuk menyelesaikan hookup-nya jika pasangannya dirasa membuat tidak nyaman. Tetapi jika hookup berjalan lancar, teman yang hookup akan mengatakan tidak bisa menjemput/dikunjungi. Sistem ini memang sangat seadanya, dan hanya berlaku di kelompok yang anggotanya hanya sekitar 5 orang. Tapi kurasa cukup banyak gunanya, terutama karena pada umur tersebut seringkali aku terlalu sungkan atau takut untuk menyudahi hookup yang sedang berjalan tanpa alasan eksternal yang jelas.

Baca juga: Obrolan Soal Kontrasepsi Tabu, Tapi Vasektomi Lebih Tabu Lagi

Seks Jelek 2 kuanggap juga bentuk upaya pemerkosaan. Walaupun tidak sestereotipikal Seks Jelek 1, tetapi Seks Jelek 2 lebih secara statistik lebih banyak terjadi. Pemerkosaan yang penyintas dan pelakunya saling kenal lebih sering terjadi. Untukku, Seks Jelek 2 juga lebih pelik. Butuh waktu cukup lama bagiku untuk menyadari kalau kejadian tersebut adalah upaya pemerkosaan karena kami pernah berhubungan badan dengan persetujuan bersama beberapa kali sebelumnya. Setelah itu, kami juga beberapa kali berhubungan badan. Kami berteman dan bergaul di lingkaran sosial yang sama. Karena itulah aku baru menyadari jika kejadian Seks Jelek 2 adalah upaya pemerkosaan ketika sahabatku angkat bicara dan menganggap kejadian serupa yang ia alami sebagai sebuah percobaan pemerkosaan.

Seks Jelek 2 membenturkanku dengan beberapa fakta tidak nyaman tentang pertemanan dan tentang diriku sendiri. Saat sahabatku maju dan angkat bicara tentang kasus yang ia alami, kelompok pertemanan kami terpecah. Tidak ada yang berani secara terang-terangan baik di media sosial atau dunia nyata untuk membela sahabatku. Termasuk aku. Karena pelaku juga bagian dari lingkaran kami, dan saat itu kebetulan aku memiliki cukup banyak utang budi pada pelaku. Sampai sekarang aku merasa malu akan ketidakberanianku saat itu. Yang beberapa dari kami, termasuk diriku, lakukan adalah menyebarkan secara lisan tentang siapa pelaku dan menyarankan agar teman dan kenalan di lingkaran kami tidak lagi berteman dengannya. Menggunakan gosip sebagai kendali dan hukuman. 

Aku juga mengalami patah hati platonis ketika melihat teman-teman kami, yang sudah kuberitahu tentang perbuatan pelaku, tetap bergaul dan mengumumkan pertemuan mereka dengan senang hati di media sosial. Walaupun aku tahu aku tidak bisa mengendalikan dengan siapa teman-temanku memilih untuk menjaga hubungan, rasanya sedih sekali melihat tidak ada keberpihakan dari mereka. Untungnya lebih banyak orang yang mengikuti saranku. Saat ini, pelaku Seks Jelek 2 sudah menarik diri dari lingkaran sosialku dan teman-temanku. Tetapi tidak ada konsekuensi riil dari perbuatannya. Hingga hari ini karir dia bagus dan jejaring profesionalnya luas. Pengalaman ini membuatku sangat ragu kalau cancel culture itu ada dan memiliki pengaruh pada hidup pelaku kekerasan seksual.

Seks Jelek 2 juga memperkenalkanku bahwa seseorang dapat menggunakan guilt-tripping dan mengungkit hubungan baikku dengannya agar bisa berhubungan badan denganku. Aku menyadari, jika aku menolak ajakannya, pelaku Seks Jelek 2 akan mengatakan kalau aku tidak mau berhubungan badan dengannya karena dia jelek, miskin, tidak keren, atau hal-hal lainnya yang merendahkan diri sendiri. Kadang aku terpengaruh juga, aku mengiyakan ajakannya karena aku tidak ingin dianggap ‘dangkal’ atau ‘teman yang buruk’ oleh orang-orang. Setelah dipikir lagi, ini adalah kebodohan yang besar, karena sebenarnya aku tidak berutang nafsu seks pada siapapun.

Seks Jelek 3 membawa topik guilt-tripping dan seks sebagai perekat hubungan ke area yang lebih pelik dan abu-abu lagi. Setelah 3 tahun bersama, aku dan mantanku tentu saling menyayangi dan peduli satu sama lain. Aku tidak ingin membuatnya merasa tidak menarik dan tidak diinginkan. Karena itulah aku tetap berusaha memuaskan nafsunya walaupun aku terlalu lelah dan depresi untuk berhubungan seks. Tetapi sayangnya mantanku menaruh begitu banyak makna dan bobot pada penetrasi anal. Dia menganggap ketidakmampuanku untuk menjadi top hari itu sebagai penolakan dan bukti hilangnya ketertarikanku padanya. Aku rasa kekecewaannya hari itu adalah sesuatu yang manusiawi, dan aku tidak menganggap kejadian hari itu sebagai kekerasan seksual. Melainkan kegagalan dua orang untuk mengerti kondisi dan keinginan satu sama lain.

Di sisiku, kejadian hari itu menggeser posisi seks dalam hubungan kami. Seks–terma penetrasi anal–yang tadinya kulakukan karena hasrat dan keinginan, sedikit demi sedikit mulai terasa menjadi tugas dan kewajiban. Aku merasa harus menjadi top yang selalu sedia setiap saat untuk menyodomi pasanganku. Hubungan badan antara dua lelaki tidak bisa dianggap seks jika tanpa penetrasi anal. Kalau aku tidak bisa ejakulasi, apalagi ereksi, berarti aku tidak sayang pada pasanganku. Itulah hal-hal yang aku mulai percayai setelah kejadian itu. Menjadi top lama-kelamaan membuatku merasa gugup dan takut. Pada akhirnya hubungan kami melemah. Aku pernah membaca di internet: ‘How much does sex decides whether a relationship is good or bad? If the sex is good, it’s only 20 percent of the relationship. But if the sex is bad, then it’s 80 percent the relationship.’ Dan aku setuju dengan kalimat-kalimat tersebut. 

Tapi kurasa bagus-jeleknya seks tidak terpaku pada seberapa tampan pasanganmu, apakah dia punya sixpack, sebesar apa penisnya, atau sesempit apa anusnya. Tetapi bagaimana dua orang–atau lebih–dapat saling berkomunikasi dan memenuhi kebutuhan badaniah satu sama lain. Aku bukan jenis orang yang menganggap seks sebagai sesuatu yang spiritual dan inggil. Seks bisa sangat berarti atau tidak berarti. Bermakna dan terkenang seumur hidup atau sesepele membuang ingus. Semua tergantung konteks hubungan antara pasangan/kawan/rekan/lawan hubungan badan dengan diriku. Dan konteks hubungan ini tidak bisa lepas dari bagaimana masyarakat kita memandang seks, apalagi seks antara dua lelaki.

Bagaimana Mengatakan ‘Tidak’ di Masyarakat yang Tidak Pernah Mengiyakan Seks?

Sejujurnya, aku belum selesai memproses kejadian Seks Jelek 4. Sampai sekarang aku bertanya-tanya. Kenapa lawan mainku mengatakan dia tidak menginginkan satu hal, tetapi di saat yang sama secara fisik memaksaku melakukan hal tersebut. Kenapa dia melarangku untuk ejakulasi di dalam anusnya, sambil menahan badanku agar aku keluar di dalam?

Saat ini tebakan utamaku adalah karena, di masyarakat kita mengatakan keinginan secara yakin bukanlah sesuatu yang sopan. Masyarakat Indonesia–setidaknya di Jawakarta—menganggap kalau secara langsung dan semangat menerima suguhan dari tuan rumah, undangan, hadian, atau hal-hal menyenangkan lainnya adalah sesuatu yang tidak sopan. Kita diharapkan untuk mengatakan tidak, menolak dengan sopan, barulah setelah ditawari beberapa kali kita boleh mengiyakan. Tetapi harus tampak dengan malu-malu dan setengah hati. Seakan-akan kita merasa bersalah karena mengiyakan. Jika sesuatu seperti suguhan makanan dari tuan rumah saja harus ditolak beberapa kali demi kesopanan, bagaimana bisa seseorang yang sopan dan tahu diri meminta untuk disemprotkan sperma di dalam rongga analnya?

Terlebih lagi, masyarakat kita hanya menerima seks vaginal heteroseksual yang dilakukan oleh pasangan yang sudah menikah secara resmi. Segala jenis seks di luar itu dianggap tabu. Apalagi seks antara dua lelaki. Mengakui diri sebagai gay akan mendatangkan diskriminasi dan kekerasan, dan seks antara dua lelaki dianggap sebagai sesuatu yang sangat kotor. Sodomi digunakan sebagai simbol kebobrokan moral dan kehancuran di berbagai karya seni dan sastra kita. Sehingga tidak heran banyak lelaki yang malu dan menyangkal kalau dia memiliki nafsu seksual kepada sesama lelaki. Rasa malu, penyangkalan, dan anggapan kalau seks adalah sesuatu yang kotor menurutku dipercayai dan diiyakan oleh banyak orang gay di Indonesia.

Efek dari penyangkalan dan rasa malu pada nafsu sesama jenis membuat banyak lelaki gay menganggap kalau mereka, sebagai orang baik-baik, hanya bisa melakukan hubungan badan sesama jenis jika ada pengaruh dari luar diri mereka. Alasan-alasan seperti ‘lagi mabuk’, ‘ditularkan teman’, atau ‘khilaf’, digunakan untuk menjaga keutuhan identitas diri oleh banyak lelaki gay: ‘Gue aslinya normal, cuma ya ketularan’, ‘Gue awalnya diajakin temen tapi abis itu ternyata suka’.

Cerita-cerita seperti itu berapa kali aku dengar dari pasangan hookup-ku. Kadang aku bertemu dengan lelaki gay yang tidak percaya kalau seseorang bisa tertarik sesama jenis tanpa mengalami paksaan dari orang lain. Hal yang sayangnya juga banyak dipercaya oleh orang-orang homofobik. Tebakanku, pasangan hookup-ku di kejadian Seks Jelek 4 tidak bisa meminta secara terbuka karena hal ini.

Saat menuliskan esai ini, aku jadi berpikir: tentu aku tidak seratus persen bebas dari penyangkalan dan rasa malu. Sebagai seseorang yang lahir, tumbuh, dan meletek di Indonesia, aku tidak kebal kepada fenomena ini. Pasti aku secara tidak sadar telah menganggap kalau konsen untuk berhubungan badan yang diberikan secara implisit atau dengan ‘Tidak mengatakan tidak’ adalah hal normal. Ketika aku menanyakan pasangan hookup-ku ‘Boleh cium?’ atau ‘Mau dimasukin?’, dan mereka tidak mengiyakan tapi juga tidak menolak, apakah pernah aku salah menebak diamnya pasanganku itu sebagai tanda setuju? Jika iya, kapan? Kenapa aku bisa salah membaca perilakunya? Dan bagaimana aku bisa menebus kesalahanku saat itu? Ini adalah pertanyaan-pertanyaan yang, menurutku, sangat tidak nyaman tetapi perlu ditanyakan ke diriku sendiri. Dan aku rasa banyak lelaki gay, terutama yang aktif berhubungan badan secara kasual, yang perlu menanyakan hal ini ke diri mereka sendiri.

Apakah Pembebasan Dimulai dari Ranjang (atau Ruang Sauna Gym)? 

Di luar hubungan antar-individu, aku percaya kalau cara komunitas gay memandang seks, konsen, nafsu, dan cara mengkomunikasikan hal-hal tersebut adalah sesuatu yang perlu dipikirkan dan didiskusikan pada tingkat komunitas. Mungkin ini stereotip, tapi aku rasa lelaki gay adalah satu-satunya bagian dari komunitas queer yang melakukan cruising di tempat umum dan hubungan badan kasual dengan orang asing pada skala massif. Sebagai komunitas, kita harus bisa lepas dari rasa bersalah dan malu pada nafsu yang kita miliki, agar kita bisa menyampaikan keinginan dan keengganan kita terkait seks dengan baik.

Di sisi lain, aku juga percaya kalau melepas diri dari rasa bersalah terhadap nafsu adalah salah satu faktor penting yang harus dicapai oleh komunitas gay di Indonesia agar dapat memperjuangkan kesetaraan dengan lebih baik. Jika kita merasa bersalah karena menyukai sesama jenis, bagaimana kita bisa merasa berhak untuk memperjuangkan kesetaraan? Aku sadar membersihkan otak dan hati dari rasa bersalah menjadi homoseksual adalah sebuah tantangan yang sulit diurai dan dicari pangkalnya. Karena opresi sistemis dari Institusi dan masyarakat Indonesia yang sangat cisheteronormatif dan homofobik, banyak dari kita yang merasa menjadi gay adalah sesuatu yang ‘salah’, ‘sakit’, ‘aneh’. Hal ini membuat banyak lelaki gay yang merasa mereka berada di pihak yang salah dan tidak berhak untuk menuntut kesetaraan. Dan karena tidak banyak yang merasa kita berhak menuntut kesetaraan dan angkat suara, masyarakat kita terus-menerus merasa homofobia adalah sesuatu yang normal dan perlu dijaga.

Walaupun demikian, aku yakin kalau keadaan ini bisa diubah. Masyarakat Indonesia pernah menerima orang-orang queer dengan terbuka, dan hal itu bisa terjadi lagi. Mungkin bukan pada generasiku, mungkin bukan pada masa hidupku. 

Jika sejarah negeri ini bisa menjadi contoh, perjuangan mencapai kesetaraan adalah sesuatu yang dilakukan terus-menerus secara lintas generasi. Aku rasa yang harus kita lakukan adalah menjaga agar perjuangan mencapai kesetaraan komunitas queer tidak berhenti di generasi kita. Mari kita berusaha saling mendukung dan membebaskan satu sama lain dari rasa bersalah dan malu menjadi gay, one hookup at a time.

Shiddiq Budiman adalah nama samaran penulis



#waveforequality


Avatar
About Author

Shiddiq Budiman

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *