Culture

‘She’s Everything, He’s Just Ken’: Film Barbie dan Pertanyaan Soal ‘Women Empowerment’

Film Barbie yang digarap Greta Gerwig bawa isu konstruksi gender, apakah Barbie ikon feminis?

Avatar
  • April 13, 2023
  • 7 min read
  • 2684 Views
‘She’s Everything, He’s Just Ken’: Film Barbie dan Pertanyaan Soal ‘Women Empowerment’

Kota pinggir pantai serba pink untuk para Barbie yang mandiri dan sukses membuat Barbieland semacam versi modernnya Themyscira, kota para pejuang Amazon dari mitologi Yunani kuno. Kalau Themyscira hanya dihuni perempuan, di Barbieland ada Ken. Tapi, Ken hanya Ken. Saat Barbie adalah seorang presiden, akademisi, pengacara bahkan putri duyung, pekerjaan utama Ken adalah menjadi tampan, menawan, dan sedikit dangkal. Mungkin bisa dibilang aksesoris semata untuk mendampingi Barbie, sementara Barbie runs the world.

She’s everything and he’s just Ken.

 

 

Slogan dari poster film Barbie (2023) versi Greta Gerwig itu sempat membuat media sosial geger (tentunya jadi template memes terbaru bulan ini) saat trailer filmnya rilis pekan lalu. Barbie pirang, bermata biru, dan berkulit putih yang direalisasikan oleh Margot Robbie tak sendiri. Ada Barbie lain, seperti Barbie presiden (Issa Rae), Barbie dokter (Hari Nef), dan Barbie peraih penghargaan Nobel fisika yang diperankan kembarannya Robbie, Emma Mackey. Ken juga tak hanya diperankan Ryan Gosling, tapi Scott Evans, Simu Liu dari film Marvel Shang-Chi, dan Ncuti Gatwa dari Sex Education.

Mungkin film Barbie-nya Gerwig akan membawa diskusi soal konstruksi peran gender berdasarkan slogan itu. Tapi, tentu saja kita masih menerka-nerka alur cerita sampai filmnya rilis Juli nanti. Saat ini satu-satunya petunjuk soal plot Barbie ada di akhir trailer saat Barbie dengan mobil pinknya meninggalkan Barbieland yang serba pink diikuti Ken yang–surprise, surprise–memakai baju pink menuju dunia nyata.

Baca juga: Cruella dan Cara Disney Menulis Ulang Karakter Perempuan

Kalau film Barbie ini mengikuti formula film-film Barbie sebelumnya, jalan ceritanya pasti tidak jauh dari ada masalah genting yang mempengaruhi kehidupan semua orang di Barbieland. Barbie dan Ken kemudian pergi ke dunia nyata yang menakutkan untuk menyelamatkan teman-teman mereka dari kehancuran. A la Disney, film diakhiri dengan pesta meriah untuk merayakan aksi heroiknya Barbie.

Namun mengutip perkataan Robbie di Vouge, “Saat orang mendengar Barbie, mereka pasti memikirkan ‘saya tahu film ini nantinya seperti apa’, dan ketika mereka mendengar Greta Gerwig yang menulis dan menyutradarai filmnya, mereka akan mengatakan, ‘oh, mungkin saya tidak mengetahui filmnya seperti apa.”

Melihat sepak terjang Gerwig sebagai sutradara yang mengangkat cerita perempuan, seperti Ladybird dan Little Women dari bukunya Louisa May-Alcott dengan judul yang sama, Gerwig mungkin akan membawa kejutan menarik soal Barbie. Apalagi selama ini Barbie kerap dianggap sebagai sosok kontroversial dari kacamata feminisme. Tapi, di saat bersamaan ada yang menganggapnya sebagai ikon pemberdayaan karena ragam profesi yang diemban Barbie.

Namun sembari menunggu filmnya rilis tiga bulan nanti, sekarang saatnya untuk merefleksikan kembali soal Barbie dan posisinya untuk pemberdayaan perempuan.

Tokoh Barbie di Film Animasi

Sebelum Robbie memerankan boneka yang kakinya selalu jinjit itu, komedian Amy Schumer yang dipilih untuk memerankan Barbie. Alih-alih Warner Bros, saat itu Sony yang memproduksi filmnya. Dilansir dari Deadline, Barbie versinya Sony bercerita soal Barbie yang didepak dari Barbieland karena dia agak eksentrik dan enggak sempurna. Barbie kemudian berpetualang di dunia nyata dan saat ia kembali ke Barbieland untuk menyelamatkan tempat tinggalnya, Barbie sadar kesempurnaan itu ada di dalam seseorang, bukan dari luar. Kunci kebahagiaan pun datang dari rasa percaya pada diri sendiri, bukan mengikuti standar yang ditetapkan orang lain.

Sekilas alur cerita itu agak klise dan tipikal film heroik Hollywood. Selain itu, ada paradoks ketika Barbie sadar kunci kebahagiaan adalah tidak tunduk kepada standar yang ditetapkan oleh orang lain, sementara kenyataannya Barbie sendiri yang membawa standar citra tubuh yang mustahil untuk perempuan. Walaupun belum ada kepastian Gerwig akan mengikuti plot versi Sony, akan sangat menarik menyaksikan cara Gerwig menarasikan paradoks tersebut.

Sejak tahun lalu sudah banyak spekulasi yang bermunculan soal cerita film Barbie gara-gara akun Letterbox Robbie berisi daftar film yang harus ditonton untuk memerankan Barbie bocor di dunia maya. The Truman Show salah satu film yang ada di daftar itu, kalau mau berspekulasi bisa saja Barbie menjadi semacam Truman yang sadar dia ada dalam sebuah simulasi. Seperti cerita-cerita meta, Barbie mengalami krisis eksistensi dan mempertanyakan apakah dia sekadar boneka atau lebih.

Cerita semacam itu keluar dari formula film-film animasi Barbie yang cenderung berkisah tentang putri raja di dunia fantasi. Namun, kisah keluarga kerajaan Barbie berbeda dengan Disney yang membuat karakter utama perempuannya mengalami cinderella complex atau menunggu diselamatkan oleh pangeran untuk menuju akhir bahagia selamanya.

Baca juga: Review ‘Women Talking’: Suara Korban Kekerasan Seksual Didengarkan

Sebagai penggemar film animasi Barbie, alih-alih menunggu untuk diselamatkan, justru Barbie yang menyelamatkan pangeran. Karakter laki-laki punya porsi cerita yang kecil dan hadir untuk membantu Barbie menyelamatkan dunia. Barbie: Mermaidia (2006), misalnya, Barbie bersama sahabat-sahabatnya berjuang menyelamatkan Kingdom of Mermedia dan membebaskan Pangeran Nalu yang diculik ratu jahat Laverna.

Tapi ada sedikit catatan, Barbie as Rapunzel dan Barbie of Swan Lake yang rilis awal tahun 2000-an memang membuat kehidupan Barbie naik kelas sosial dengan menikahi pangeran. Tetapi sebagai pembelaan, dua cerita itu berangkat dari dongeng klasik dari Eropa yang secara pemahaman modern karakter perempuannya harus menikah dengan anggota keluarga kerajaan.

Kisah tentang persahabatan juga cukup ditonjolkan dalam film Barbie, seperti The Barbie Diaries (2006). Berlatar belakang dunia modern, The Barbie Diaries tipikal film teen rom-com Hollywood–semcam Clueless, 10 Things I Hate About You, dan Mean Girls. Di film itu Barbie terobsesi menjadi siswa paling populer di sekolah. Ambisi tidak sehat itu membuat Barbie mengkhianati tiga sahabat dekatnya. Namun, all is forgiven ketika Barbie mengakui kesalahannya dan meminta maaf kepada teman-temannya. Dengan sentuhan yang sangat klise, malam prom jadi pita indah yang membungkus film The Barbie Diaries.

Kalau membandingkan plot versi Sony dengan kisah film Barbie yang lain, saya menangkap satu pesan; when you’re in trouble Barbie is here to save the day!

Apakah Barbie Bisa Jadi Ikon Feminis?

Barbie Millicent Roberts–government name-nya Barbie–hadir ketika mainan anak perempuan didominasi boneka yang menanamkan nilai-nilai peran domestik hanya tugas perempuan saja. Ruth Handler ingin menawarkan pilihan mainan yang lain, Barbie pun hadir untuk menunjukkan kepada anak-anak kalau mereka bisa menjadi apapun yang mereka mau. Tak lama muncul Ken, pasangannya Barbie yang tak kalah sempurna. Namun saking sempurnanya, Barbie malah menciptakan standar kecantikan yang mustahil.

Tak bisa dimungkiri saya adalah satu dari jutaan anak kecil yang sangat tergila-gila dengan Barbie. Saya baru menyadari Barbie mempengaruhi cara saya memandang diri sendiri saat sudah dewasa. Penelitian yang diterbitkan jurnal Development Psychology menemukan anak yang bermain dengan Barbie memiliki rasa percaya rendah dan masalah citra tubuh. Barbie yang memiliki proporsi tubuh tidak realistis mampu mendorong seseorang untuk mengikuti pola makan yang tidak sehat sampai memicu gangguan makan.

Baca juga: ‘The Woman King’: Angkat Kekerasan Seksual, tapi Juga Kaburkan Sejarah

Internalisasi pemikiran untuk menjadi sempurna tanpa celah seperti Barbie dicampur komentar body shaming dari keluarga saya karena terlalu kurus lalu jadi terlalu gemuk ikut mengamplifikasi masalah body image saya. Saat saya tidak bisa menjadi seperti “Barbie” saya tidak menyukai diri saya dan saya pun harus mengakui butuh waktu lama untuk mulai menyukai diri sendiri.

Kalau melihat dari sisi ini, Barbie sebenarnya enggak bisa dikatakan sebagai panutan atau sosok inspiratif untuk anak-anak, seperti yang digadang Mattel sejak menciptakan boneka itu akhir tahun 1950-an. Belum lagi ada isu soal tubuh Barbie yang diseksualisasi dengan male gaze karena boneka itu terinspirasi dari mainan dewasa asal Jerman bernama Lili. Belakangan Barbie mencoba untuk lebih inklusif secara ras, menawarkan ragam profesi, dan bentuk tubuh. Barbie meninggalkan stereotip perempuan berambut pirang dangkal gemar bersolek dan bertransformasi menjadi perempuan muda dengan aspirasi yang membanggakan.

Tetapi, Barbie tetap bagian dari perusahaan jutaan dollar yang berupaya untuk terus relevan di tengah tuntutan gelombang ketiga dan keempat feminisme. Sama seperti perusahaan lain yang tumbuh subur dengan mengkapitalisasi dan seksualisasi tubuh perempuan hingga mendukung standar kecantikan mustahil–sebut saja Victoria Secret–inklusivitas digunakan sebagai strategi bisnis agar mereka tetap relevan.

Barbie versi Gerwig dengan sentuhan feminisme bisa saja menjadi cara Mattel untuk terus relevan di generasi muda. Di sisi lain, film itu bisa saja membawa kembali percakapan Barbie dan posisinya dalam gerakan feminisme atau soal konstruksi gender lewat Ken yang karakteristiknya sekadar jadi gandengan Barbie. Apakah Barbie bisa menjadi ikon feminis atau tidak mungkin bisa terjawab dengan cara Gerwig menjembatani citra buruk Barbie dan nilai-nilai feminisme dalam filmnya.



#waveforequality


Avatar
About Author

Tabayyun Pasinringi

Tabayyun Pasinringi adalah penggemar fanfiction dan bermimpi mengadopsi 16 kucing dan merajut baju hangat untuk mereka.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *