Siapa Bilang Perempuan Tak Boleh Bernafsu, Bucin, dan Vokal?
Sarpakenaka cuma objek di epos Ramayana, tapi perempuan ini berambisi mendobrak batasan tentang perempuan.
Bukan Rama dan Shinta yang membuat saya menyadari eksistensi perempuan di dunia yang sangat maskulin. Adalah Sarpakenaka, adik Rahwana yang dalam kebudayaan Jawa diidentifikasi sebagai simbol warna kuning, tokoh jahat. Warna kuning juga bermakna supiyah, salah satu nafsu yang membelenggu manusia.
Sarpakenaka digambarkan sebagai seorang raksasa perempuan bertubuh besar, buruk rupa, berhidung besar, kuat, bertaring, dan bersuara nyaring. Barangkali itu pula yang membuat ia berani berekspresi, berani angkat bicara kepada Rahwana yang ditakuti oleh banyak makhluk.
Tak hanya itu, meski ia punya puri dan ratusan prajurit, ia tak akan ragu menjelajahi hutan belantara seorang diri. Sarpakenaka juga dengan sadar menjadi budak cinta (bucin), berani menyatakan keinginannya, termasuk hasrat seksual sekalipun.
Dengan kehebatannya itu pula, Sarpakenaka mudah dicintai oleh para raksasa lelaki. Ia memilih poliandri dalam hal ini, karena buatnya, hubungan dengan lawan jenis tak sebatas pemenuhan kebutuhan biologis tapi bentuk ibadah sakral di mana ia melebur dengan alam semesta.
Baca juga: Kenapa Perempuan Selalu Benar?
Sarpakenaka Bukan Perempuan Ideal Versi Masyarakat
Terlepas dari kemandirian dan religiositasnya, Sarpakenaka tetap tak bisa keluar dari belenggu stereotip. Selain bentuk fisiknya yang menjadi alasan orang-orang mengasosiasikannya sebagai bukan perempuan baik, kehebatannya yang melampaui laki-laki, dan kebiasaan di luar pakem sosial budaya juga menjadi catatan tersendiri. Mengutip teori subaltern Spivak, pemikir poskolonialisme India, peran reproduksi ideologis lah yang menjadikan perempuan seperti Sarpakenaka, hanya direduksi sebatas objek yang diberi nilai oleh subjek.
Perempuan yang jadi objek ini ujung-ujungnya tak akan mampu bersuara nyaring, kalau pun bersuara maka tak akan ada yang mau mendengar mereka. Dalam kasus Sarpakenaka, bungkamnya ia digambarkan pada peristiwa penggerowongan atau pemotongan hidung dan payudara yang dilakukan Laksmana (adik Rama).
Dikisahkan, Sarpakenaka kesengsem dengan Rama yang sudah beristri Shinta, tapi ditolak karena Rama adalah pelaku monogami. Begitu menyatakan hasratnya ke Laksmana, ia pun kembali mengalami penolakan, hanya saja kali ini lebih parah. Laksmana menolaknya sambil memukuli hidung dan tubuh Sarpakenaka.
Jika Sarpakenaka adalah perempuan yang manut pada nilai-nilai masyarakat, maka bisa jadi ia akan menormalisasi kekerasan fisik dan emosionalnya. Namun, ia mengambil sikap berbeda. Ditolak oleh lelaki tak membuat dia malu dan mengasihani diri, apalagi memilih mengakhiri hidup. Ia justru mengamalkan strategi lain: Balas dendam dengan mengadu ke Rahwana.
Baca juga: Perempuan PDKT Duluan, Kenapa Tidak?
Dalam banyak kesempatan, versi Ramayana yang hegemonik dan populer biasanya mengagungkan Laksmana, Rama, dan Shinta. Bahkan, sebagian besar orang bakal mewajarkan kekerasan fisik pada perempuan yang dilakukan tokoh protagonis, Laksmana. Pun, mitologi ini barangkali ingin agar kita menginternalisasi dan menormalkan kepasifan dan kepatuhan yang diharapkan dari seorang perempuan agar bisa diterima di tengah masyarakat.
Sarpakenaka mengajarkan, jika kamu korban pelecehan dalam bentuk apa pun, kamu tidak perlu mundur ke dalam cangkang dan bersembunyi di liang. Kamu hanya perlu berteriak dari atap dan memberitahu dunia ceritamu.
Namun, buat saya, yang diajarkan Sarpakenaka adalah, jika kamu korban pelecehan mental, fisik, atau psikologis dalam bentuk apa pun, kamu tidak perlu mundur ke dalam cangkang dan bersembunyi di liang. Kamu hanya perlu berteriak dari atap dan memberitahu dunia ceritamu, apa pun risikonya, termasuk risiko perang bubrah sekalipun seperti yang terjadi di epos Ramayana ini.
Baca juga: Kamu Harus Ingat Bahwa Kamu Perempuan
Pertanyaannya, apakah semua perilakunya ini adalah sebuah tanda kebebasan Sarpakenaka?
Jawabannya bisa iya dan tidak. Tulisan saya juga bukan bertujuan untuk mengelompokkan Sarpakenaka sebagai subaltern atau bukan. Ini hanya menggunakan teori subaltern untuk menawarkan kiat-kiat yang mungkin penting dalam mendekonstruksi teks dan konteks (perempuan, rasialisme, kelompok yang termarginalkan). Selain itu, melalui tulisan ini, kita dapat memutar otak untuk mendapatkan formula penyelesaian yang kompleks seperti yang dicontohkan oleh Sarpakenaka.