Politics & Society

Kejahatan Perdagangan Orang dengan Modus Pengantin Pesanan Luput dari Perhatian

Sindikat perdagangan orang dalam bentuk pengantin pesanan sangat kuat jaringannya di Indonesia.

Avatar
  • June 29, 2019
  • 5 min read
  • 451 Views
Kejahatan Perdagangan Orang dengan Modus Pengantin Pesanan Luput dari Perhatian

Peringatan pemicu

Ketika “M” mendengar bahwa teman barunya ingin mempertemukannya dengan seorang laki-laki kaya yang berasal dari China, ia terbuai. Tidak terlintas di pikiran gadis Mempawah, Kalimantan Barat itu bahwa janji kehidupan mewah dan uang berlimpah ini akan berakhir dengan dia menjadi korban perdagangan orang.

Pada September 2018, M, yang berusia 22 tahun, dipertemukan dengan R, 28 tahun.  Dengan iming-iming kemewahan, uang Rp10 juta per bulan yang dapat dikirim ke orang tuanya di Indonesia, dan izin pulang dua bulan sekali, M setuju untuk “dijodohkan” dengan pria tersebut.

 

 

Setelah menerima mahar Rp19 juta, M tiba-tiba menerima buku nikah dan surat catatan sipil dari Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Mempawah tanpa ada acara pernikahan apa pun. Seminggu kemudian, M diterbangkan ke Provinsi Hebei, China utara, dekat Beijing.

Awalnya ia disambut dengan ramah, namun keesokan harinya, semua itu berubah drastis. Ia hanya diberi makan bubur dan mie instan, ia mengalami pelecehan seksual dari mertuanya, dan ia dieksploitasi untuk mengerjakan semua pekerjaan rumah dan membuat kerajinan. Bahkan saat ia sedang menstruasi dan menolak untuk berhubungan seksual dengan suaminya, ibu mertuanya menyeret dan menelanjangi M untuk membuktikan bahwa dia memang sedang menstruasi.

Ia mencoba untuk menghubungi orang tuanya, namun ketahuan oleh ibu mertuanya, yang menyita teleponnya berikut ancaman bahwa M harus mengembalikan uang Rp100 juta untuk ganti rugi.

Suatu hari, M diam-diam menghubungi keluarganya di Sompak, Kalimantan Barat. Keluarganya menghubungi Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Mempawah dan akhirnya M melarikan diri ke kepolisian di China. Dengan bantuan SBMI dan serta tiga mahasiswa Indonesia di China, M berhasil pulang ke Indonesia Juni 2019 ini.

M adalah salah satu dari 29 korban perdagangan orang dengan modus kawin kontrak atau “pengantin pesanan” yang kasusnya ditangani SBMI. Perempuan-perempuan ini direkrut oleh sebuah sindikat yang berbasis di China dan bergerak dengan modus yang sama, yaitu dengan iming-iming kehidupan mewah dan harta yang berlimpah.

“Dibanding modus-modus yang lain, kasus perdagangan orang cenderung luput dari perhatian pemerintah dan juga masyarakat,” ujar Thaufiek Zulbahary, Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) pada konferensi pers “Melawan Perdagangan Orang Modus Pengantin Pesanan”, Rabu (26/6), di Jakarta.

Padahal menurut Mahardi, Ketua SBMI Mempawah Kalimantan Barat, sindikat yang bergerak di kasus ini sudah sangat kuat jaringannya di provinsi itu dan juga di Jakarta. Dari 29 korban perdagangan orang, 13 di antaranya berasal dari Kalbar dan 16 dari Jawa Barat. Hanya sembilan korban yang berhasil dipulangkan ke Kalbar dan hanya satu yang kembali ke Jawa Barat, ujarnya.

Kuatnya jaringan sindikat Ini terlihat dari proses perekrutan dan pengiriman yang sudah sangat terstruktur, kata Mahardi. Seperti yang diceritakan oleh M, dokumen-dokumen pernikahan sudah disiapkan tanpa sepengetahuan M. Bahkan, menurut Mahardi, salah satu kendala memulangkan korban ke Indonesia adalah dengan manipulasi foto, manipulasi dokumen dan juga penyitaan paspor korban.

“Selain itu, korban yang menjadi target Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) ini juga adalah orang-orang yang kurang mampu atau dalam keadaan tertekan. Misalnya, mereka baru keluar dari hubungan yang KDRT (kekerasan di dalam rumah tangga),” ujar Mahardi.

“Dengan iming-iming kehidupan yang lebih baik, korban-korban ini sangat rentan untuk mempercayainya,” lanjutnya.

Penegakan Hukum Kasus TPPO dan Hak-hak Korban

Walau kasus TPPO ini sudah masif dan cenderung terus berkembang, masih terdapat banyak kendala dalam penanganan kasus TPPO ini, terutama dalam pencegahan, penegakan hukum dan juga perlindungan hak-hak korbannya.

Ermelina Singereta, advokat dari lembaga Parinama Astha, mengatakan aparat penegak hukum Indonesia masih menganggap kasus perdagangan orang sebagai kasus yang biasa, padahal sudah termasuk ke dalam kategori serius yaitu kejahatan luar biasa.

“Bahkan dalam banyak kasus perdagangan orang, undang-undang yang dipakai dalam kasus sering kali tidak sesuai, padahal di undang-undang kita sudah ada UU NO. 21 Tahun 2007 yang mengatur tentang TPPO. Mereka malah menggunakan Undang-Undang Perlindungan Anak atau berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP),” ujar Ermelina.

“Di dalam kasus yang sedang kita dampingi sekarang, sempat terjadi perdebatan tentang apakah kasus tersebut termasuk sebagai kasus perdagangan orang, karena menurut mereka tidak ada unsur eksploitasinya, sehingga tidak bisa menggunakan UU TPPO,” tambahnya.

Padahal kasus yang sedang ditangani oleh Ermelina ini sudah ada proses perekrutan yang jelas, proses pengirimannya dan juga rencana penempatan. Sementara itu, di dalam UU TPPO, ciri-ciri kasus perdagangan orang adalah dengan adanya proses yang mufakat. Tetapi pihak penegak hukum bersikeras bahwa unsur eksploitasi tidak terpenuhi karena korban belum sempat sampai kepada negara tujuan.

“Hak-hak korban juga sering tidak terpenuhi. Identitas dan informasi korban perdagangan orang seharusnya dilindungi, tetapi sering kali mereka terekspos. Hak korban untuk pemulihan dan untuk mendapatkan ganti rugi juga tidak ada,” ujarnya.

Menurut Thaufiek, salah satu yang dapat membantu pemenuhan hak-hak korban dan penegakan hukum adalah pada proses identifikasi dan pencegahan. Untuk itu, penting untuk meningkatkan kesadaran tentang proses perekrutan mereka dengan pernikahan dan iming-iming harta, ujarnya.

“Kepolisian juga harus lebih cermat dalam menangani kasus ini, jangan sampai tidak menggunakan UU tentang TPPO dalam kasus perdagangan orang lagi,” ujar Thaufiek.

Mereka juga harus lebih cermat dalam mengidentifikasi korban TPPO, jangan terpaku kepada unsur eksploitasinya saja, kalau memang proses dalam kasusnya sudah memperlihatkan ciri-ciri perdagangan orang, maka mereka adalah korban,” lanjutnya.

“Dengan identifikasi yang sesuai, hak-hak korban seharusnya bisa dipenuhi yaitu hak mereka terhadap restitusi (ganti rugi), rehabilitasi psikologis dan medis,” ujar Thaufiek.

Baca juga soal peran laki-laki dalam isu kesetaraan gender.


Avatar
About Author

Shafira Amalia

Shafira Amalia is an International Relations graduate from Parahyangan Catholic University in Bandung. Too tempted by her passion for writing, she declined the dreams of her young self to become a diplomat to be a reporter. Her dreams is to meet Billie Eilish but destroying patriarchy would be cool too. Follow her on Instagram at @sapphire.dust where she's normally active.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *